Ian
Antono dan Kesadaran Dokumentasi Karya
Denny
Sakrie ; Pengamat Musik
|
TEMPO.CO,
26 Mei 2014
Gitaris
dan komposer Ian Antono mengumpulkan seluruh karyanya, yang selama ini
tersebar dalam berbagai rekaman, yang pernah dilakukannya sejak 1976. Lalu,
karya-karya itu diinterpretasikan ulang dalam serial rekaman dengan tajuk Ian
Antono Song Book.
Tak
banyak pemusik kita yang memiliki kesadaran untuk mendokumentasikan karya
seperti yang dilakukan Ian Antono. Kesadaran mendokumentasikan karya jelas
merupakan akar penting dalam melestarikan khazanah musik Indonesia. Ketika
banyak pihak seolah melupakan pencatatan atau pendokumentasian karya musik,
upaya yang dilakukan Ian Antono, yang baru saja meluncurkan album Ian Antono Song Book 1, patut didukung
atau setidaknya diteladan.
Begitu
banyak karya pemusik Indonesia yang hilang ditelan zaman tanpa pencatatan
yang runut dan rapi sejak dahulu kala. Mungkin hanya sebagian yang sempat
tercatat. Tapi, menurut dugaan saya, masih begitu banyak yang hilang musnah
tanpa bekas.
Padahal
sejarah industri rekaman di Indonesia cukup panjang. Industri itu dimulai
pada 1905, ketika seorang saudagar Tionghoa bernama Tio Tek Hong mendirikan
perusahaan rekaman Tio Tek Hong Record
di kawasan Pasar Baru pada zaman pemerintahan Hindia Belanda. Perusahaan ini
merekam berbagai musik bernuansa Indonesia saat itu, seperti gamelan, stamboel,
gambus, dan musik populer dalam medium piringan hitam 78 RPM. Setelah itu,
bermunculan label-label rekaman asing, seperti BeKa Record dari Jerman yang melanjutkan langkah Tio Tek Hong Record.
Namun,
yang menjadi pertanyaan: apakah generasi sekarang pernah mendengar atau
menyimpan dokumentasi karya-karya pemusik Indonesia di masa lampau itu?
Jangankan rekaman yang pernah dibuat sekitar 100 tahun silam itu,
rekaman-rekaman musik Indonesia di era setelah Proklamasi Kemerdekaan hingga
era 1970-an maupun 1990-an pun bahkan sangat sulit ditemukan secara utuh.
Karya-karya rekaman musik Indonesia masa lalu kini hanya menjadi milik para
kolektor. Sangat memprihatinkan.
Upaya-upaya
merilis ulang katalog musik Indonesia era 1960-an hingga 1970-an, misalnya,
justru datang dari orang-orang asing. Beberapa label rekaman asing, seperti Strawberry Rain (Kanada), Sublime Frequencies (Amerika Serikat),
atau Shadoks (Jerman), merilis
ulang album-album rekaman musik populer Indonesia era 1960-an hingga 1970-an,
seperti Dara Puspita, Koes Bersaudara, Ariesta Birawa, Koes Plus, Sharkmove,
Guruh Gipsy, Kelompok Kampungan, AKA, Benny Soebardja, dan masih sederet
lainnya.
Kita
sendiri malah nyaris tak melakukan upaya apa-apa untuk melestarikan khazanah
musik Indonesia. Entah kenapa inisiatif selalu muncul dari orang-orang asing.
Tapi kesadaran dan kepedulian seorang Ian Antono, yang berupaya menyelamatkan
karya-karyanya dalam sebuah album tafsir ulang, tentunya patut ditiru oleh
insan-insan musik Indonesia lainnya. Apalagi tafsir ulang karya Ian Antono
yang dilakukan sendiri ini juga melibatkan kontribusi para pemusik generasi
sekarang. Jelas ini merupakan upaya menghindarkan missing link atau keterputusan mata rantai yang terjadi dalam
sejarah musik Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar