Borjuasi
Muslim
Fachry Ali
; Salah satu pendiri
Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha (LSPEU Indonesia)
|
REPUBLIKA,
26 Mei 2014
Lima tahun lalu, dalam "History, Politics and the Bakrie
Family" (The Jakarta Post, 7
Januari, 2009), saya menggambarkan ketakberpihakan sejarah dan politik
bagi pengusaha pribumi. Yang muncul dominan adalah pengusaha Tionghoa, hingga
Han Ti Ko mampu membeli Kabupaten Probolinggo dari tangan Gubernur Jenderal
Hindia Belanda Herman Willem Daendels (1808- 1811) seharga 1 juta dolar.
Di bawah sistem tanam paksa
(1830-70), ketakberpihakan sejarah kian kelam. Sebab, sistem itu membutuhkan
modal, teknologi, dan manajerial yang pasti tak dimiliki kaum pribumi untuk
mengelola sumber daya ekonomi. Pasca-1870, melalui kebijakan liberal, Indonesia
dibanjiri modal raksasa global. Sementara tak ada jejak pengusaha pribumi
dalam gelontoran modal tersebut.
Jejak usaha pribumi baru
terdeteksi pada Sarekat Dagang Islam (SDI) awal abad ke-20. Tak sempat
terkonsolidasi menjadi kelas borjuasi kuat, fondasinya melemah, karena
kekuatan ini tertransformasikan menjadi gerakan politik untuk Sarekat Islam
(SI). Sampai kemerdekaan dan Orde Baru (1967-98), perkembangan usaha pribumi
Muslim tak memperlihatkan jejak signifikan. Hanya atas "pertolongan"
Menteri Muda Urusan Produksi Dalam Negeri Ginandjar Kartasasmita awal
1980-an, cikal-bakal konglomerasi pribumi mulai terlihat.
Dalam perspektif inilah posisi
kepengusahaan Aburizal Bakrie harus dilihat. Secara material, kemunculannya
sebagai "orang terkaya" Indonesia pertengahan 2000-an dan
survivalitas korporasinya adalah historical redemption (tebusan sejarah)
absennya pengusaha pribumi selama lebih dari 300 tahun. Secara budaya,
Aburizal Bakrie terkait dengan cikal-bakal kaum borjuasi Muslim SDI awal abad
ke-20.
Yang terakhir ini terlihat dalam
alam pikiran Aburizal Bakrie selama berembuk dengan saya sepanjang 1996-98.
Mirip kelahiran SI, berbekal kemajuan usaha, ia mempunyai "mimpi
politik": memimpin bangsa. Pada 2003, melalui saya, Aburizal membujuk
Nurcholish Madjid menjadi calon presiden (capres) dalam Pemilihan Presiden
(Pilpres) 2004, sementara dia mengambil posisi calon wakil presiden
(cawapres) dan penyedia dana.
Kolaborasi ini tak berlanjut.
Tetapi, pilihannya kepada Nurcholish Madjid untuk merealisasikan "mimpi
politiknya" mengungkapkan akar budaya borjuasi Muslim Aburizal Bakrie.
Selain tokoh Muslim, Nurcholish adalah pemikir yang mempertemukan ajaran
Islam dengan kemodernan dan keindonesiaan.
Seorang pengusaha, Aburizal
tegak pada dunia teknologi dan manajemen modern, dan secara intrinsik
membutuhkan gagasan keagamaan yang berdamai dengan modernitas. Melalui
Nurcholish, Aburizal Bakrie--yang mempertautkan diri pada budaya borjuasi
Muslim SDI--perlu dukungan politik massa Islam modern untuk mewujudkan mimpi
politiknya.
Kesempatan emas itu terbuka
ketika ia merebut posisi ketua umum Golkar, pada 2009. Golkar, dengan
demikian, menjadi wahana strategis Aburizal Bakrie mewujudkan mimpi politiknya
bersama Nurcholish Madjid. Maka, dalam sebuah short message service (SMS) pada 2009, saya mengusulkan agar
Aburizal Bakrie membentengi diri dengan tokoh-tokoh berakar di masyarakat
yang berfungsi sebagai role model
(panutan) bagi rakyat.
Dengan cara ini, aura mereka
akan mendukung posisi sosial-budaya dan keagamaan Aburizal Bakrie, sebagai
kompensasi status minoritas asal usul etniknya. Sebab, telah menjadi rahasia
umum, tokoh yang di anggap layak maju jadi pemimpin puncak nasional selalu
mereka yang berasal dari etnik Jawa.
SMS saya tak berbalas. Yang
terjadi, sepanjang memimpin Golkar lima tahun belakangan ini, Aburizal Bakrie
dikelilingi orang-orang tak berakar sosial- budaya dan keagamaan dan jauh
dari fungsi role model bagi rakyat. Untuk mewujudkan mimpi politiknya, orang-orang
ini melaksanakan strategi tanpa pemahaman realitas sosiologis: pencitraan
eksesif melalui iklan-iklan televisisi. Maka, Aburizal tertampilkan sebagai
tokoh hyperreal yang mempersulit publik membedakannya dengan tokoh sinetron
atau produk industri.
Akibatnya, Aburizal tidak tampil
sebagai tokoh riil di tengah-tengah masyarakat. Pendesain pencitraan Aburizal
ini lupa bahwa justru dalam proses demokratisasi politik sejak 1998, hierarki
sosial berdasarkan kontrol atas dunia simbolik keagamaan dan budaya
tradisional etnik mayoritas menguat, menggantikan kekosongan wibawa negara
yang merosot. Mereka yang berada di puncak hierarki sosial inilah yang
berdaya bujuk atas masing-masing konstituennya. Dalam perspektif ini, seorang
tokoh menjadi exist (berada dan
diakui ada) jika masuk dalam framework
dunia simbol itu.
Kita tidak tahu persis apa yang
terjadi dalam detik-detik terakhir kegagalan pembentukan koalisi Golkar.
Tetapi, dalam spekulasi saya, elektabiltas Aburizal Bakrie yang tak kunjung
meningkat dan penolakan hampir seluruh partai "berteman" dengannya
adalah buah kegagalan fatal juru citra tokoh ini. Bagai mana mungkin
elektabilitas Aburizal Bakrie membaik jika ia ditampilkan, melalui iklan,
sebagai tokoh sekuler dan menjauhkannya dari dunia riil kaum borjuasi Muslim,
seperti yang ingin dilakukannya dengan Nurcholis Madjid pada 2003?
Secara etis dan sebagai teman
berembuk sejak 1996-2003, saya perlu mengungkap kisah ini. Dengan kedudukan
politik strategis dan sumber dana melimpah, Aburizal Bakrie tak seharusnya ditinggalkan
semua partai, dan ironisnya, sebagian kekuatan Golkar, partai yang dipimpinnya,
justru dalam detik-detik yang sangat dibutuhkan. Bukankah Aburizal telah
menghabiskan waktu selama lima tahun dan dana iklan yang tak sedikit? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar