Pengelolaan
dan Pengendalian Inflasi
Firmanzah ;
Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan
|
KORAN
SINDO, 26 Mei 2014
Bank
Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) pada awal 2014 telah menaikkan
outlook ekonomi global sebagai respons atas sinyal pemulihan yang ditunjukkan
negara-negara maju, khususnya Amerika Serikat (AS).
Kendati
demikian, revisi ke atas outlook ekonomi dunia masih dihadapkan pada risiko
perlambatan sejumlah negara berkembang seperti China, India, Afrika Selatan
dan Brasil. Sinyal pemulihan ekonomi negara maju seperti AS dan Eropa telah
menghadirkan kekhawatiran baru bagi prospek ekonomi negara-negara berkembang.
Lonjakan inflasi di beberapa negara berkembang pada pengujung 2013 hingga
awal 2014 memberi tekanan bagi upaya pemulihan global.
Pelemahan
mata uang di kawasan Asia, Afrika, dan Amerika Selatan telah menstimulasi
ancaman inflasi dan memaksa bank sentral di sejumlah negara tersebut
menaikkan tingkat suku bunga acuan. Ini yang dilakukan oleh negara-negara
seperti Brasil, India, Afrika Selatan, dan Turki. Ancaman lonjakan inflasi
ini banyak dihadapi negara-negara dengan defisit transaksi berjalan yang
besar dan diperdalam oleh tekanan menguatnya mata uang dolar AS. Seperti yang
kita ketahui, AS kini tengah berupaya mengakhiri kebijakan pelonggaran
kuantitatif dan rezim suku bunga murah.
Akibat
dari kebijakan ini, terjadi eksodus modal (capital outflow) yang cukup besar dari pasar negara-negara
berkembang. Kondisi ini juga diperburuk dengan perlambatan China yang selama
ini banyak menopang ekonomi negara-negara berkembang. Pada kondisi ini,
sejumlah negara berkembang dituntut melakukanrestrukturisasiarusmodal keluar
dan melakukan penataan kembali sumber pertumbuhan yang lebih berkelanjutan.
IMF dan
sejumlah pengamat ekonomi global pada April 2014 menyebutkan ancaman risiko
inflasi akan kembali mengemuka ketika terjadi kenaikan beberapa harga komoditas
pangan dunia. IMF dan para analis menilai hargaharga pasokan barang di sektor
pertanian merupakan faktor strategis pada perekonomian di negara-negara
berkembang, khususnya negara dengan struktur sektor pertanian yang besar.
Sementara itu profil kemiskinan di negaranegara berkembang banyak ditemui
pada masyarakat di sektor pertanian.
Hal ini
tentu membawa kekhawatiran melonjaknya angka kemiskinan di negara-negara
berkembang ketika terjadi lonjakan inflasi akibat kenaikan harga. Bahkan IMF
menilai kenaikan harga komoditas, khususnya pangan tidak hanya memicu risiko
inflasi, tetapi juga akan berpotensi memunculkan ketegangan global (termasuk
risiko perang). Bagi Indonesia, pengelolaan dan pengendalian inflasi
merupakan kebijakan prioritas yang telah ditempuh sepanjang 2004-2014. Hal
ini dilakukan mengingat mesin pertumbuhan ekonomi nasional sebagian besar
disumbangkan sektor konsumsi.
Artinya
dengan mengelola dan mengendalikan laju inflasi, daya beli masyarakat/ rumah
tangga juga terjaga. Dengan terjaganya daya beli masyarakat, konsumsi akan
terus tumbuh dan diharapkan terus menopang pertumbuhan ekonomi secara
keseluruhan. Indonesia termasuk negara yang dipandang berhasil dalam
mengelola dan mengendalikan laju inflasi. Hal ini setidaknya dapat terlihat
dari kebijakan pengendalian subsidi BBM yang dikhawatirkan dapat memicu
lonjakan inflasi.
Untuk
menjaga kesinambungan fiskal, pemerintah telah melakukan penyesuaian harga
BBM bersubsidi pada tahun 2005, 2008 dan 2013. Penyesuaian harga BBM subsidi
ini dipandang banyak kalangan akan mendorong lonjakan inflasi dan membawa
ekonomi nasional ke risiko yang lebih dalam. Kendati demikian, pemerintah
berhasil menepis anggapan tersebut dengan memperkuat koordinasi otoritas
fiskal-moneter, pusat-daerah, agar risiko lonjakan inflasi dapat ditekan
semaksimal mungkin.
Hasilnya
memang ada lonjakan inflasi 3-4 bulan pascapenyesuaian harga, tetapi bersifat
temporer dan akan kembali ke titik keseimbangannya. Pengelolaan risiko
inflasi dari waktu ke waktu juga menunjukkan peningkatan kualitas pengelolaan
di mana inflasi pada penyesuaian harga BBM subsidi 2005 mencapai 17%, 2008
11%, dan 2013 8,3%. Tentunya ini potret perbaikan yang berkesinambungan.
Keberhasilan pengendalian inflasi di Indonesia didorong oleh semakin kuatnya
koordinasi otoritas fiskal-moneter dan koordinasi pusat-daerah.
Pada
kebijakan fiskal, pemerintah terus mendorong perbaikan neraca transaksi
berjalan dengan menekan pelebaran defisit, memastikan jaminan pasokan
barang/jasa sekaligus stabilisasi harga di tingkat konsumen, khususnya
barang/jasa yang diatur pemerintah (administered
price). Pemerintah juga mengimbau kepada para pelaku usaha untuk
menghindari PHK yang dapat melemahkan daya beli masyarakat.
Dari
sisi kebijakan moneter, Bank Indonesia telah menempuh sejumlah bauran
kebijakan moneter, di antaranya menaikkan suku bunga acuan, melakukan operasi
moneter ke pasar, dan stabilisasi nilai tukar rupiah. Untuk kebijakan
makroprudensial, bank sentral terus mendorong upaya memitigasi risiko
sistemik di sektor keuangan serta pengendalian kredit dan likuiditas agar
sejalan dengan pengelolaan stabilitas makroekonomi. Sementara di bidang
sistem pembayaran, kebijakan diarahkan untuk pengembangan industri sistem
pembayaran domestik yang lebih efisien.
Pengelolaan
dan pengendalian inflasi nasional juga dikontribusi semakin kuatnya
koordinasi pusat-daerah melalui Tim Pengendalian Inflasi yang telah dibentuk
baik secara nasional maupun di tiap daerah. Hingga saat ini telah terbentuk
sebanyak 210 Tim Pengendalian Inflasi Daerah (33 provinsi dan 177
kabupaten/kota). Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) ini bertugas mengawasi
dan melakukan tindakan antisipatif untuk meredam kenaikan harga-harga,
khususnya komoditas pokok seperti pangan.
Koordinasi
antara pusat dan daerah ini menjadi sangat strategis mengingat 80% angka
inflasi nasional bersumber dari daerah-daerah di luar Jakarta. Selain harga
komoditas, TPID ini juga diharapkan dapat memonitor perkembangan tarif
angkutan yang memiliki dampak besar bagi peningkatan harga komoditas. Dengan
meningkatnya koordinasi antara pusatdaerah, risiko lonjakan inflasi dapat
dikendalikan di samping melakukan penguatan kapasitas ekonomi daerah,
pembangunan infrastruktur daerah, reformasi birokrasi dan sejumlah hal yang
dapat mereduksi ekonomi biaya tinggi.
Pada
periode 2014-2019, Indonesia akan menghadapi sejumlah tantangan dengan muatan
ketidakpastian yang tinggi khususnya terkait dengan perubahan cuaca ekstrem
dan terganggunya pasokan barang/ jasa akibat ketegangan global. Menjelang
Pilpres 9 Juli 2014, ekonomi nasional diperhadapkan pada risiko inflasi
musiman memasuki masa tahun ajaran baru, bulan puasa, dan Lebaran. Pengamanan
jalur-jalur distribusi beserta infrastruktur yang melekat di dalamnya perlu
untuk segera dipersiapkan dalam beberapa waktu ke depan di samping
ketersediaan pasokan yang memadai.
Hal ini
tentu tidak hanya bersifat short-term mengingat tahun depan Indonesia juga
akan menghadapi pasar bebas ASEAN. Dengan demikian, pekerjaan perdana bagi
presiden terpilih nantinya adalah mengelola dan mengendalikan risiko inflasi
sebagai faktor yang berdampak besar bagi pertumbuhan konsumsi sekaligus
pertumbuhan nasional di tengah tekanan lonjakan harga komoditas (eksternal)
dan ketersediaan pasokan serta infrastruktur distribusinya (internal). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar