Kamis, 15 Mei 2014

Wakil Rakyat Baru dan Demoralisasi Politik

Wakil Rakyat Baru dan Demoralisasi Politik

M Bambang Pranowo  ;   Guru Besar UIN Jakarta,
Rektor Universitas Mathla’ul Anwar, Banten
KORAN SINDO,  14 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jumat (9/5), telah menetapkan hasil penghitungan suara Pemilu 2014. Hasilnya tak jauh beda dengan hasil quick count lembagalembaga survei yang menghitung hasil pemilu beberapa jam seusai pemungutan suara.

Ini artinya metode hitung cepat secara ilmiah dengan sampling yang tepat dan analisis statistik yang benar, bisa memprediksi hasil pemilu secara nyaris akurat. Itulah keunggulan metode ilmiah dari quick count. Sayangnya, meski quick count bisa menunjukkan keprimaan metode ilmiah dan hasilnya terbukti secara faktual, masyarakat dalammemilihwakil-wakilnya tidak mengikuti ”metode ilmiah”.

Metode ilmiah dalam pengertian ini, adalah pilihan tersebut standarnya jelas: wakil rakyat yang kredibel secara moral, bersih, jujur, dan punya track record hidup yang mulus (tanpa cacat). Hasil Pemilu 2014, memang patut ”ditangisi”. Betapa tidak, banyak tokoh yang track record hidupnya ”cacat moral” ternyata terpilih jadi wakil rakyat, mengalahkan tokoh yang baik dan nircacat. Ada mantan pejabat negara yang pernah melakukan pelecehan seksual, terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Ada anak-anak koruptor kelas wahid yang melenggang dengan mudah ke Senayan.

Dan, ada pula preman-preman politik yang mampu meraup suara banyak dan menjadi wakil rakyat mengalahkan para politisi idealis. Semua kontroversi yang ”tidak ilmiah” itu terjadi—pinjam kata-kata politisi Eva Kusuma Sundari—karena faktor uang. Eva, politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), mengaku, dirinya terkalahkan oleh politisi muda yang tak pernah datang ke daerah pilihan (dapilnya), tak dikenal masyarakat, dan pemalas, tapi dia punya banyak uang. Kerja bertahun- tahun Eva mendidik masyarakat di dapilnya terkubur oleh ”serangan fajar” politisi muda tersebut.

Sedih? Itulah demokrasi Indonesia. Demoralisasi demokrasi telah menggerus ”kredibilitas ilmiah” keterwakilan rakyat di Senayan. Apa boleh buat! Sistem demokrasi amoral yang menyimpang dari prinsip-prinsip Pancasila itu telah ”dikukuhkan” oleh Mahkamah Konstitusi.

Yang jadi pertanyaan: Salahkah demokrasi ala pemilu Indonesia itu? Jawabnya panjang! Demokrasi, sejatinya adalah ”barang yang amat mahal dan mulia”. Karena itu, para filsuf Yunani menyatakan, suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi vox dei). Persoalannya, rakyat yang mana? Socrates enggan suaranya dalam demokrasi disamakan dengan suara rakyat jelata.

Bagi Socrates, rakyat yang ”memilih” wakil-wakilnya dalam pemilu hanyalah rakyat yang berpengetahuan, dapat dipercaya, dan tidak bisa disuap. Dalam bahasa pemilu Indonesia adalah rakyat yang menolak politik uang. Imam Al-Mawardi dalam kitabnya Al-Ahkam al-Sulthaniyah menyatakan bahwa rakyat yang boleh ikut dalam ”pemilu” harus mempunyai beberapa kategori, yaitu alim (berilmu), adil, dan arif (bijaksana). Jika tidak memenuhi kriteria itu, mereka tidak layak punya hak pilih.

Dari perspektif itulah, para founding fathers Republik ini merumuskannya dalam sistem demokrasi Pancasila. Yaitu: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Demokrasi seperti itu, jelas tidak melibatkan seluruh rakyat seperti demokrasi yang dilaksanakan dalam pemilu baru lalu. Katahikmahdanmusyawarah— keduanya berasal dari Alquran dan tidak sepadan dengan kata demokrasi—menisbahkan orang-orang yang dipilih dan memilih adalah orang-orang pilihan.

Jadi, pilihannya adalah memilih orang terbaik di antara yang baik—bukan memilih orang terbaik di antara orang-orang yang buruk (atau orang-orang paling tidak buruk di antara orang-orang yang buruk). Dalam konteks inilah, misalnya, Islam pada zaman dulu tidak memberikan hak pilih kepada perempuan dan budak belian. Ini karena pada zaman dulu perempuan masih menjadi manusia kelas dua dan budak adalah manusia yang tidak punya kebebasan. Di zaman sekarang, persoalannya jelas berbeda.

Kaum perempuan sudah terdidik dan tidak lagi menjadi manusia kelas dua, sementara perbudakan telah dilarang PBB. Dengan demikian, kategori alim, adil, dan bijak dalam demokrasi bersifat lintas gender, etnis, dan ras. Lagi-lagi persoalannya, apakah rakyat Indonesia sudah memenuhi tiga kriteria tersebut sehingga hak pilihnya memenuhi standar sebagai vox dei? Jika melihat bagaimana hebatnya permainan politik uang dalam Pemilu 2014, jelas bahwa vox populi bukanlah vox dei. Kita tahu, suara Tuhan selalu mengacu kepada kebenaran, keadilan, dan kearifan. Tapi suara rakyat Indonesia? Politik uang masih menjadi penentu. Demokrasi seperti ini jelas tidak kredibel dan mudah termanipulasi.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB/United Nations) dalam penelitiannya di negara-negara yang menganut sistem demokrasi mencatat beberapa indikator ekonomi dalam keberlanjutan demokrasi di suatu negara. Menurut PBB, ambang batas bagi kelangsungan demokrasi di suatu negara adalah jika pendapatan per kapita penduduknya per tahun mencapai USD6.600 (sekitar Rp70 juta).

Pada kondisi tersebut, kelangsungan demokrasi cukup terjamin. Probabilitas kebangkrutan demokrasi hanya 1/500 (0,2%). Tapi jika income per kapitanya antara USD3.000– 5.000, demokrasi itu hanya berlangsung 18 tahun. Lebih jauh lagi, jika USD1.000–1.500, demokrasi itu hanya akan bertahan 8 tahun. Dengan demikian, sebuah negara yang ingin menerapkan demokrasi secara simultan, minimal pendapat rakyatnya Rp5.750.000 (USD550) per bulan. Berarti per hari, USD18,3. Kondisi ini jelas jauh sekali bila diterapkan di Indonesia.

Pengertian kemiskinan di Indonesia dibuat oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Lembaga tersebut mendefinisikan kemiskinan dengan membuat kriteria besaran pengeluaran per orang (per tahun/bulan/ hari) sebagai bahan acuan. Kriterianya sebagai berikut. Pertama, Orang Tidak Miskin (OTM), yaitu mereka yang pengeluaran per bulan lebih dari Rp350.610. Kedua, Orang Hampir Tidak Miskin (OHTM): pengeluaran per bulan antara Rp280.488–350.610. Jumlahnya mencapai 27,12 juta jiwa. Ketiga, Orang Hampir Miskin (OHM), dengan pengeluaran per bulan Rp233.740– 280.488.

Jumlahnya mencapai 30,02 juta. Keempat, Orang Miskin (OM), dengan pengeluaran per bulan di bawah Rp233.740. Jumlahnya mencapai 31 juta. Dan kelima, Orang Sangat Miskin (OSM). Tidak ada kriteria berapa pengeluaran OSM per hari, tapi jelas jauh di bawah Rp233.740 per bulan. Jumlahnya diperkirakan mencapai sekitar 15 juta. Berdasarkan data-data di atas, keluarga miskin di Indonesia sangat besar. Jumlahnya melebihi 100 juta jiwa. Lebih dari separuh jumlah pemilih dalam Pemilu 2014 yang 185 juta. Melihat gambaran di atas, politik uang sulit dihindarkan.

Bagi orang miskin, kebutuhan perut jelas lebih penting dari kebutuhan politik. Dari fenomena itu, apakah demokrasi amoral tersebut akan diteruskan di tahun-tahun mendatang? Jika ya, tanpa ada perbaikan ekonomi, Indonesia justru akan makin terpuruk karena tercebur dalam demoralisasi demokrasi. Jika tidak, sekaranglah saatnya semua stakeholders—baik di legislatif, eksekutif, dan yudikatif—harus bekerja keras untuk membangun bangsa dan negara. Jika pendapatan per kapita rakyat sudah mencapai minimal Rp6 juta per bulan dan pendidikan merata, minimal SLTA, di seluruh Indonesia—maka harapan maju bersama demokrasi menjadi sesuatu yang rasional. Tapi jika tidak, tunggulah saatnya kehancuran demokrasi. Demokrasi hanya tinggal nama! Isinya demoralisasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar