Wakil
Rakyat Baru dan Demoralisasi Politik
M
Bambang Pranowo ; Guru Besar UIN
Jakarta,
Rektor
Universitas Mathla’ul Anwar, Banten
|
KORAN
SINDO, 14 Mei 2014
Komisi
Pemilihan Umum (KPU), Jumat (9/5), telah menetapkan hasil penghitungan suara
Pemilu 2014. Hasilnya tak jauh beda dengan hasil quick count lembagalembaga survei yang menghitung hasil pemilu
beberapa jam seusai pemungutan suara.
Ini
artinya metode hitung cepat secara ilmiah dengan sampling yang tepat dan
analisis statistik yang benar, bisa memprediksi hasil pemilu secara nyaris
akurat. Itulah keunggulan metode ilmiah dari quick count. Sayangnya, meski quick count bisa menunjukkan
keprimaan metode ilmiah dan hasilnya terbukti secara faktual, masyarakat
dalammemilihwakil-wakilnya tidak mengikuti ”metode ilmiah”.
Metode
ilmiah dalam pengertian ini, adalah pilihan tersebut standarnya jelas: wakil
rakyat yang kredibel secara moral, bersih, jujur, dan punya track record hidup yang mulus (tanpa
cacat). Hasil Pemilu 2014, memang patut ”ditangisi”. Betapa tidak, banyak
tokoh yang track record hidupnya
”cacat moral” ternyata terpilih jadi wakil rakyat, mengalahkan tokoh yang
baik dan nircacat. Ada mantan pejabat negara yang pernah melakukan pelecehan
seksual, terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Ada
anak-anak koruptor kelas wahid yang melenggang dengan mudah ke Senayan.
Dan, ada
pula preman-preman politik yang mampu meraup suara banyak dan menjadi wakil
rakyat mengalahkan para politisi idealis. Semua kontroversi yang ”tidak
ilmiah” itu terjadi—pinjam kata-kata politisi Eva Kusuma Sundari—karena
faktor uang. Eva, politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP),
mengaku, dirinya terkalahkan oleh politisi muda yang tak pernah datang ke
daerah pilihan (dapilnya), tak dikenal masyarakat, dan pemalas, tapi dia
punya banyak uang. Kerja bertahun- tahun Eva mendidik masyarakat di dapilnya
terkubur oleh ”serangan fajar” politisi muda tersebut.
Sedih?
Itulah demokrasi Indonesia. Demoralisasi demokrasi telah menggerus
”kredibilitas ilmiah” keterwakilan rakyat di Senayan. Apa boleh buat! Sistem
demokrasi amoral yang menyimpang dari prinsip-prinsip Pancasila itu telah
”dikukuhkan” oleh Mahkamah Konstitusi.
Yang
jadi pertanyaan: Salahkah demokrasi ala pemilu Indonesia itu? Jawabnya
panjang! Demokrasi, sejatinya adalah ”barang yang amat mahal dan mulia”.
Karena itu, para filsuf Yunani menyatakan, suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi vox dei). Persoalannya,
rakyat yang mana? Socrates enggan suaranya dalam demokrasi disamakan dengan
suara rakyat jelata.
Bagi
Socrates, rakyat yang ”memilih” wakil-wakilnya dalam pemilu hanyalah rakyat
yang berpengetahuan, dapat dipercaya, dan tidak bisa disuap. Dalam bahasa
pemilu Indonesia adalah rakyat yang menolak politik uang. Imam Al-Mawardi
dalam kitabnya Al-Ahkam al-Sulthaniyah
menyatakan bahwa rakyat yang boleh ikut dalam ”pemilu” harus mempunyai
beberapa kategori, yaitu alim (berilmu), adil, dan arif (bijaksana). Jika
tidak memenuhi kriteria itu, mereka tidak layak punya hak pilih.
Dari
perspektif itulah, para founding
fathers Republik ini merumuskannya dalam sistem demokrasi Pancasila.
Yaitu: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Demokrasi seperti itu, jelas tidak melibatkan seluruh rakyat seperti
demokrasi yang dilaksanakan dalam pemilu baru lalu. Katahikmahdanmusyawarah—
keduanya berasal dari Alquran dan tidak sepadan dengan kata
demokrasi—menisbahkan orang-orang yang dipilih dan memilih adalah orang-orang
pilihan.
Jadi,
pilihannya adalah memilih orang terbaik di antara yang baik—bukan memilih
orang terbaik di antara orang-orang yang buruk (atau orang-orang paling tidak
buruk di antara orang-orang yang buruk). Dalam konteks inilah, misalnya,
Islam pada zaman dulu tidak memberikan hak pilih kepada perempuan dan budak
belian. Ini karena pada zaman dulu perempuan masih menjadi manusia kelas dua
dan budak adalah manusia yang tidak punya kebebasan. Di zaman sekarang,
persoalannya jelas berbeda.
Kaum
perempuan sudah terdidik dan tidak lagi menjadi manusia kelas dua, sementara
perbudakan telah dilarang PBB. Dengan demikian, kategori alim, adil, dan
bijak dalam demokrasi bersifat lintas gender, etnis, dan ras. Lagi-lagi
persoalannya, apakah rakyat Indonesia sudah memenuhi tiga kriteria tersebut
sehingga hak pilihnya memenuhi standar sebagai vox dei? Jika melihat bagaimana hebatnya permainan politik uang
dalam Pemilu 2014, jelas bahwa vox
populi bukanlah vox dei. Kita
tahu, suara Tuhan selalu mengacu kepada kebenaran, keadilan, dan kearifan.
Tapi suara rakyat Indonesia? Politik uang masih menjadi penentu. Demokrasi
seperti ini jelas tidak kredibel dan mudah termanipulasi.
Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB/United Nations)
dalam penelitiannya di negara-negara yang menganut sistem demokrasi mencatat
beberapa indikator ekonomi dalam keberlanjutan demokrasi di suatu negara.
Menurut PBB, ambang batas bagi kelangsungan demokrasi di suatu negara adalah
jika pendapatan per kapita penduduknya per tahun mencapai USD6.600 (sekitar
Rp70 juta).
Pada
kondisi tersebut, kelangsungan demokrasi cukup terjamin. Probabilitas
kebangkrutan demokrasi hanya 1/500 (0,2%). Tapi jika income per kapitanya
antara USD3.000– 5.000, demokrasi itu hanya berlangsung 18 tahun. Lebih jauh
lagi, jika USD1.000–1.500, demokrasi itu hanya akan bertahan 8 tahun. Dengan
demikian, sebuah negara yang ingin menerapkan demokrasi secara simultan,
minimal pendapat rakyatnya Rp5.750.000 (USD550) per bulan. Berarti per hari,
USD18,3. Kondisi ini jelas jauh sekali bila diterapkan di Indonesia.
Pengertian
kemiskinan di Indonesia dibuat oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Lembaga
tersebut mendefinisikan kemiskinan dengan membuat kriteria besaran
pengeluaran per orang (per tahun/bulan/ hari) sebagai bahan acuan.
Kriterianya sebagai berikut. Pertama, Orang Tidak Miskin (OTM), yaitu mereka
yang pengeluaran per bulan lebih dari Rp350.610. Kedua, Orang Hampir Tidak
Miskin (OHTM): pengeluaran per bulan antara Rp280.488–350.610. Jumlahnya
mencapai 27,12 juta jiwa. Ketiga, Orang Hampir Miskin (OHM), dengan
pengeluaran per bulan Rp233.740– 280.488.
Jumlahnya
mencapai 30,02 juta. Keempat, Orang Miskin (OM), dengan pengeluaran per bulan
di bawah Rp233.740. Jumlahnya mencapai 31 juta. Dan kelima, Orang Sangat
Miskin (OSM). Tidak ada kriteria berapa pengeluaran OSM per hari, tapi jelas
jauh di bawah Rp233.740 per bulan. Jumlahnya diperkirakan mencapai sekitar 15
juta. Berdasarkan data-data di atas, keluarga miskin di Indonesia sangat
besar. Jumlahnya melebihi 100 juta jiwa. Lebih dari separuh jumlah pemilih
dalam Pemilu 2014 yang 185 juta. Melihat gambaran di atas, politik uang sulit
dihindarkan.
Bagi
orang miskin, kebutuhan perut jelas lebih penting dari kebutuhan politik.
Dari fenomena itu, apakah demokrasi amoral tersebut akan diteruskan di
tahun-tahun mendatang? Jika ya, tanpa ada perbaikan ekonomi, Indonesia justru
akan makin terpuruk karena tercebur dalam demoralisasi demokrasi. Jika tidak,
sekaranglah saatnya semua stakeholders—baik di legislatif, eksekutif, dan
yudikatif—harus bekerja keras untuk membangun bangsa dan negara. Jika
pendapatan per kapita rakyat sudah mencapai minimal Rp6 juta per bulan dan
pendidikan merata, minimal SLTA, di seluruh Indonesia—maka harapan maju bersama
demokrasi menjadi sesuatu yang rasional. Tapi jika tidak, tunggulah saatnya
kehancuran demokrasi. Demokrasi hanya tinggal nama! Isinya demoralisasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar