Kudeta
di Thailand dan Artinya bagi Indonesia
Salim Said ;
Guru besar Ilmu Politik Universitas Pertahanan Indonesia;
Dosen tetap pada Sesko TNI, Sesko AL, Sesko AU, Sesko AD, dan PTIK/STIK
|
MEDIA
INDONESIA, 30 Mei 2014
KUDETA, secara tradisional sejak
1932, meru pakancara pergantian elite penguasa yang paling menonjol di
Thailand. Sejak kudeta pertama (1932) itu, belasan kudeta telah melanda
negeri tersebut. Ciri yang menonjol dalam kudeta Thailand ialah sifatnya yang
elitis. Artinya, pada umumnya tidak melibatkan rakyat dan berlangsung tanpa
pertumpahan darah. Hanya ketika mahasiswa mulai memasuki arena politik di era
70-an, kudeta 1973, 1976, dan 1992 tak terhindarkan lagi dari simbahan darah.
Menarik untuk dicatat bahwa
hampir semua kudeta di Thailand berlangsung menjelang Oktober, bulan
pergantian pimpinan militer. Itu di masa lalu, yang membuktikan kudeta itu
urusan para jenderal saja. Rakyat paling banyak hanya menikmati `pameran'
barisan tank dan peralatan militer modern lainnya berseliweran di Kota
Bangkok.
Namun sejak era 70-an, peran
Raja Thailand, Bhumibol Aduljadej, menjadi sangat penting dalam perpolitikan
`Negeri Gajah Putih', terutama dalam hubungan tentara dengan politik. Rakyat
Thailand yang beragama Buddha melihat raja mereka--yang bersimpati dan banyak
memberi perhatian kepada rakyat kecil--sebagai Buddha hidup (living Buddha). Sejak itulah kudeta
bukan melulu mainan para jenderal.
Ada tiga kudeta di Thailand
pasca-Perang Dunia II yang penting untuk dimengerti. Pertama, kudeta 1973.
Kudeta ini sangat berdarah dengan mahasiswa sebagai penantang utama berhasil
menggulingkan rezim militer, dengan kekuasaan absolut, di bawah pimpinan
Marsekal Thanom Kittikachorn. Pada 1973¬1976 Thailand mencoba menegakkan
demokrasi. Yang terjadi justru hampir anarki sehingga kelas menengah Thailand
yang masih lemah memilih tentara untuk memimpin kembali Thailand (withdrawal syndrome, menurut Ben
Anderson). Pada 1976 ditandai oleh kudeta militer berdarah yang korbannya
terutama ialah mahasiswa.
Kudeta berdarah yang ketiga
ialah pada 1992, yang dipimpin Jenderal Suchinda Krapkrayoon. Yang dihadapi
waktu itu ialah mahasiswa yang didukung kelas menengah dan mendapatkan
simpati raja. Meski telah menumpahkan darah ratusan orang-terutama mahasiswa Krapkrayoon
akhirnya harus mundur. Raja menolaknya. Kekalahan militer dan kemenangan
demokrasi di Thailand pada 1992 itu oleh para pengamat politik disimpulkan
sebagai bukti menguat dan solidnya kelas menengah Thailand setelah sekian
lama mengalami perkembangan ekonomi.
Maka ketika Jenderal Sonti
menggulingkan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra beberapa tahun kemudian,
orang pun terkejut dan bertanya-tanya, apa yang terjadi dengan kelas menengah
Thailand? Pengalaman Thailand menunjukkan bahwa kelas menengah--seperti yang
diduga Lenin-pada dasarnya bersifat oportunistis, hanya akan pro kepada pihak
yang menguntungkan mereka.
Kelas frustrasi
Marilah kita lihat Thailand
menjelang kudeta Jenderal Sonti. Jauh sebelum kudeta, kelas menengah Thailand
sudah berusaha keras menjatuhkan Thaksin, yang dianggap musuh karena sang
perdana menteri lebih mementingkan konstituennya di kalangan miskin dan petani.
Perpecahan dalam kalangan kelas menengah dan frustrasi mereka dimanfaatkan
oleh tentara yang juga punya persoalan dengan Thaksin.
Selain kekuasaan yang
diperolehnya lewat pemilihan umum, Thaksin kelihatannya ingin memperkuat
kedudukannya dengan menguasai tentara (subjective
civilian control). Tentara Thailand cenderung dekat kepada raja yang
dikelilingi para mantan jenderal sebagai penasihatnya. Untuk mencapai
tujuannya, Thaksin mempromosikan orang orangnya di dalam militer ke posisi
tinggi untuk menguasai tentara. Keadaan itu dilawan oleh tentara yang merasa
independensi serta otonominya terganggu. Akibatnya, terjadi konflik antara
militer dan Perdana Menteri.
Dengan raja, ternyata Thaksin
juga punya persoalan. Merasa berkuasa dengan dukungan rakyat, Thaksin mulai
risi terhadap pengaruh politik raja-terutama atas tentara-yang sebenarnya
memang tidak punya dasar konstitusional, melainkan semata karena karisma
raja. Hubungan dengan raja menjadi tegang dan keadaan demikian dimanfaatkan
tentara dan golongan kelas menengah. Konflik dengan tentara menjadi lebih
seru sehubungan dengan bentrokan di Thailand selatan. Di selatan, Thaksin
menempuh kebijakan garis keras, sedangkan tentara dan raja lebih menginginkan
perundingan dengan kaum separatis muslim di selatan itu.
Di samping itu, tanggung jawab
militer di Thailand Selatan berangsur dialihkan kepada polisi--Thaksin be kas
perwira polisi lulusan Akademi Kepolisian--hal yang juga menambah kejengkelan
tentara kepada perdana menteri.
Sekian tahun kemudian, adik Thaksin,
Yingluck Shinawatra, menduduki kursi perdana menteri lewat pemilu. Perempuan
cantik itu akhirnya juga digulingkan tentara setelah demonstrasi panjang dan
bentrokan menentang dan juga membelanya melanda Bangkok. Penjelasannya kurang
lebih sama bahwa kelas menengah terpecah karena sang perdana menteri dianggap
hanya sekadar boneka bagi abangnya yang kini bermukim sebagai pelarian di
Dubai.
Arti buat Indonesia
Apakah yang dapat kita simpulkan
dari pengalaman Thailand tersebut? Pertama, berlainan dengan dugaan semula,
budaya politik kelas menengah ternyata belum tertanam kukuh di Thailand. Dalam
keadaan demikian, mudah sekali bagi kekuatan militer untuk merebut kembali
kekuasaan. Kedua, tentara Thailand yang terlibat politik sejak 1932 ialah
tentara yang diam-diam (tanpa doktrin dwifungsi) telah mengembangkan persepsi
diri sebagai kekuatan politik yang pada saat-saat kritis akan tampil sebagai
`juru selamat bangsa'.
Ketiga, kegagalan Thaksin dan
adiknya menggalang kekuatan-kekuatan politik demokratis untuk mempertahankan
demokrasi telah menyedot tentara untuk masuk kembali ke politik.
Mungkinkah yang terjadi di
Thailand akan terjadi di Indonesia? Mungkin dan tidak mungkin. Mungkin dalam
pengertian tentara Indonesia-yang punya rekam jejak panjang terlibat politik--bisa
saja kembali mem mempunyai peranan politik yang sangat menentukan. Namun,
jika peranan politik tentara itu akan muncul kembali, itu tidak akan
diperoleh lewat kudeta, melainkan lewat semacam war of attrition dengan kekuatan kekuatan sipil yang ada di
parlemen dan pemerintahan.
Tentara Indonesia meresmikan
diri mereka sebagai kekuatan politik dengan doktrin dwifungsi (yang sebagai
akibat reformasi sejak April 2000 sudah mereka tinggalkan) tidak melalui
kudeta, tetapi melalui proses incremental (berdikit-dikit) sesuai dengan
kesempatan yang dibukakan oleh golongan sipil. Pengalaman politik yang
berbeda an tara tentara Thailand dan TNI membawa konsekuensi pada berbedanya
jalan yang mereka tempuh dalam menunjukkan diri masing-masing sebagai `juru selamat
bangsa.'
Kendati ada perbedaan tersebut,
pengalaman Thailand dan juga Indonesia di masa lalu menunjukkan dengan jelas
bahwa tentara hanya mungkin tersedot masuk ke dalam politik jika kekuatan
politik sipil membuka ruang bagi tentara untuk berpolitik. Thailand dianggap
memasuki demokrasi sejak 1992 setelah berhasil--dipelopori oleh kelas
menengah--menggagalkan kudeta Jenderal Krapkrayoon. Sementara itu, Indonesia
memasuki era demokrasi setelah-krisis moneter dan demonstrasi yang dipelopori
mahasiswa--berhasil menumbangkan Presiden Soeharto.
Di sini terlihat persamaan dan
perbedaan Indonesia dengan Thailand. Di negeri jiran itu telah bangkit
kekuatan kelas menengah sebagai pendukung demokrasi meski belum solid secara
meyakinkan. Di Indonesia kekuatan demokratis ialah anak-anak muda yang
kedudukannya sebagai mahasiswa merupakan posisi sementara. Keadaan demikian,
maka secara teoritis ataupun pengalaman praktis, menunjukkan bahwa Thailand
sebenarnya lebih siap berdemokrasi dan potensi daya tahan demokrasi nya lebih
kuat ketimbang Indonesia yang kelas menengahnya sangat tidak signifikan.
Jika keadaan demikian kita kaji
dengan saksama, konsekuensinya bagi Indonesia hanya satu, politisi sipil
Indonesia harus sangat berhati-hati dalam mengelola politik agar tidak muncul
ruang kosong yang akan menyedot masuk kekuatan-kekuatan ekstrakonstitusional
ke politik. Mempertahankan kehati-hatian ini tidaklah mudah sebab Indonesia
adalah sebuah bangsa baru yang masih berada pada tingkat fragmented society dengan tingkat kecurigaan antar golongannya
masih terbilang tinggi dan karena itu, potensi perpecahannya masih besar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar