Pertamina
dan Politik Energi Pemerintah
Effnu Subiyanto ; Aktivis dan Peneliti;
Direktur Koalisi Rakyat Indonesia
Reformis (Koridor)
|
KOMPAS,
26 April
2018
Serba singkat jabatan direktur
utama pada BUMN raksasa migas Indonesia masih menyisakan pertanyaan besar
meskipun mantan Dirut Pertamina Elia Massa Manik menyerukan agar tak
dijadikan polemik. Namun, tetap perlu diklarifikasi pemerintah. Faktanya,
Pertamina adalah alat politik energi sepanjang negara ini berdiri dan juga
misteri pernyataan kerugian BUMN tersebut karena menjalankan perintah
penugasan
Justru lantaran ada
Pertamina kredibilitas pemerintah terjaga karena harga BBM tidak dinaikkan,
distribusi sampai ke pelosok pulau, dan jaminan keamanan energi. Namun, di
sisi lain, yang selalu tidak disingkap pemerintah adalah transparansi
keuangan BUMN tersebut.
Pernyataan potensi rugi
Pertamina seolah selalu tidak dipercaya karena berbagai trade- off subsidi
APBN dan hak pengelolaan yang ujung-ujungnya adalah pencopotan direktur utama
karena dianggap tidak mampu.
Pada pencopotan Elia Massa
Manik, terembus tiga sebab utama: gagal dalam mendistribusikan BBM premium
dan kenaikan harga BBM pertalite; perkembangan modernisasi kilang yang sangat
pelan; dan pencemaran lingkungan di Teluk Balikpapan. Rapor merah itu membuat
kepemimpinan Manik disudahi pada RUPSLB 20 April 2018.
Politik
energi
BUMN Pertamina pada
hakikatnya tidak bisa dilepaskan dengan politik subsidi energi setiap tahun.
Dari subsidi energi, Pertamina memiliki porsi terbesar, mencapai 69 persen.
Namun, sejak 2015, dominasi penerima subsidi energi terbesar sudah bergeser
ke PLN.
Sejak 2015 sampai tahun
lalu, proporsi subsidi energi yang diterima Pertamina 45,34 persen, sementara
sisanya dinikmati oleh PLN. Pada APBN 2018, kuota subsidi energi Pertamina
sedikit lebih tinggi, mencapai 49,63 persen, sementara sisanya PLN.
Jadi, jika Pertamina pada
tahun lalu untung Rp 28,83 triliun, padahal menerima subsidi dari APBN Rp 47
triliun, inilah sebetulnya konkret politik energi tersebut. Sudah dapat
dipastikan jika subsidi 2017 tidak diterimakan kepada Pertamina, BUMN
tersebut sebetulnya rugi Rp 18,17 triliun.
Artinya, nilai
kredibilitas pemerintah dalam menjaga politik energi yang merupakan indikator
utama elektabilitas pemerintah dijaga oleh Pertamina dengan biaya operasional
Rp 18,17 triliun pada tahun lalu.
Namun, bagaimana jika
politik energi bersikeras dijalankan pemerintah karena momentum politik,
padahal APBN jelas-jelas salah asumsi. Pada tahun ini, ketika harga rata-rata
impor minyak mentah mencapai 60 dolar AS per barrel, sementara asumsi masih
44 dolar AS per barrel, hasil penjualan BBM premium dan solar subsidi sudah
merugikan Pertamina Rp 3,9 triliun hanya dalam dua bulan.
Disimulasikan setahun,
kerugian Pertamina akan mencapai Rp 24 triliun karena terdiferensiasi dengan
kewajiban menyediakan tambahan stok BBM 5-7 persen konsumsi rata-rata harian.
Ini dengan harga minyak mentah 60 dolar AS per barrel. Jika harga minyak
meningkat, potensi kerugian Pertamina akan bertambah secara incremental.
Pada kasus ini, pemerintah
menyatakan sudah menyiapkan kebijakan trade-off, yakni hak pengelolaan
tambang migas yang terminasi. Dari Blok Mahakam, BUMN migas tersebut akan
memperoleh tambahan pendapatan bersih Rp 7 triliun- Rp 8 triliun setiap
tahun. Pertamina juga mendapatkan pengelolaan delapan blok baru terminasi
dengan potensi tambahan pendapatan Rp 1 triliun-Rp 2 triliun. Perhitungan
kasar dengan pemberian hak-hak pengelolaan khusus, maka Pertamina seharusnya
mendapatkan tambahan pendapatan minimal Rp 10 triliun.
Jika trade-off masih
potensi mendapatkan tambahan pendapatan Rp 10 triliun per tahun, sementara
kerugian di depan mata Rp 24 triliun, meskipun hak-hak konsesi migas
berlangsung selama 20 tahun, sudah sangat jelas Pertamina akan menjadi tumbal
politik energi.
Belum lagi berkaitan
dengan kepedulian lingkungan, pemerintah juga tidak konsisten dalam bersikap.
Mendekati pelaksanaan Asian Games 2018, pemerintah menugaskan Pertamina untuk
menyalurkan BBM Euro 4. Di sisi lain juga keharusan mendistribusikan premium
yang notabene BBM kualitas RON 88 yang setara dengan kelas Euro 2.
Politisasi
Jika melihat situasi
Pertamina yang demikian kompleks, tak ada yang menghalangi premis bahwa
perombakan Direktur Utama Pertamina adalah aksentuasi politisasi dalam tubuh
BUMN.
Pada era Dirut Dwi
Soetjipto, situasi internal Pertamina meruncing karena dualisme kepemimpinan
dan menyebabkan Dwi Soetjipto terpental pada masa singkat. Saat ini, pada era
Elia Massa Manik, politik energi menyudahi kepemimpinan Manik.
Maka, saat ini menjadi
Direktur Utama Pertamina bak kursi panas yang amat ditakuti. Tugas direktur
utama akan sangat berat karena ditekan pemerintah dan Kementerian BUMN, pada
sisi lain direktur utama juga ditekan oleh karyawan Pertamina yang notabene
pasti menuntut kenaikan tingkat kesejahteraan yang lebih baik.
Melihat tugas Pertamina
yang sangat kompleks, sejak produktivitas, penyiapan infrastruktur migas,
proyek-proyek strategis, dan kini penyiapan holding BUMN migas, sudah
selayaknya pekerja Pertamina menuntut pengharkatan yang lebih baik. Capaian
kinerja lifting sampai dengan 94,9 persen (2017) atau lifting 77.500 barrel
per hari (bph) dari target 81.600 bph adalah bukti keandalan pekerja
Pertamina.
Tekanan pekerja yang
merupakan politik hubungan industrial akan berinterseksi dengan politik
energi dan akan menyebabkan citra Pertamina sebagai BUMN menjadi sangat
dinamis. Siapa pun pengganti Elia Massa Manik ke depan memang akan menyandang
tugas sangat berat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar