Kamis, 29 Mei 2014

Borjuasi Muslim

Borjuasi Muslim

 Fachry Ali  ;   Salah satu pendiri Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha (LSPEU Indonesia)
REPUBLIKA,  26 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Lima tahun lalu, dalam "History, Politics and the Bakrie Family" (The Jakarta Post, 7 Januari, 2009), saya menggambarkan ketakberpihakan sejarah dan politik bagi pengusaha pribumi. Yang muncul dominan adalah pengusaha Tionghoa, hingga Han Ti Ko mampu membeli Kabupaten Probolinggo dari tangan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels (1808- 1811) seharga 1 juta dolar.
Di bawah sistem tanam paksa (1830-70), ketakberpihakan sejarah kian kelam. Sebab, sistem itu membutuhkan modal, teknologi, dan manajerial yang pasti tak dimiliki kaum pribumi untuk mengelola sumber daya ekonomi. Pasca-1870, melalui kebijakan liberal, Indonesia dibanjiri modal raksasa global. Sementara tak ada jejak pengusaha pribumi dalam gelontoran modal tersebut.
Jejak usaha pribumi baru terdeteksi pada Sarekat Dagang Islam (SDI) awal abad ke-20. Tak sempat terkonsolidasi menjadi kelas borjuasi kuat, fondasinya melemah, karena kekuatan ini tertransformasikan menjadi gerakan politik untuk Sarekat Islam (SI). Sampai kemerdekaan dan Orde Baru (1967-98), perkembangan usaha pribumi Muslim tak memperlihatkan jejak signifikan. Hanya atas "pertolongan" Menteri Muda Urusan Produksi Dalam Negeri Ginandjar Kartasasmita awal 1980-an, cikal-bakal konglomerasi pribumi mulai terlihat.
Dalam perspektif inilah posisi kepengusahaan Aburizal Bakrie harus dilihat. Secara material, kemunculannya sebagai "orang terkaya" Indonesia pertengahan 2000-an dan survivalitas korporasinya adalah historical redemption (tebusan sejarah) absennya pengusaha pribumi selama lebih dari 300 tahun. Secara budaya, Aburizal Bakrie terkait dengan cikal-bakal kaum borjuasi Muslim SDI awal abad ke-20.
Yang terakhir ini terlihat dalam alam pikiran Aburizal Bakrie selama berembuk dengan saya sepanjang 1996-98. Mirip kelahiran SI, berbekal kemajuan usaha, ia mempunyai "mimpi politik": memimpin bangsa. Pada 2003, melalui saya, Aburizal membujuk Nurcholish Madjid menjadi calon presiden (capres) dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2004, sementara dia mengambil posisi calon wakil presiden (cawapres) dan penyedia dana.
Kolaborasi ini tak berlanjut. Tetapi, pilihannya kepada Nurcholish Madjid untuk merealisasikan "mimpi politiknya" mengungkapkan akar budaya borjuasi Muslim Aburizal Bakrie. Selain tokoh Muslim, Nurcholish adalah pemikir yang mempertemukan ajaran Islam dengan kemodernan dan keindonesiaan.
Seorang pengusaha, Aburizal tegak pada dunia teknologi dan manajemen modern, dan secara intrinsik membutuhkan gagasan keagamaan yang berdamai dengan modernitas. Melalui Nurcholish, Aburizal Bakrie--yang mempertautkan diri pada budaya borjuasi Muslim SDI--perlu dukungan politik massa Islam modern untuk mewujudkan mimpi politiknya.
Kesempatan emas itu terbuka ketika ia merebut posisi ketua umum Golkar, pada 2009. Golkar, dengan demikian, menjadi wahana strategis Aburizal Bakrie mewujudkan mimpi politiknya bersama Nurcholish Madjid. Maka, dalam sebuah short message service (SMS) pada 2009, saya mengusulkan agar Aburizal Bakrie membentengi diri dengan tokoh-tokoh berakar di masyarakat yang berfungsi sebagai role model (panutan) bagi rakyat.
Dengan cara ini, aura mereka akan mendukung posisi sosial-budaya dan keagamaan Aburizal Bakrie, sebagai kompensasi status minoritas asal usul etniknya. Sebab, telah menjadi rahasia umum, tokoh yang di anggap layak maju jadi pemimpin puncak nasional selalu mereka yang berasal dari etnik Jawa.
SMS saya tak berbalas. Yang terjadi, sepanjang memimpin Golkar lima tahun belakangan ini, Aburizal Bakrie dikelilingi orang-orang tak berakar sosial- budaya dan keagamaan dan jauh dari fungsi role model bagi rakyat. Untuk mewujudkan mimpi politiknya, orang-orang ini melaksanakan strategi tanpa pemahaman realitas sosiologis: pencitraan eksesif melalui iklan-iklan televisisi. Maka, Aburizal tertampilkan sebagai tokoh hyperreal yang mempersulit publik membedakannya dengan tokoh sinetron atau produk industri.
Akibatnya, Aburizal tidak tampil sebagai tokoh riil di tengah-tengah masyarakat. Pendesain pencitraan Aburizal ini lupa bahwa justru dalam proses demokratisasi politik sejak 1998, hierarki sosial berdasarkan kontrol atas dunia simbolik keagamaan dan budaya tradisional etnik mayoritas menguat, menggantikan kekosongan wibawa negara yang merosot. Mereka yang berada di puncak hierarki sosial inilah yang berdaya bujuk atas masing-masing konstituennya. Dalam perspektif ini, seorang tokoh menjadi exist (berada dan diakui ada) jika masuk dalam framework dunia simbol itu.
Kita tidak tahu persis apa yang terjadi dalam detik-detik terakhir kegagalan pembentukan koalisi Golkar. Tetapi, dalam spekulasi saya, elektabiltas Aburizal Bakrie yang tak kunjung meningkat dan penolakan hampir seluruh partai "berteman" dengannya adalah buah kegagalan fatal juru citra tokoh ini. Bagai mana mungkin elektabilitas Aburizal Bakrie membaik jika ia ditampilkan, melalui iklan, sebagai tokoh sekuler dan menjauhkannya dari dunia riil kaum borjuasi Muslim, seperti yang ingin dilakukannya dengan Nurcholis Madjid pada 2003?
Secara etis dan sebagai teman berembuk sejak 1996-2003, saya perlu mengungkap kisah ini. Dengan kedudukan politik strategis dan sumber dana melimpah, Aburizal Bakrie tak seharusnya ditinggalkan semua partai, dan ironisnya, sebagian kekuatan Golkar, partai yang dipimpinnya, justru dalam detik-detik yang sangat dibutuhkan. Bukankah Aburizal telah menghabiskan waktu selama lima tahun dan dana iklan yang tak sedikit?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar