Kampanye
Hitam, Masih Dipakai?
Munajat;
Dosen STAIN Salatiga, Alumnus Texas A&M University,
Amerika Serikat (S-3), dan Universiteit Leiden, Belanda (S-2)
|
JAWA
POS, 26 Mei 2014
DUA
pasangan capres-cawapres Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta baru saja
dideklarasikan, namun kampanye hitam sudah mulai bersliweran di dunia maya,
seperti di Facebook, Twitter, BlackBerry. Bahkan, di beberapa daerah,
selebaran-selebaran gelap juga sudah mulai tersebar.
Kampanye
hitam tersebut sangat beragam, mulai dari cara yang lunak, seperti
menerjemahkan kegiatan politik capres lawan secara negatif, sampai dengan
cara yang keras, seperti menyerang capres lawan dengan isu-isu SARA, dan
bahkan sudah berbentuk pembunuhan karakter.
Meskipun
secara umum orang tidak menyukai kampanye hitam atau bahkan menganggapnya
sebagai perbuatan yang licik dan keji, mengapa bentuk kampanye ini masih
terus dilakukan oleh calon, tim, atau partai tertentu sebagai bagian dari strategi
gerakan politik mereka?
Alasan
mendasar yang sering digunakan untuk melakukan kampanye hitam, pertama,
meningkatkan elektabilitas calon. Pencitraan (branding) dengan bahasa yang
positif semata tidaklah cukup. Karena itu, perlu strategi lain, yaitu
menjatuhkan lawan. Karena itu, kampanye hitam dianggap mempunyai dobel
fungsi, yakni menurunkan elektabilitas lawan dan menaikkan elektabilitas
calon.
Kedua,
ada anggapan bahwa informasi negatif atau buruk lebih menarik daripada
informasi positif. Sebagimana idiom yang populer di dunia media bahwa bad news is good news. Karena itu,
orang akan cenderung lebih mudah menangkap dan menyimpan kampanye yang
bersifat negatif daripada yang positif semata.
Ketiga,
kampanye hitam dapat dijalankan dengan mudah dan murah. Karakter kampanye
hitam yang cenderung anonim mengharuskan penyebarannya melalui media maya
(internet) karena lebih sulit untuk dilacak pembuatnya. Pada saat yang sama,
akses internet sangat mudah dan murah, serta mampu menyebar secara luas dalam
waktu yang singkat.
Efektivitas dan Risiko
Richard
R. Lau et. al (2007) melakukan studi meta analisis terhadap 111 penelitian
tentang efektivitas kampanye hitam. Hasilnya menunjukkan "tidak ada
bukti kuat bahwa kampanye politik hitam mempunyai dampak sesuai dengan yang
dikehendaki oleh pembuatnya."
Young
Min (2004) menjelaskan bahwa strategi hitam sama sekali tidak akan memberikan
efek yang baik bagi calon ataupun memberikan efek buruk kepada lawan. Namun,
ketika kampanye hitam tersebut buruk dan terlihat asal-asalan, ia justru akan
merugikan calon atau pembuatnya.
Daniel
Stevens (2005) menambahkan, efektivitas kampanye hitam (jika ada) tidak
terletak pada bentuknya yang negatif (bad
news), namun lebih kepada kualitas isi kampanye tersebut. Efektivitasnya
sering terbatas pada menjatuhkan lawan, namun tidak menaikkan elektabilitas
calon, karena pemilih akan cenderung apatis ketika orang yang dikagumi
ternyata juga dianggap kotor atau buruk.
Hal ini
senada dengan temuan Stephen Ansolabehere et. al. (1996) dan Richar R. Lau
et. al. (2007) bahwa kampanye hitam akan cenderung mengurangi tingkat
partisipasi pemilih semata karena orang yang sudah mempunyai calon akan
cenderung apatis ketika dia menerima berita yang dianggap kuat bahwa calon
yang didukung mempunyai sesuatu hal yang buruk.
Di
samping itu, kampanye hitam juga berisiko menciptakan efek bumerang (boomerang effect) dan serangan balik (backlash). Efek Bumerang akan terjadi
ketika kampanye hitam kurang berkualitas, buruk, cenderung subjektif dan
personal, sehingga kampanye tersebut justru akan menjatuhkan calon yang
membuat (atau diduga membuat) dan karena itu, dapat menguntungkan lawan yang
diserang.
Serangan
balik (backlash) akan terjadi
karena pihak yang diserang tentu tidak akan tinggal diam. Backlash tersebut biasanya berbentuk
pemberian respon serangan dan atau serangan balik dengan kampanye hitam yang
lain.
Akhirnya,
fakta di lapangan menunjukkan bahwa kampanye hitam memang sangat murah (low cost), namun efektivitasnya masih
dipertanyakan (low impact) dan
memiliki risiko yang cukup berbahaya (high
risk). Karena itu, secara ilmiah, kampanye hitam haruslah dihindari oleh
para calon, tim sukses, dan partai pendukung calon karena ia akan cenderung
kontraproduktif dengan tujuan kampanye untuk menaikkan elektabilitas calon.
Yang
lebih penting lagi adalah bahwa kampanye hitam, dengan cara mengeksploitasi
kelemahan lawan, menjual prasangka buruk, dan menebar fitnah, adalah satu
bentuk strategi politik yang dapat merusak dan menodai proses demokrasi.
Di
samping itu, kampanye hitam yang berimbas pada serangan balik juga akan
membuat pertarungan calon presiden menjadi tidak sehat dan efisien. Sebab,
mereka harus melakukan kegiatan kampanye yang sebenarnya tidak akan
memberikan manfaat bagi mereka. Karena itu, kampanye hitam adalah musuh kita
bersama yang harus dilawan dua tim sukses: Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar