Kamis, 26 April 2018

Tipologi Partai Politik

Tipologi Partai Politik
Moch Nurhasim ;  Peneliti pada Pusat Penelitian Politik, LIPI
                                                         KOMPAS, 20 April 2018



                                                           
Pernyataan Amien Rais, Ketua Majelis Kehormatan Partai Amanat Nasional, tentang “partai setan” dan “partai Allah” memang menyengat dan kontroversial. Perang urat saraf pun berlanjut atas tuduhan “partai setan” yang dilancarkan oleh Pak Amien.

Kalau dirunut dari sejarah politik Indonesia, sejarah pendirian partai politik sebenarnya dapat dibedakan menjadi dua tipe. Tipe pertama, partai politik yang muncul secara alamiah. Tipe kedua adalah partai politik yang kelahirannya dipaksakan oleh negara.

Tipe pertama terjadi minimal pada awal kemerdekaan, setelah pemerintah mengeluarkan Maklumat 10 November 1945 yang ditandatangani oleh Mohammad Hatta. Partai politik yang tumbuh di era itu adalah partai yang lahir dari akar pembelahan sosial (social cleaved). Kondisi itu hampir mirip dengan era reformasi, setelah kebebasan berserikat dibuka, di mana partai-partai politik tumbuh dan berkembang.

Tipe kedua muncul di era Orde Baru, di mana Orde Baru yang ditopang oleh militer melakukan pemaksaan peleburan (fusi) partai politik warisan Orde Lama. Pendirian Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang pertama kali ikut pada Pemilu 1977 adalah hasil pemaksaan oleh negara. Proses itu dilakukan untuk mengakhiri politik aliran warisan Orde Lama.

Sayangnya, proses yang dilakukan secara paksa itu ternyata tidak memudarkan politik aliran. Fusi dan kanalisasi politik melalui dua partai besar, PDI dan PPP, hanya secara semu mengelompokkan partai ke dalam wadah yang rapuh.

Kerapuhan itu digambarkan oleh Afan Gaffar yang mengilustrasikan bahwa “partai politik merupakan sebuah sungai besar, di mana air mengalir dari sejumlah anak sungai, baik yang besar maupun kecil. Dalam kehidupan kepartaian, aliran merupakan perwujudan dari pembentukan dukungan melalui mobilisasi massa.”

Di masa lalu, partai politik lahir dari pola elektoral yang “tradisionalis” karena basis dukungan pembentukan organisasi sosial dan politik di awal kemerdekaan lebih condong pada orientasi dan perilaku keagamaan.

Ideologi partai politik

Ideologi partai politik yang lahir secara alamiah tidak dapat dilepaskan dari politik aliran seperti disinggung oleh Clifford Geertz. Hasil riset Geertz di Mojokuto, Jawa Timur, tahun 1950-an, memperlihatkan pemilahan sosial yang bersifat kumulatif (cummulative) atau terkonsolidai (consolidated) karena prosesnya telah berlangsung lama. Dari sanalah unsur ideologis partai politik tercipta dalam wujud “santri” versus “abangan” dengan dimanika nilai, kultur dan perilaku politiknya masing-masing.

Meskipun kategori politik aliran masih dianggap relevan untuk menjelaskan asal muasal pertumbuhan partai politik di Indonesia hingga saat ini, tetapi perlu kehati-hatian dalam hal ini. Secara ideologis partai yang tumbuh di era reformasi memang masih mewakili fragmentasi dan polarisasi ideologi politik aliran, tetapi orientasi politiknya tidaklah sama persis. Afan Gaffar memang menyebut bahwa di era awal pendirian partai, orang-orang abangan memiliki orientasi politik dan ekonomi yang berbeda dengan orang-orang santri. Orang-orang abangan cenderung memilih untuk berpihak pada partai politik yang tradisional, sekuler, dan nasionalistik. Sementara itu, orang-orang santri cenderung memilih untuk berpihak pada partai-partai Islam.

Itu adalah gambaran lama, ideologi partai di era awal-awal kemerdekaan. Rasanya sulit saat ini untuk mendikotomikan orientasi politik itu pada tingkat basis sosial partai dan pemilih.  Orientasi dan perilaku politik rasanya sudah mengalami perubahan dan metamorfosis. Sulit rasanya dapat menyebut ada partai politik yang hanya dihuni salah satu kubu, apakah “santri” atau “abangan” karena dua spektrum ideologis itu sesungguhnya telah mengalami percampuran.

Diakui atau tidak, ideologi partai politik di Indonesia saat ini relatif telah mengalami modifikasi dari ideologi lama seperti digambarkan oleh Feith dan Castle. Daniel Dhakidae, misalnya, menyebut bahwa ideologi partai politik di era reformasi bukan lagi atas dasar Islam, nasionalisme radikal, komunisme, sosialisme demokrat, dan tradisionalisme Jawa.  Dhakidae membaginya menjadi dua sumbu, yaitu sumbu vertikal dan sumbu horizontal. Sumbu vertikal memisahkan dua kutub partai yang berdasarkan agama dan partai yang berdasarkan kebangsaan. Sumbu horizontal memisahkan dua kutub lainnya berdasarkan kelas, yaitu developmentalisme dan sosialisme radikal.

Identitas partai dan dukungan politik

Perubahan sumbu ideologis partai politik di atas menunjukkan bahwa ideologi partai politik tidak lagi bernuansa lama, tetapi berkembang seiring dengan kebutuhan elektoral yang semakin kompetitif. Kepentingan untuk memperoleh dukungan politik dari pemilih, kadang kala justru menghilangkan identitas “asli” ideologi partai politik.

Kepentingan elektoral kadang kala justru membunuh ideologi partai, sehingga partai sulit dibedakan karena apa yang ditawarkan hampir sama. Apa yang membedakan antara partai yang berideologi nasionalis dengan Islam dalam praktik politik justru agak sulit dikenali oleh pemilih. Partai secara ideologis memang tidak sama, tetapi jualan programnya tidak jauh berbeda.

Ideologi partai politik juga tidak tercermin dalam pola membangun koalisi pemerintahan, baik di tingkat politik nasional maupun lokal. Partai-partai politik yang berideologi nasionalis dan religius (Islam, misalnya) justru saling bergandengan tangan.

Dengan kata lain, identitas partai (Party ID) tidaklah sefrontal yang disebut oleh Pak Amien Rais. Dalam tataran elite partai—mungkin ideologi bisa mengental konfrontasi. Tetapi dalam ranah publik secara luas, ideologi yang dianut oleh partai politik bukanlah satu-satunya faktor penentu dukungan politik.

Oleh karena itu, mendikotomikan dua frasa politik “santri” versus “abangan” secara antagonis, memang terasa simplistik, karena dua nilai itu telah mengalami perubahan, dan yang terpenting sebenarnya mengalami percampuran dalam ranah politik elektoral, baik dari segi watak maupun sifatnya.

Bukti lain bahwa perbedaan ideologis itu hanya di atas kertas, tampak dari gambaran umum—walau tidak ajeg—sejarah pemilu-pemilu di Indonesia di mana pemilih beragama Islam sebagai kekuatan mayoritas tidak pernah mendukung sepenuhnya partai-partai yang berbasis agama. Hasil pemilu menunjukkan bahwa partai-partai yang didasari oleh agama tidak pernah menjadi pemenang pemilu.

Kasus pemilihan kepala daerah (pilkada) DKI Jakarta tahun 2017 adalah kasus pengecualian yang berbeda secara politik, tidak lagi dapat direplikasi pada proses elektoral lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar