Peluang
Pariwisata ketika Thailand Bergolak
Dewa
Gde Satrya ; Dosen Tourism
Business Universitas Ciputra
|
KOMPAS,
28 Mei 2014
RATUSAN
ribu wisatawan, khususnya dari Tiongkok, membatalkan perjalanan wisata mereka
ke Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Kondisi ini menjadi peluang bagi
Indonesia untuk menarik segmen wisatawan Tiongkok. Kementerian Pariwisata
Indonesia menargetkan peningkatan kunjungan wisatawan asal Tiongkok dari 750
ribu orang menjadi 1 juta orang selama 2014.
Saat ini
Tiongkok merupakan pasar wisatawan asing terbesar di dunia. Pada 2013, lebih
dari 90 juta kunjungan dari Tiongkok menghabiskan pengeluaran 106 miliar
dolar AS ke banyak negara. Sebanyak 10 juta turis asal Tiongkok berkunjung
ke 10 negara ASEAN.
Senada
dengan hal itu, dalam Dialog Budaya
Sudamala di Denpasar pada 2011, Jean Couteau, budayawan asal Prancis,
memperkirakan, sekitar 10 tahun ke depan, wisatawan asing yang melancong ke
Bali mayoritas berasal dari Tiongkok dan India. Dua negara tersebut dinilai
sebagai kekuatan baru perekonomian dan politik. Hendaknya kita semua
menyiapkan instrumen yang tepat guna menyambut hal itu supaya kebutuhan para
wisatawan dari kedua negara terpenuhi.
Thailand
yang selama ini menjadi primadona tujuan wisata turis mancanegara sedang
mengalami ketidakstabilan politik antara kubu pemerintah dan oposisi. Setelah
kudeta militer pada 22 Mei lalu 50 negara, termasuk Indonesia, mengeluarkan
peringatan travel warning kepada warga
negaranya yang berkunjung ke Thailand, pembatalan kunjungan wisatawan asal
Tiongkok ke Vietnam mencapai 100.000 orang sebagai dampak krisis hubungan
Vietnam-Tiongkok. Hal serupa terjadi di Malaysia pasca hilangnya pesawat
Malaysia Airlines. Lebih dari 80.000 wisatawan asal Tiongkok batal ke
Malaysia. Pembatalan wisatawan asal Tiongkok diperkirakan lebih dari 200.000
orang untuk kunjungan ke tiga negara ASEAN tersebut.
Dalam
buku Chindia, How China and India Are
Revolutionizing Global Business (2007), Pete Engardio menuliskan, dua
negara tersebut menjadi sangat kuat, terutama karena kemampuan mereka yang
saling melengkapi. Tiongkok tetap mendominasi barang-barang manufaktur,
tetapi lemah dalam industri teknologi, sedangkan India sebaliknya. Seandainya
industri dua negara tersebut disatukan dalam Chindia, mereka akan mengambil
alih teknologi industri di seluruh dunia.
Tiongkok,
yang berusaha sekuat tenaga, namun dengan cara tragis, melakukan lompatan
besar dari perekonomian agraria menjadi negara industri maju di bawah Mao
Zedong, kini melakukan lompatan besar melampaui banyak negara industri yang
sudah maju. Di sisi lain, India lebih menguasai industri software, desain,
dan jasa sehingga berperan penting dalam rantai inovasi teknologi global.
Banyak perusahaan teknologi besar seperti Microsoft, Motorola,
Hewlett-Packard, dan lain-lain yang memercayakan ilmuwan India untuk
merancang software dan multimedia feature pada produk-produk mereka
selanjutnya.
Sejak
Tiongkok mulai mereformasi perekonomiannya satu generasi lalu, negara itu
telah tumbuh dengan angka resmi 9,5 persen. Pada tahap-tahap awal reformasi
di negara mana pun, perekonomian sering naik cepat, tetapi tidak seperti
Tiongkok. Kenaikan tersebut tidak ada duanya dalam sejarah modern.
Dengan
melihat tingkat pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat baru-baru ini, tentu
Amerika membutuhkan 25 tahun untuk menikmati peningkatan dua kali lipat.
Nicholas Lardy, ekonom dari Institute
for International Economics, mencatat bahwa Tiongkok tumbuh besar-besaran,
bahkan selama terjadi masa kelesuan ekonomi di seluruh dunia pada 2001 hingga
2002. Dalam hal budaya, orang India lebih suka membeli barang berkualitas
bagus dengan harga yang rendah, sedangkan masyarakat Tiongkok tidak memandang
apakah harga suatu barang terlalu mahal atau murah.
Tourism
ASEAN - China Free Trade Area
diharapkan semakin menggerakkan pasar wisatawan asal Tiongkok berkunjung ke
Indonesia. Untuk itu, Kementerian Pariwisata RI melakukan berbagai upaya. Di
antaranya, kerja sama dengan pemerintah Tiongkok dengan mengemas paket-paket
perjalanan, menambah kapasitas penerbangan dan hotel, mendukung pengembangan
di daerah, promosi ke enam provinsi di Tiongkok, serta memperkenalkan
pariwisata Indonesia lewat situs berbahasa Mandarin. Selain itu, melakukan
horizontal marketing untuk mendongkrak kunjungan wisman Negeri Tirai Bambu ke Indonesia yang ditargetkan 1 juta orang.
Promosi horizontal itu difokuskan melalui pendekatan kepada masyarakat
komunitas yang antara lain dijalin Perhimpunan Indonesia-Tonghoa (Inti).
Menurut
Krisna Widjaya, wakil ketua pelaksana Inti, berbagai kegiatan budaya untuk
meningkatkan kunjungan wisman RRT ke Indonesia, antara lain, dilakukan
pertemuan marga-marga, seperti marga Lee, komunitas Guang Dong di Jakarta, yang
baru-baru ini dihadiri lebih dari seribu anggota komunitas dari mancanegara.
Pada 2010, misalnya, diadakan pertemuan marga Huang di Kota Singkawang,
Kalbar, dalam rangka memperingati 100 tahun marga Huang di Indonesia.
Dikabarkan pertemuan itu dihadiri sekitar 1.000 marga Huang dari mancanegara.
Pembatalan
sejumlah perjalanan wisata dari Tiongkok ke Thailand sekiranya mendorong
paket wisata Tiongkok-Indonesia, dalam konteks ACFTA, semakin menjadi
prioritas segenap pelaku industri pariwisata. Semoga krisis Thailand, Vietnam, dan Malaysia bisa menjadi berkah
bagi turisme Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar