Reforma
Agraria dan Pengadilan Pertanahan
Bahrul
Ilmi Yakup ; Ketua Asosiasi Advokat Konstitusi (AAK);
Advokat dan
Konsultan Hukum BUMN; Ketua Pusat Kajian BUMN
|
KOMPAS,
31 Mei 2014
SETELAH
setengah abad lebih usia UU Pokok Agraria No 5/1960, pemerintah baru tergerak
berupaya melengkapinya dengan UU Pertanahan yang sekarang rancangannya sedang
dibahas Komisi II DPR. Meski tanpa jaminan akan diselesaikan DPR periode
2009-2014, upaya pemerintah itu layak diapresiasi dengan semboyan ”masih
lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali”.
Rancangan
UU Pertanahan (UUP) yang diajukan
pemerintah sedikitnya memuat dua gagasan
konstruktif cemerlang pada tataran
ide, dalam artian cukup memihak hajat hidup rakyat banyak. Oleh karena itu,
kedua gagasan itu perlu terus dijaga dan diperjuangkan agar tak mengalami distorsi dan aborsi. Kedua gagasan itu adalah reforma agraria dengan institusi: tanah obyek reforma
agraria (TORA) yang diatur dalam Bab V Pasal 41-50 dan gagasan penyelesaian sengketa dengan
lembaga khusus pengadilan pertanahan.
TORA merupakan konsep hukum sekaligus lembaga
hukum yang berupaya mendayagunakan tanah sebagai instrumen pemerataan
keadilan untuk rakyat miskin. Melalui tanah, rakyat memang lebih mudah
disejahterakan. Sebaliknya, melalui tanah pula rakyat sangat gampang
dimarjinalkan dan dimiskinkan. Oleh karena itu, gagasan TORA mendayagunakan
tanah yang dikuasai negara untuk didistribusikan atau diredistribusikan
kepada rakyat miskin merupakan gagasan afirmatif yang pantas diapresiasi dan
didukung.
Meski
demikian, gagasan TORA haruslah
dikonstruksikan dan diaplikasikan secara tepat sasaran dan tepat guna agar
tidak mengalami distorsi sehingga
dalam implementasinya TORA mampu
membendung dan mengantisipasi perilaku birokrat dan petugas pertanahan agar tidak
memanipulasi persyaratan administratif sehingga penerima TORA sejatinya
bukanlah rakyat miskin, melainkan orang kaya yang memiliki akses dan
kemampuan menyediakan persyaratan administratif secara formal.
Dalam
konteks ini, lembaga TORA sebaiknya dikonstruksikan dan disandingkan dengan
fenomena lembaga ”berobat gratis” dan bantuan langsung tunai (BLT) yang
ternyata justru dominan dinikmati oleh rakyat mampu, sedangkan rakyat miskin
tetap saja tidak terakomodasi lantaran tak mampu menyediakan persyaratan
administratif berupa surat dan dokumen formal. Karena itu, sebaiknya norma
pengaturan TORA diperkuat dengan sanksi pidana sangat keras: korupsi.
Pemanipulasi TORA, baik birokrat maupun penerimanya, dikategorikan sebagai
pelaku korupsi yang dihukum berat. Tidak cukup hanya diancam dengan pembatalan hak sebagaimana
diatur Pasal 49 RUUP.
Yang
lebih substansial, pengaturan TORA seharusnya dilakukan secara
konkret-limitatif oleh UUP, tidak lagi didelegasikan kepada peraturan
pemerintah (PP) sebagaimana dimaksud Pasal 50 RUUP, karena pemerintah sering
kali gagal menerbitkan PP sebagai aturan hukum konkret pelaksanaaan UU.
Salah
satu rujukannya, sampai saat ini cukup banyak PP yang dikehendaki sebagai
norma pelaksanaan UU No 5/1960 tak diterbitkan pemerintah yang menyebabkan
beberapa norma UU No 5/1960 tak dapat dilaksanakan secara efektif. Pengalaman
demikian seharusnya jadi batu uji dan pelecut
DPR untuk memproduksi UU yang lebih komprehensif dan berkualitas.
Pengadilan pertanahan
Untuk
menyelesaikan sengketa pertanahan secara efektif dan efisien, RUUP
mengintroduksi pengadilan pertanahan. Secara historis-kronologis, gagasan
pembentukannya sudah lama muncul sebagai respons pengalaman empiris bahwa
penyelesaian sengketa pertanahan oleh pengadilan umum dan pengadilan tata
usaha negara (PTUN) selama ini selalu berlarut-larut, berbiaya sangat konsumtif,
dan akhirnya lumpuh sebagai putusan di atas kertas. Sayangnya, konsep
pengadilan pertanahan sebagai pengadilan khusus masih sumir dan absurd yang
sangat berpotensi hanya menyambung dan mengubah nomenklatur fenomena
kegagalan kinerja peradilan umum dan PTUN.
Konsep
dan konstruksi pengadilan pertanahan sebagai peradilan khusus sebaiknya
diperkaya dengan melakukan dekonstruksi terhadap peradilan khusus yang sudah
ada, antara lain pengadilan pajak, pengadilan niaga, pengadilan hubungan
industrial (PHI), dan pengadilan tipikor, yang secara empiris sebetulnya tak
punya keistimewaan dalam prestasi dan kinerja. Ironisnya, peradilan tipikor
sulit dibedakan sebagai lembaga pengadilan atau lembaga penghukuman. Sebab,
para hakim tipikor secara umum telah kehilangan independensi dan obyektivitas
dalam mengadili yang justru menafikan jiwa dan substansi pengadilan sebagai
penegak hukum dan keadilan yang dimaksud Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945.
Pembentukan
pengadilan pertanahan seharusnya merujuk pada konstruksi kekuasaan kehakiman
yang diatur Bab IX Pasal 24 UUD 1945 berikut UU pelaksanannya. Selanjutnya
diperkaya aspek filosofi, teori, dan empiris peradilan khusus yang sudah ada
di berbagai negara.
AS dan
Inggris merupakan negara yang banyak memiliki peradilan khusus yang secara
efektif dan tepat tujuan telah sukses memaknai dan memberi karakter peradilan
khusus sebagai pilar penegakan hukum
yang berkeadilan. Salah satu isu yang
harus jadi perhatian dalam melakukan
pembahasan pengadilan pertanahan sebagai pengadilan khusus dalam RUUP adalah
menyangkut lembaga hakim ad hoc.
Konsep dan konstruksi lembaga hakim ad hoc harus jelas menyangkut sumber, wewenang, dan bagaimana cara
pengisiannya.
Jangan
sampai mengulangi pengalaman naif lembaga hakim ad hoc yang ada pada PHI dan
pengadilan tipikor saat ini yang ternyata tidak ada beda karakter dengan
hakim karier. Terlebih lagi setelah Mahkamah Agung memermanenkan hakim ad hoc
pada PHI dan pengadilan tipikor dengan
alasan tidak tersedia dana untuk melakukan seleksi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar