Perginya
Kursi Perempuan
Adriana Venny ;
Doktor Filsafat UI, Pendiri Lembaga Partisipasi Perempuan
|
KOMPAS,
30 Mei 2014
KOMISI
Pemilihan Umum sudah mengumumkan daftar anggota legislatif terpilih hasil
Pemilu 2014. Terdapat 97 nama perempuan dari semua (560) anggota DPR.
Artinya, kita hanya akan memiliki 17 persen perempuan yang akan mewakili
seluruh rakyat Indonesia di badan legislatif.
Sejak
merdeka, Indonesia belum pernah mencapai 30 persen representasi perempuan di
parlemen. Pada Pemilu 2014, jumlah keterwakilan perempuan bahkan jeblok lagi
di angka 14 persen dibandingkan dengan Pemilu 2009 yang hampir 19 persen.
Padahal, sesuai dengan hasil penelitian di negara-negara seluruh dunia, 30
persen adalah angka minimal untuk dapat mengubah kebijakan hingga lebih
responsif jender.
Kebijakan
itu dikenal dengan affirmative action: kebijakan khusus sementara dengan
kuota minimal 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen yang harus
diproteksi. Meski kita sudah 68 tahun merdeka dan belum pernah mencapai 30
persen, kelak kebijakan bisa ditinjau ulang bila 30 persen sudah tercapai.
Hari-hari
kemarin saya berkabung melihat rekan-rekan berlatar aktivis masyarakat sipil:
calon anggota legislatif perempuan berkualitas berguguran. Padahal, mereka
harapan besar bagi perubahan proses pembuatan legislasi yang berpihak kepada
kaum rentan.
Namun,
setelah melihat bahwa jumlah perempuan hasil Pemilu 2014 hanya berkisar 17,5
persen, marah sudah tak terbendung lagi. Akumulasi angka di setiap pemilu
yang bahkan tidak pernah mencapai 20 persen. Ini adalah utang bangsa
Indonesia kepada kaum perempuan Indonesia. Dampaknya jelas sangat besar,
perempuan tak menikmati manfaat pembangunan secara maksimal. Justru
kehidupannya semakin buruk setelah produk legislasi yang dihasilkan tidak
responsif jender. Lebih dari 250 perda diskriminatif terhadap perempuan di
seluruh Indonesia telah dihasilkan parlemen lokal.
Tidak kondusif
Situasi
yang tak kondusif bagi perempuan berkiprah di dunia politik semacam di
Indonesia sudah diramalkan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Salah satu
penelitinya, Farzana Bari, dalam risetnya, Women’s Political Representation:
Issues and Challenges, menggambarkan tantangan yang umumnya dihadapi
perempuan ketika ingin terjun dalam dunia politik. Pertama adalah faktor
ideologi (misalnya anggapan bahwa perempuan tidak cocok masuk dunia politik);
kedua, faktor politik (perempuan susah masuk dalam atmosfer klub patriarkal);
ketiga, faktor sosial kultural (tingkat pendidikan perempuan yang lebih
rendah, atau beban domestik misalnya); keempat, tiadanya sumber ekonomi untuk
modal kampanye (data seluruh dunia menunjukkan perempuan lebih miskin
daripada laki-laki).
Empat
faktor tersebut diyakini adalah sumber masalah minimnya tingkat partisipasi
perempuan di politik. Adapun strategi yang biasanya dikembangkan untuk
meningkatkan partisipasi perempuan sehingga berhasil duduk di parlemen dan
kemudian menggulirkan kebijakan-kebijakan yang pro terhadap kelompok
marjinal, antara lain, adalah kuota jender. Sistem pemilu yang dibangun harus
memperhatikan adanya tindakan khusus sementara minimal 30 persen yang dikawal
hingga pemilu berakhir.
Dalam
sistem pemilu di negara-negara lain digambarkan bahwa kursi perempuan tidak
dapat diganggu gugat. Bahkan, partai politik tak bisa masuk ke parlemen jika
ia tak mempunyai komposisi 30 persen perempuan untuk didudukkan di parlemen.
Di negara seperti ini, kuota menjadi bagian dari ambang batas parlemen.
Dalam
kasus Indonesia di Pemilu 2014, adanya 37 persen caleg perempuan dalam daftar
calon tetap (DCT) ternyata tidak berbanding lurus dengan perolehan suara
perempuan yang hanya 14 persen. Artinya, kuota tidak terproteksi dengan baik.
KPU sebenarnya memiliki regulasi memproteksi komposisi jumlah caleg perempuan
di setiap dapil dengan memberikan sanksi kepada parpol yang tak memenuhi 30
persen caleg perempuan: di dapil tersebut partai itu dicoret.
Kenyataannya,
regulasi tersebut tak cukup. Seharusnya KPU memiliki regulasi lebih bahwa
hasil pemilu di setiap dapil juga harus memenuhi kuota 30 persen. Caranya
dengan memberikan kursi kepada caleg perempuan dengan suara terbanyak di
bawah laki-laki. Cara seperti ini mungkin akan menyingkirkan caleg laki-laki
dengan suara terbanyak terakhir. Akan tetapi, langkah ini terpaksa diambil
jika tidak mau Indonesia disebut negara terbelakang dengan keterwakilan
perempuan yang selalu rendah.
Apalagi,
Mahkamah Konstitusi telah mengabulkan uji materi untuk Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD yang mengatur
keterwakilan perempuan dalam pemilu legislatif. Dalam putusannya, tersirat MK
memprioritaskan keterwakilan perempuan dalam pemilu legislatif. Pasal 215
yang berbunyi ”mempertimbangkan” dimaknai jadi mengutamakan keterwakilan
perempuan. Meski putusan ini baru diberlakukan pada Pemilu 2019, KPU harus
cukup percaya diri menerapkan ini pada pemilu sekarang.
Dua cara
di atas adalah contoh proteksi yang bisa dilakukan negara kita dengan
berlandaskan pada spirit akan pentingnya tindakan khusus sementara. Soalnya,
angka 14 persen adalah kemunduran bagi bangsa Indonesia. Kita seharusnya malu
kepada negara yang baru merdeka seperti Timor Leste yang tingkat keterwakilan
perempuannya sudah hampir 40 persen. Jaminan kuota itu ada dalam Magna Charta
yang tak bisa diganggu gugat laki-laki.
Intervensi
program agar semua bisa berjalan adalah keharusan. Perempuan memang tidak
bisa dibiarkan terjun bebas seorang diri. Ia harus diproteksi. Tanpa itu,
sampai dengan kiamat, Indonesia tak akan pernah mencapai keterwakilan 30
persen. Jika memang sudah ada intervensi program tetapi kemudian upaya
afirmasi masih tetap gagal, ini perlu segera dievaluasi. Yang jelas, sistem
pemilu yang berjalan saat ini tak mungkin tetap dipertahankan.
Harus
ada terobosan baru menjawab semua tantangan di atas. Perempuan Indonesia
harus merebut kembali kursi mereka yang hilang di parlemen, sekarang atau
tidak sama sekali. Kursi itu adalah suara dan aspirasi kaum yang selama ini
terlupakan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar