Ahok
dan Monas
JJ Rizal ;
Sejarawan
|
TEMPO.CO,
30 Mei 2014
Monas
itu stempel kepribadian Sukarno. Begitu kata Roosseno Soerjohadi-koesoemo
saat penganugrahan gelar kehormatan Doktor Honoris Causa dalam ilmu teknik
dari Institut Teknologi Bandung kepada Presiden Sukarno pada 1962. Peristiwa
itu hanya selang setahun lebih sejak pemancangan tiang pertama Monas oleh
Presiden Sukarno pada 17 Agustus 1961.
Dalam
perjalanan sejarah Monas kemudian menjadi representasi simbolis Jakarta,
bahkan Indonesia. Namun keliru jika hanya menganggap Monas hadir sebagai
representasi simbolis. Sebab, bagi Sukarno, monumen itu juga merupakan
representasi historis. Monas adalah
bangunan lahir-batin. Karena itu, Monas bukan saja menghidupkan sfeer atau suasana keteknikan modern
tugu 132 meter yang dimahkotai lidah api dan dilapisi lembaran emas. Tetapi
Monas pun bangunan yang dirancang sejak mula memiliki batin. Hal ini terutama
nyata sekali dalam prakarsa dan konsep Sukarno untuk membangun diorama
sejarah nasional dalam satu Ruang Museum Sejarah Nasional di Monas.
Selang
lebih dari setengah abad sejak didirikan, Monas pun dibersihkan. Pada 2 April
2014, Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) telah
menandatangani lembar kegiatan Kaercher
Cleans Monas di Balai Kota DKI Jakarta. Ini merupakan kegiatan
bersih-bersih Monas untuk kedua kalinya setelah sebelumnya diadakan pada
1992. Namun, sekali lagi, bersih-bersih yang dipahami Monas pun masih tetap
bersih-bersih lahirnya, tidak batinnya.
Seharusnya
reformasi membawa semangat baru untuk memahami seraya membersihkan warisan
kotor Orde Baru yang beroperasi melalui museum, dan salah satunya adalah
Museum Sejarah Nasional di Monas. Tak lama setelah Soeharto naik memegang
kekuasaan, politik legitimasinya yang menempatkan sejarah sebagai alat
penting telah membawa orang-orang Sekretariat Negara dan Pertahanan Keamanan
(Hankam) menuju keanggotaan Panitia Pembina Tugu Nasional. Meski pada 19 Maret
1969, Mashuri sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dilantik sebagai
Ketua Panitia Pembina Tugu Nasional, dua lembaga itu, yang oleh David
Jenkins-si penulis biografi Soeharto paling ambisius-disebut sebagai lembaga
terpenting yang menjadi mesin pelindung Soeharto dalam kekuasaan militernya,
justru lebih banyak memainkan peran.
Mereka
banyak melibatkan diri dalam pencitraan baru dan pengubahan memori kolektif
bangsa dengan mengikis habis memori kolektif bangsa yang telah dibuat
Sukarno. Ini segera tampak dalam susunan Tim Perancang Isi Museum Sejarah
Nasional-pengganti Panitia Museum Sejarah Nasional yang pernah dibentuk
Sukarno. Berdasarkan Surat Keputusan Ketua Panitia Pembina Tugu Nasional
Nomor 06/Kpts/69 tertanggal 30 Desember 1969, ditunjuk sebagai ketua
sekaligus anggota Nugroho Notosusanto.
Dalam
bukunya, History in Uniform,
Katharine E. McGregor menyebut Nugroho sebagai propagandis yang paling
penting dalam rezim Orde Baru. Ia tanpa lelah menyebarluaskan kepahlawanan
militer Indonesia melalui museum, film dokudrama, dan buku pelajaran. Dari
kantor Pusat Sejarah ABRI yang baru di dekat Monas, Nugroho memimpin tugas
menyusun ulang adegan-adegan yang akan dibuat dalam bentuk 48 diorama di
Museum Sejarah Tugu Nasional.
Dari
adegan-adegan yang disepakati, nyatalah bahwa konsep sejarah Nugroho yang
hadir dalam diorama Monas diproyeksikan untuk menyajikan pembenaran atas
peran militer dalam kepemimpinan nasional, meski itu terasa betul
dilebih-lebihkan, kalau tidak dapat dikatakan palsu. Masa lalu nasional,
sebagaimana yang disajikan oleh adegan-adegan diorama, menonjolkan
superioritas militer Indonesia, kejijikan pada sosialisme, dan sangat
mengecilkan peran historis Sukarno.
Ada
ironi melihat bersih-bersih Monas. Di balik tampilan lahirnya yang bersih,
dalam batin Monas tetap bersarang kotoran kebohongan Orde Baru. Lahirnya siap
menjalankan tugas simbolisnya yang baru, tetapi batinnya tidak. Entah untuk
berapa lama lagi Museum Sejarah Monas tetap akan menjadi "si tua bangka". Yang
mulutnya tetap saja mengoceh memberi dongengan yang sama ihwal
kebohongan-kebohongan sejarah Orde Baru kepada jutaan anak sekolah yang
setiap tahun datang secara rutin dari seluruh penjuru Tanah Air. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar