Tipologi
Partai Politik
Moch Nurhasim ; Peneliti pada Pusat Penelitian Politik, LIPI
|
KOMPAS,
20 April
2018
Pernyataan Amien Rais, Ketua
Majelis Kehormatan Partai Amanat Nasional, tentang “partai setan” dan “partai
Allah” memang menyengat dan kontroversial. Perang urat saraf pun berlanjut
atas tuduhan “partai setan” yang dilancarkan oleh Pak Amien.
Kalau dirunut dari sejarah politik
Indonesia, sejarah pendirian partai politik sebenarnya dapat dibedakan
menjadi dua tipe. Tipe pertama, partai politik yang muncul secara alamiah.
Tipe kedua adalah partai politik yang kelahirannya dipaksakan oleh negara.
Tipe pertama terjadi minimal pada
awal kemerdekaan, setelah pemerintah mengeluarkan Maklumat 10 November 1945
yang ditandatangani oleh Mohammad Hatta. Partai politik yang tumbuh di era
itu adalah partai yang lahir dari akar pembelahan sosial (social cleaved).
Kondisi itu hampir mirip dengan era reformasi, setelah kebebasan berserikat dibuka,
di mana partai-partai politik tumbuh dan berkembang.
Tipe kedua muncul di era Orde
Baru, di mana Orde Baru yang ditopang oleh militer melakukan pemaksaan
peleburan (fusi) partai politik warisan Orde Lama. Pendirian Partai Demokrasi
Indonesia (PDI) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang pertama kali ikut
pada Pemilu 1977 adalah hasil pemaksaan oleh negara. Proses itu dilakukan
untuk mengakhiri politik aliran warisan Orde Lama.
Sayangnya, proses yang dilakukan
secara paksa itu ternyata tidak memudarkan politik aliran. Fusi dan
kanalisasi politik melalui dua partai besar, PDI dan PPP, hanya secara semu
mengelompokkan partai ke dalam wadah yang rapuh.
Kerapuhan itu digambarkan oleh
Afan Gaffar yang mengilustrasikan bahwa “partai politik merupakan sebuah
sungai besar, di mana air mengalir dari sejumlah anak sungai, baik yang besar
maupun kecil. Dalam kehidupan kepartaian, aliran merupakan perwujudan dari
pembentukan dukungan melalui mobilisasi massa.”
Di masa lalu, partai politik lahir
dari pola elektoral yang “tradisionalis” karena basis dukungan pembentukan
organisasi sosial dan politik di awal kemerdekaan lebih condong pada
orientasi dan perilaku keagamaan.
Ideologi partai politik
Ideologi partai politik yang lahir
secara alamiah tidak dapat dilepaskan dari politik aliran seperti disinggung
oleh Clifford Geertz. Hasil riset Geertz di Mojokuto, Jawa Timur, tahun
1950-an, memperlihatkan pemilahan sosial yang bersifat kumulatif (cummulative)
atau terkonsolidai (consolidated) karena prosesnya telah berlangsung
lama. Dari sanalah unsur ideologis partai politik tercipta dalam wujud
“santri” versus “abangan” dengan dimanika nilai, kultur dan perilaku
politiknya masing-masing.
Meskipun kategori politik aliran
masih dianggap relevan untuk menjelaskan asal muasal pertumbuhan partai
politik di Indonesia hingga saat ini, tetapi perlu kehati-hatian dalam hal
ini. Secara ideologis partai yang tumbuh di era reformasi memang masih
mewakili fragmentasi dan polarisasi ideologi politik aliran, tetapi orientasi
politiknya tidaklah sama persis. Afan Gaffar memang menyebut bahwa di era
awal pendirian partai, orang-orang abangan memiliki orientasi politik dan
ekonomi yang berbeda dengan orang-orang santri. Orang-orang abangan cenderung
memilih untuk berpihak pada partai politik yang tradisional, sekuler, dan
nasionalistik. Sementara itu, orang-orang santri cenderung memilih untuk
berpihak pada partai-partai Islam.
Itu adalah gambaran lama, ideologi
partai di era awal-awal kemerdekaan. Rasanya sulit saat ini untuk
mendikotomikan orientasi politik itu pada tingkat basis sosial partai dan
pemilih. Orientasi dan perilaku politik rasanya sudah mengalami
perubahan dan metamorfosis. Sulit rasanya dapat menyebut ada partai politik
yang hanya dihuni salah satu kubu, apakah “santri” atau “abangan” karena dua
spektrum ideologis itu sesungguhnya telah mengalami percampuran.
Diakui atau tidak, ideologi partai
politik di Indonesia saat ini relatif telah mengalami modifikasi dari
ideologi lama seperti digambarkan oleh Feith dan Castle. Daniel Dhakidae,
misalnya, menyebut bahwa ideologi partai politik di era reformasi bukan lagi
atas dasar Islam, nasionalisme radikal, komunisme, sosialisme demokrat, dan
tradisionalisme Jawa. Dhakidae
membaginya menjadi dua sumbu, yaitu sumbu vertikal dan sumbu horizontal.
Sumbu vertikal memisahkan dua kutub partai yang berdasarkan agama dan partai
yang berdasarkan kebangsaan. Sumbu horizontal memisahkan dua kutub lainnya
berdasarkan kelas, yaitu developmentalisme dan sosialisme radikal.
Identitas partai dan dukungan
politik
Perubahan sumbu ideologis partai
politik di atas menunjukkan bahwa ideologi partai politik tidak lagi
bernuansa lama, tetapi berkembang seiring dengan kebutuhan elektoral yang
semakin kompetitif. Kepentingan untuk memperoleh dukungan politik dari
pemilih, kadang kala justru menghilangkan identitas “asli” ideologi partai
politik.
Kepentingan elektoral kadang kala
justru membunuh ideologi partai, sehingga partai sulit dibedakan karena apa
yang ditawarkan hampir sama. Apa yang membedakan antara partai yang
berideologi nasionalis dengan Islam dalam praktik politik justru agak sulit
dikenali oleh pemilih. Partai secara ideologis memang tidak sama, tetapi
jualan programnya tidak jauh berbeda.
Ideologi partai politik juga tidak tercermin dalam pola membangun koalisi
pemerintahan, baik di tingkat politik nasional maupun lokal. Partai-partai
politik yang berideologi nasionalis dan religius (Islam, misalnya) justru
saling bergandengan tangan.
Dengan kata lain, identitas partai
(Party ID) tidaklah sefrontal yang disebut oleh Pak Amien Rais. Dalam tataran
elite partai—mungkin ideologi bisa mengental konfrontasi. Tetapi dalam ranah
publik secara luas, ideologi yang dianut oleh partai politik bukanlah
satu-satunya faktor penentu dukungan politik.
Oleh karena itu, mendikotomikan
dua frasa politik “santri” versus “abangan” secara antagonis, memang terasa
simplistik, karena dua nilai itu telah mengalami perubahan, dan yang
terpenting sebenarnya mengalami percampuran dalam ranah politik elektoral,
baik dari segi watak maupun sifatnya.
Bukti lain bahwa perbedaan
ideologis itu hanya di atas kertas, tampak dari gambaran umum—walau tidak
ajeg—sejarah pemilu-pemilu di Indonesia di mana pemilih beragama Islam
sebagai kekuatan mayoritas tidak pernah mendukung sepenuhnya partai-partai
yang berbasis agama. Hasil pemilu menunjukkan bahwa partai-partai yang
didasari oleh agama tidak pernah menjadi pemenang pemilu.
Kasus pemilihan kepala daerah
(pilkada) DKI Jakarta tahun 2017 adalah kasus pengecualian yang berbeda secara
politik, tidak lagi dapat direplikasi pada proses elektoral lainnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar