Suratan
Abimanyu dan Anggito
Rohman
Budijanto ; Wartawan Jawa Pos
|
JAWA
POS, 31 Mei 2014
KETIKA
persaingan di pilpres kian hangat dan politisi mulai menyebut perhelatan itu mirip
Baratayuda, ada kabar menyeruak: Anggito Abimanyu mengundurkan diri dari
posisi Dirjen. Mengejutkan. Ini bak kisah Abimanyu gugur di medan
Kurukshetra, palagan Baratayuda. Dan, bukan sekali Anggito mengalami situasi
seperti Abimanyu.
Banyak
yang masih ingat ketika Anggito Abimanyu sudah dinyatakan sebagai wakil
menteri keuangan, kemudian batal dilantik. Padahal, dia sudah mengurus
kepangkatannya sebagai pegawai negeri sipil untuk penyesuaian jabatan Wamen.
Dia pun lalu mundur dari jabatan kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF)
Kementerian Keuangan. Seperti Abimanyu, Anggito mulus masuk ke Kemenkeu, tapi
tidak keluar dalam keadaan mulus.
Kemudian,
dia ”masuk” lagi, menerima jabatan sebagai Dirjen Penyelenggaraan Haji dan
Umrah Kementerian Agama. Tak heran kalau ada yang menafsirkan jabatan itu
sebagai pelipur lara batalnya Anggito jadi Wamenkeu. Pengangkatan Anggito
sebagai Dirjen tersebut juga memberikan banyak harapan. Pengurusan haji, tamu
Allah, selama ini masih dikepung aneka penyelewengan. Perbaikan layak
diharapkan. Dia bisa tandem dengan Inspektur Jenderal Kemenag M. Jasin,
mantan pimpinan KPK.
Di sela
kesibukannya sebagai Dirjen, Anggito dipersoalkan karena dituduh plagiat.
Tulisannya soal Gagasan Asuransi Bencana di Kompas dianggap menjiplak tulisan
orang lain. Tanpa bantahan berlarut-larut, Anggito memilih mundur dari
Universitas Gadjah Mada, tempatnya sebagai dosen FE. Lagi-lagi Anggito bisa
masuk dengan mulus ke UGM, keluar dalam keadaan cedera citra.
Dalam
pengunduran diri sebagai direktur jenderal kali ini, Anggito masih menuai
pujian. Dia dianggap kesatria. Ketika bosnya, Menteri Agama Suryadharma Ali
jadi tersangka KPK dan nama Anggito mulai terciprat tuduhan, dia memilih
mundur. Bagaimanapun, ini sebuah tragedi. Akademikus cum pejabat yang
sosoknya langsing mirip kesatria serta tak pernah dikenal hidup semrawut
tiba-tiba, sekali lagi, keluar dari tempatnya ”berperang” dalam keadaan tidak
”utuh”.
Kesatria
Pandawa, Abimanyu, di medan Kurukshetra, mengalami nasib serupa. Alkisah,
dalam Mahabharata, semasa di kandungan Abimanyu mendengar ibunya, Subadra,
menyimak cerita Kresna tentang menghancurkan formasi-kepungan-maut-melingkar
dalam perang bernama Cakrawyuha. Saat cerita menginjak bagian keluar dari
formasi maut itu, sang ibu tertidur. Kresna berhenti bercerita. Si bayi
supercerdas itu tak bisa menerima pelajaran tersebut dengan utuh.
Itu
menjadi suratan bagi Abimanyu. Di keriuhan perang Baratayuda, Pandawa
menerima tantangan Kurawa untuk menembus Cakrawyuha para tentara Kurawa.
Pandawa pantang menolak tantangan meski para pemuka sakti Pandawa yang punya
keahlian menembus Cakrawyuha, yakni Arjuna dan Kresna, sedang meladeni perang
tanding dengan jagoan Kurawa.
Maka,
Abimanyu, sang Arjuna junior, yang menerima tantangan masuk ke Cakrawyuha. Para
bala Pandawa pun berjanji mengeluarkannya seusai dia mengobrak-abrik kepungan
itu. Dan, ternyata keberhasilan Abimanyu membongkar kekuatan setani itu tak
berakhir sempurna. Para kesatria Pandawa tak mampu mengeluarkannya dari
kepungan maut itu. Abimanyu menjemput takdir. Gugur.
Dalam
pentas wayang kulit, setelah Abimanyu tumbang dengan luka di sekujur tubuh,
dalang akan memberi aba-aba melantunkan musik hening. Gamelan gangsaran dan
sampak yang riuh mengiringi perang berhenti. Berganti gesekan rebab mengalun
mengiris-iris. Seperti tangisan di tengah malam sunyi. Menangisi sang
kesatria yang tak gentar menerima tantangan, yang gugur di usia muda.
Saya tak
tahu apakah Anggito akan mengalunkan gesekan biola dengan nada sedih setelah
pengunduran dirinya itu. Biola memang biasa jadi tempat berekspresi batin
Anggito. Dalam sebuah seminar di Surabaya, dia menampilkan video yang
diiringi gesekan biolanya. Video itu berisi gambar-gambar penderitaan
pengungsi korban letusan Merapi. Anggito memang terkesan berperasaan halus.
Tak heran, daripada ngeyel dan berbantah-bantahan sehingga membuat geram
publik, dia memilih mundur ketika muncul ujian serius terhadap
kredibilitasnya.
Tentu
Anggito masih akan menghadapi konsekuensi pertanggungjawaban semasa menjabat
Dirjen. Proses kasus di KPK yang menersangkakan Suryadharma Ali masih akan
membuntuhkan dirinya untuk memperjelas duduk perkara. Anggito masih bisa
berperan sebagai kesatria untuk membuka seterang-terangnya segala masalah
yang mengepung persoalan haji dan umrah.
Anggito
pernah berada di dalam ”kepungan” itu dan berupaya membongkar segala
malapraktik birokrasi, terutama menyangkut duit bertriliun rupiah milik tamu
Allah. Meski belum berhasil keluar dari kepungan itu dengan sentosa, Anggito
bisa menceritakan kepada pengadilan agar ”kepungan masalah” serupa tak
terjadi pada masa mendatang. Sesuai dengan namanya, anggito Abimanyu
(berimajinasilah seperti Abimanyu). Cukup sudah dua menteri agama terjerat
perkara seperti itu.
Untuk
urusan keluar dan masuk ”kepungan” kekuasaan dengan baik, ada contoh dari
Mohammad Mahfud M.D. Dia disebut sebagai satu-satunya tokoh yang pernah
menjabat di lembaga trias politica, yakni legislatif (anggota Fraksi PKB
DPR), eksekutif (menteri pertahanan), dan yudisial (ketua Mahkamah Konstitusi).
Dan, Mahfud sampai sekarang bisa ”keluar” dari lembaga-lembaga strategis itu
dengan relatif mulus.
Sudah
banyak disebut, Mahfud selalu mengimani dan mengamalkan doa dalam Alquran
surah Al Isra ayat 80: ”Ya Tuhanku,
masukkanlah aku secara benar dan keluarkanlah secara benar pula. Dan
berikanlah kepadaku kekuasaan untuk menolong.” Ini pantas diingat karena
saat ini banyak orang yang berebut masuk ke kekuasaan dan ketika keluar
disambut penyidik atau mobil tahanan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar