Senin, 26 Mei 2014

Legitimasi dari NU dan Kiai

Legitimasi dari NU dan Kiai

Imam Anshori Saleh  ;   Pernah nyantri di beberapa pesantren di Jombang dan Yogyakarta
KOMPAS,  26 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
SETIAP peristiwa pemilihan umum, apakah itu pemilihan umum legislatif, pemilihan umum kepala daerah, atau pemilihan presiden/wakil presiden, organisasi massa, termasuk organisasi keagamaan, selalu dibawa-bawa dan dilibatkan oleh orang-orang tertentu. Partai-partai politik suka mengklaim organisasi keagamaan tertentu sebagai miliknya untuk mencapai tujuan tertentu. Sebut saja, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) selalu mengklaim warga Nahdlatul Ulama (kaum nahdliyin) adalah pendukung partainya. Alasannya, PKB dideklarasikan oleh tokoh-tokoh dan petinggi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), seperti KH Abdurrahman Wahid, KH Bisri Musthofa, dan KH Muchith Muzadi. Partai Amanat Nasional (PAN) mengklaim didukung warga Muhammadiyah karena didirikan oleh mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Amien Rais.

Penulis ingin mengulas khusus untuk NU dan para kiai. NU tidak hanya diklaim oleh PKB, tetapi juga oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) karena pada waktu pemerintahan Orde Baru, PPP merupakan hasil fusi dari partai-partai Islam. Maka, saat ini setidaknya ada dua parpol yang mengklaim didukung oleh warga nahdliyin. Kedua partai sah-sah saja mengklaim seperti itu walaupun kenyataannya , dalam hal pilihan politik, kaum nahdliyin bebas mendukung partai apa saja, calon anggota legislatif,  calon kepala daerah, calon presiden dan calon wakil presiden yang mana saja. Realitasnya, anggota-anggota legislatif di pusat (DPR) dan daerah (DPRD) yang berasal dari warga NU diusung partai-partai non-NU ataupun PPP, seperti oleh Partai Golkar, PDI-P, PAN, Gerindra, Nasdem, Hanura, dan PKS. Warga NU yang kini menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah juga tidak selalu diusung oleh PKB atau PPP, tetapi juga oleh partai-partai lain.

KH Abdurrahman Wahid pernah mengeluarkan pernyataan yang amat terkenal, ”NU tidak ke mana-mana, tetapi ada di mana-mana”. Pernyataan itu agaknya yang menjustifikasi warga NU boleh mendukung partai mana pun, kepada calon anggota legislatif, calon gubernur, calon bupati, serta calon presiden dan calon wakil presiden mana pun. Keanggotaan di NU itu sangat cair. Untuk menjadi warga NU tidak perlu anggota, tidak pernah ditarik iuran, dan kewajiban-kewajiban lainnya. Yang menandai kaum nahdliyin, paling-paling setiap shalat Subuh membaca doa qunut, kalau meninggal diperingati dengan tahlilan, salat tarawihnya 23 rakaat, dan sebagainya. Jadi, klaim-klaim sebagai warga NU boleh dilakukan siapa pun. Termasuk dalam konteks menghadapi semua ritual pemilihan umum. 

Kiai pemberi legitimasi

Bagaimana dengan klaim restu dari kiai? Menjelang pemilihan presiden dan wakil presiden, saat ini dua pasangan calon presiden dan calon wakil presiden ramai-ramai mengunjungi kiai-kiai terkemuka, terutama kiai-kiai yang memiliki pesantren. Lalu, di akhir setiap kunjungan, para capres/cawapres minta didoakan dan direstui. Yang ditangkap dan diberitakan oleh media massa, capres/cawapres yang ”sowan” itu telah direstui oleh  kiai yang disowani tadi. Para kiai tidak pernah menolak tamu. Sebenarnya kiai tidak pernah menolak tamu. Sifat kiai itu mengayomi kepada siapa pun yang datang.

Siapa saja yang datang, dengan motif apa pun, selalu diterima dengan baik. Islam memang mengajarkan perlunya menghormati tamu. Ketika dimintai restu pun selalu dipeluk, direstui, dan didoakan.  Kalau, misalnya, ada dua calon bupati datang dalam kesempatan yang berbeda, keduanya pasti diterima, didoakan, dan direstui.

Direstui dan didukung adalah dua kata yang memiliki arti berbeda. Restu itu sifatnya netral, sementara dukungan itu sudah menunjukkan keberpihakan. Kiai biasanya sebatas merestui. Oleh yang sowan atau tim suksesnya lalu ”diolah” menjadi dukungan. Inilah yang kemudian sering disalahpahami, seolah kalau sudah bertamu kepada kiai itu sudah mendapat dukungan tunggal. Akhirnya kiai terbiasa jadi pemberi legitimasi untuk calon-calon peserta kontestasi dalam pemilu.

Mereka menjadi merasa ”GR”, gegeden rumongso. Celakanya lagi, kalau sudah merasa mendapat restu dari kiai itu, ada ribuan santri berada di belakang kiai tadi. Padahal, realitasnya, santri-santri pada zaman sekarang tidak sebagaimana yang dibayangkan tadi hanya nurut, sami’na waatha’na, mendengar dan patuh. Santri-santri dan kaum nahdliyin sekarang sudah berpikir sangat kritis. Mereka tidak hanya melek huruf, tetapi juga sudah melek media massa dan  media sosial.

Kiai itu masing-masing mempunyai maqam atau posisi kapasitas. Kepada kiai tertentu, ahli fikih, nahdliyin atau para santri akan bertanya tentang hukum halal dan haram. Kiai ahli tariqah, nahdliyin dan para santri berguru untuk olah spiritual, kiai ahli ilmu alat, tempat berguru dalam memahami kitab-kitab klasik (kitab kuning), dan  sebagainya.  Yang tidak memahami sosiologi kiai akan selalu digeneralisasi, kiai dianggap mempunyai segala rupa keahlian. Maka, para calon yang datang kepada kiai selalu  berekspektasi yang berlebihan: restu, doa, dan dukungan.

Di tengah persaingan para calon untuk meraih dukungan dari para kiai untuk tujuan tertentu, akhirnya terjadi pengaburan makna gradasi antara doa, restu, dan dukungan. Melalui kepiawaian memainkan opini dan publikasi di media massa, pada akhirnya masyarakat mendapat pemahaman yang keliru. Bahkan, pada akhirnya merendahkan martabat para kiai karena seolah menjadi ”pabrik restu” atau menjadi komoditas yang dimanfaatkan oleh para calon atau pendukung calon. Dalam konteks ini, saya sangat setuju dengan pernyataan Slamet Effendy Yusuf, salah satu ketua PBNU, yang dimuat di sebuah media massa, ”Jangan bawa-bawa NU dan ulama”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar