Mengubah
Sistem Pemilu
Muhammad
Aziz Hakim ; Pengurus
Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor,
Alumnus
Magister Ilmu Hukum Universitas Indonesia
|
KORAN
SINDO, 14 Mei 2014
”Pemilu yang brutal”,
demikianlah gambaran umum pelaksanaan Pemilu Legislatif 2014 yang dilaksanakan
beberapa waktu lalu. Praktik politik uang yang telanjang, saling tikam
antarsesama caleg satu partai, dan ”koalisi” antarcaleg lintas partai berbeda
tingkatan adalah fenomena yang mengemuka dalam pesta akbar demokrasi itu.
Agaknya
sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak lebih banyak mudaratnya
ketimbang manfaatnya. Dus perubahan sistem pemilu adalah solusi yang pantas
dikedepankan, tentu dengan berbagai prasyarat yang juga harus dipenuhi.
Banyak yang menuding pemberlakuan sistem pemilu proporsional terbuka dengan
suara terbanyak adalah ”dosa sejarah”
Mahkamah Konstitusi. Bagaimana tidak, melalui Putusan Nomor 22-24 PUU-VI 2008,
MK telah menghapus Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e
dalam UU No 102008 tentang Pemilu. Implikasinya, caleg terpilih ditentukan
berdasarkan suara terbanyak di antara caleg dalam satu partai.
Putusan
MK ini diadopsi kembali dalam UU No 8 Tahun 2012 tentang Pemilu. Dan hasilnya
adalah Pemilu 2014 yang ”brutal”. Jika dibuat daftar, setidaknya berikut ini
adalah beberapa mudarat sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak.
Pertama, saling tikam antarsesama caleg dalam satu partai. Dalam kondisi ini,
lazimnya caleg satu partai berkolaborasi dan bersinergi memenangkan
partainya. Pasar bebas pemilu telah mendorong ke realitas sebaliknya,
pertarungan tidak hanya antar partai tetapi telah bergeser pertarungan
personal.
Kedua,
koalisi caleg lintas partai. Karena pergeseran medan maka yang terjadi adalah
”koalisi” antarcaleg lintas partai. Koalisi ini terbangun dengan caleg di
suatu tingkatan pemilihan berkoalisi dengan caleg dari partai lain di tingkat
pemilihan atas atau tingkat pemilihan bawah. Koalisi yang dibangun pun tidak
pandang bulu, tidak melihat platform
partai. Ketiga, telanjangnya praktik money
politic. Dalam situasi pasar bebas, seluruh caleg memiliki peluang yang
sama. Pada titik inilah, caleg mengerahkan segenap potensinya. Berbagai cara
ditempuh untuk memenangkan pertarungan.
Dan yang
paling brutal adalah praktik money
politic yang telanjang. Bahkan pada tahap yang lebih brutal lagi adalah
praktik jual beli suara caleg. Dan, sistem proporsional terbuka pun memakan
korban. Deretan caleg petahana potensial dengan track record nan menawan
terpental. Pun demikian dengan aktivis partai yang minim dukungan finansial.
Banyak pejabat teras partai di berbagai daerah gagal menjadi anggota dewan,
meski berada di nomor urut teratas di daerah pemilihan. Mereka dikalahkan
oleh caleg ”pendatang baru” yang didukung oleh kekuatan modal. Dengan sistem
ini, pemilu bak pasar bebas yang tak terkendali dan berpihak pada pemilik
modal besar.
Mengubah sistem
Opini
mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Moh Mahfud MD, ”Suara Terbanyak Itu Kehendak Legislatif” di harian KORAN SINDO
(10 Mei 2014) menarik dicermati. Seolah tidak terima terhadap tuduhan MK
memikul ”dosa sejarah” dengan
diberlakukannya sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak, Mahfud
memberikan argumentasi mengapa MK mengeluarkan Putusan Nomor 22-
24PUU-VI2008. Sembari berapologi bahwa sejatinya ”suara terbanyak” adalah
kehendak DPR, Mahfud secara tersirat mengusulkan perubahan sistem Pemilu
menjadi proporsional tertutup.
Sejatinya,
sistem proporsional daftar terbuka bukan tanpa dampak positif. Salah satu
dampak positif adalah memecut daya persaingan dan membendung pertikaian antar
kubu dalam satu partai (Dieter Nohlen,
2000). Akan tetapi, memang dampak negatif proporsional daftar terbuka
sangat besar berupa melemahkan posisi partai dan persaingan tak terkendali di
internal partai. Dewan Pimpinan Partai tidak bisa menjadi penentu para wakil
yang dikirim ke DPR (Harrald BarrionJoerg Meyer-Stamer, 2000). Dan dampak
negatif ini sangat terasa di Indonesia.
Eksperimentasi
proporsional daftar terbuka dengan suara terbanyak sepertinya harus
ditinggalkan berganti sistem proporsional tertutup. Dengan sistem
proporsional tertutup, penentuan caleg terpilih kembali berdasarkan nomor
urut sebagaimana sistem Pemilu 1999 dan Pemilu 2004. Memang, sistem ini
dimungkinkan ”mengurangi” praktik money
politic. Tetapi terdapat handicap
besar dengan sistem ini, yakni masih kentalnya oligarki partai politik.
Kondisi partai seperti ini hanya akan memunculkan mudarat berupa munculnya
caleg-caleg tipikal ”kader jenggot” yang dekat dengan pimpinan partai untuk
duduk di nomor urut teratas.
Meritokrasi
pun sulit terwujud dalam situasi ini. Oleh karena itu, sistem proporsional
daftar tertutup membutuhkan prasyarat supaya tidak terjerembap pada ”lubang
yang sama” dengan Pemilu 1999 dan Pemilu 2004. Prasyarat itu bisa dideretkan
sebagai berikut pertama, keharusan seseorang menjadi caleg harus sudah
menjadi anggota partai politik dalam durasi waktu tertentu. Selama ini, UU
Pemilu tidak pernah memasukkan ketentuan ini. Akibatnya banyak caleg siluman
yang mendadak muncul dalam setiap pendaftaran caleg.
Pun
banyak terjadi politisi kutu loncat, sebelumnya dikenal sebagai politisi
partai A mendadak berganti baju menjadi caleg Partai B. Kedua, seorang caleg
harus mengikuti kaderisasi dalam partai untuk menjadi caleg. Dengan ketentuan
ini, seorang caleg harus mengikuti kaderisasi internal partai. Level
kaderisasi menjadi syarat seseorang untuk menjadi caleg di tingkat mana ia
dicalonkan, apakah DPR RI, DPRD provinsi, atau DPRD kabupaten kota. Ketiga,
prasyarat penyelenggaraan pemilihan pendahuluan tertutup (closed primary election) guna
penyusunan daftar Caleg yang diajukan dalam general election.
Di
Amerika Serikat, primary election adalah sistem yang lazim dilakukan, baik
dalam pemilihan anggota kongres maupun pemilihan presiden. Sejatinya terdapat
beberapa varian primary election,
yakni closed primary, open primary,
semi-closed primary, dan top two.
Agaknya, closed primary election
lebih tepat sebagai salah satu upaya institusionalisasi partai melalui sisi
penguatan basis keanggotaan. Hal ini karena closed primary election mempersyaratkan identifikasi anggota
partai secara ketat sebagai pemilih (voters).
Dan
urgensi closed primary election
adalah untuk mengikis praktik ”kader jenggot” dan harapannya dapat
memunculkan kader yang memang betul-betul aktif menggerakkan mesin partai.
Dengan memberlakukan tiga prasyarat itu, sistem proporsional tertutup dapat
diterapkan tanpa kekhawatiran adanya reduksi oligarki partai. Partai dipaksa
untuk menyeleksi caleg-calegnya dengan sistem meritokrasi.
Pada
akhirnya, perubahan sistem pemilu dengan segenap prasyarat yang harus
dipenuhi itu, menunggu political will
anggota dewan terhormat yang telah terpilih dalam ”pemilu brutal” kali ini.
Sembari menunggu, seluruh elemen bangsa seyogianya terus memberikan tekanan
untuk adanya perubahan sistem pemilu guna menuju Indonesia yang lebih baik. Wallahu a’lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar