Jumat, 30 Mei 2014

Mengelola Kebijakan Keperawatan

Mengelola Kebijakan Keperawatan

 Dyah Wiji Puspita Sari  ;   Dosen Fakultas Ilmu Keperawatn (FIK) Unissula Semarang, Mahasiswa Pascasarjana FIK UI Jakarta
SUARA MERDEKA,  30 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
PEMENUHAN kebutuhan tenaga perawat profesional diyakini makin dinamis seiring dengan pengimplementasian Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) tahun 2015. Kompetisi dan kualitas tenaga perawat akan menjadi faktor daya saing utama pada pasar jasa keperawatan global. Kegagalan mengelola tenaga keperawatan bisa menjadi langkah awal kegagalan mengambil peluang pasar jasa perawat global.

Aroma kegagalan pengelolaan dalam sektor jasa perawat profesional di Indonesia salah satunya tercium dari persoalan lisensi keperawatan nasional yang tak kunjung selesai. Sertifikat kompetensi dan surat tanda registrasi (STR) yang menjadi lisensi syarat kerja profesi perawat menimbulkan polemik berkepanjangan.

Dalam sistem registrasi keperawatan global, otoritas registrasi perawat dilakukan oleh suatu badan atau konsil yang diamanatkan UU pada setiap negara. Otoritas registrasi tersebut bersifat otonom dan independen sehingga badan atau konsil keperawatan memiliki posisi yang strategis di setiap negara. Di Indonesia, saat ini konsil yang dimaksud diejawantahkan dalam bentuk Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI).

Majelis itu dibentuk dengan dasar hukum setingkat peraturan menteri (permen) sehingga berderajat legalitas rendah. Surat tanda registrasi yang diterbitkan oleh MTKI menjadi sulit diakui di level internasional karena lembaga penerbit tak sesuai dengan standar global keperawatan. Berkait kebijakan sertifikasi kompotensi terjadi dualisme kebijakan. Kemenkes melalui Permenkes Nomor 1796 Tahun 2011 menilai sertifikat kompetensi dikeluarkan oleh MTKI yang merupakan organisasi di bawah naungan Kemenkes.

Sertifikat kompetensi kemudian menjadi syarat untuk penerbitan STR sebagai syarat wajib perawat menjalankan profesinya. Sementara Kemendikbud melalui Permendikbud Nomor 83 Tahun 2013 menilai sertifikat kompetensi merupakan surat tanda pengakuan kompetensi terhadap lulusan dalam uji kompetensi yang diterbitkan oleh perguruan tinggi bersama lembaga profesi.

Dalam hal pengakuan menjalankan praktik profesi, Kemendikbud menerbitkan sertifikat profesi bersama dengan lembaga profesi dan kementerian lain. Polemik tersebut sedikit mereda dengan ditekennya Peraturan Bersama Menkes dan Mendibud Nomor 1//IV/PB Tahun 2013 tentang Uji Kompetensi Tenaga Kesehatan. Regulasi itulah yang mengislahkan kedua lembaga pemerintah terkait tumpang-tindih uji dan sertifikasi kompetensi.

Kemenkes kemudian menerbitkan Permenkes Nomor 46 tahun 2013 yang kini menjadi rujukan untuk registrasi perawat nasional. Rantai birokrasi dalam registrasi dan izin penyelenggaran praktik keperawatan membuat kebijakan keperawatan saat ini inefisien dan cenderung membebani perawat. Perawat harus mengikuti uji kompetensi setelah menyelesaikan proses akademis. Uji kompetensi diajukan secara kolektif oleh institusi keperawatan Majelis Tenaga Kesehatan Provinsi (MTKP) yang ditembuskan kepada organisasi profesi (PPNI). MTKPakan melakukan uji kompetensi setelah mendapat rekomendasi MTKI.

Proyek ”Bancakan”

Usai melaksanakan uji kompetensi, MTKP melaporkan ke MTKI dan institusi pendidikan perawat, peserta yang dinyatakan kompeten (lulus). Institusi pendidikan perawat kemudian mengajukan permohonan sertifikat kompetensi dan STR kepada MTKI melalui MTKP berdasar hasil kelulusan uji kompetensi sebelumnya. MTKI kemudian memproses pembuatan STR bagi perawat yang telah dinyatakan lulus uji kompetensi.

Setelah mendapat STR pun, perawat harus mengajukan surat izin praktik perawat (SIPP) bagi yang menjalankan praktik keperawatan mandiri dan surat izin kerja perawat (SIKP) bagi yang menjalankan tugas di luar praktik mandiri. Kedua surat izin ini dikeluarkan oleh pemda, tempat perawat tersebut berdomisili. Perbedaan pandangan kebijakan dan rantai birokrasi panjang tersebut juga menimbulkan kesan proses sertifikasi merupakan proyek ”bancakan” yang diperebutkan kedua belah pihak.

Masing-masing institusi mengambil peran dalam proses ”produksi” lisensi perawat. Menata kebijakan keperawatan nasional sebagai wajah kesehatan kita menjadi keharusan pemerintah. Pemilu 2014 yang melahirkan wajah baru legislator, senator dan presiden harus menjadi momentum meninjau ulang tata kelola perawat. Solusinya, dengan penyegeraan pengesahan RUU Keperawatan.

Para pemerhati kesehatan menilai lambatnya pengesahan RUU Keperawatan karena kuatnya tarikmenarik yang bersifat politis dan prestise. Politis disebabkan lemahnya daya tawar asosiasi dan institusi keperawatan terhadap DPR dan pemerintah ataupun minimnya ”tawaran” sponsor yang mendukung pengesahan RUU itu. Sementara persaingan prestisius antarprofesi kesehatan di lapangan ditarik dalam diskursus RUU ini yang membuatnya terkatung-katung di meja Senayan. 

Mahasiswa, perawat, dosen, dan organisasi profesi keperawatan harus mengambil langkah terdepan mendesak untuk mewujudkan keterbentukan badan/konsil regulator keperawatan yang otonom dan independen. Semangatnya adalah bila profesi dokter memiliki konsil kedokteran mandiri, mengapa profesi perawat dengan SDM terbanyak belum memiliki konsil? Pasti bisa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar