Menakar
Independensi Media
Amir
Effendi Siregar ; Pengamat Media
|
KOMPAS,
26 Mei 2014
SETELAH pemilihan umum
legislatif, kini rakyat Indonesia bersiap memilih presiden. Banyak pihak
gelisah terhadap intervensi pemilik pada isi media, khususnya intervensi
pemilik yang terlibat dalam kompetisi politik ini. Elektabilitas seseorang
tentu tak hanya ditentukan oleh banyaknya pemberitaan dan iklan di media,
tetapi juga oleh banyak faktor termasuk track record, target audience, serta
lingkungan sosial dan budaya.
Maka, penelitian tentang
independensi dan netralitas media yang dilakukan oleh Dewan Pers menjadi
penting meskipun dilakukan sebelum pemilu legislatif. Penelitian dikerjakan
oleh tiga lembaga, yaitu Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2MEDIA),
Remotivi, dan Masyarakat Peduli Media (MPM). Hasilnya telah dipresentasikan
pada akhir Maret 2014, di kantor Dewan Pers.
Menurut Denis McQuail (2013),
Kovach dan Rosentiel (2001), juga Undang-Undang Pers, idealisme jurnalisme
dan media adalah menyajikan informasi yang mencerdaskan dan memberdayakan
publik agar mereka bisa mengatur diri sendiri.
Kepentingan publik adalah alasan
utama eksistensi jurnalisme. Maka, independensi dan netralitas menjadi elemen
penting dalam menjalankan profesi ini.
Dalam penelitian ini, PR2MEDIA
menggunakan metode gabungan, yaitu studi pustaka, analisis isi, wawancara,
dan observasi. Analisis isi dilakukan terhadap surat kabar Kompas dan Koran
Sindo pada 29/10-26/11- 2013, Kompas.com dan okezone.com pada 3- 9/11, serta
RCTI sejak 1-7/11.
Remotivi menganalisis isi
terhadap TVRI, SCTV, Trans TV, RCTI, Metro TV, dan TV One pada 1-7/11-2013.
Adapun MPM meneliti Media Indonesia/Metro TV, Visi Media/ANTV/TV One, MNC, CT
Corporation, dan Jawa Pos/Rakyat Merdeka pada 1-15/11-2013.
Pemberitaan
PR2MEDIA mengukur netralitas
media dengan melihat ada tidaknya, antara lain, unsur sensasionalisme. Ini
terdapat pada Kompas 12,5 persen, Sindo 25,71 persen, Kompas.com 13,6 persen,
okezone.com 15,46 persen, dan RCTI 11,40 persen.
Juxtaposition/linkage
(penyandingan dua hal yang berbeda seolah-olah berhubungan untuk menimbulkan
efek kontras dan atau asosiatif) terdapat dalam Kompas 10 persen, Sindo 8,57
persen, Kompas.com 8 persen, okezone 3,09 persen, dan RCTI 10 persen. Unsur
keberpihakan pada Kompas 2,5 persen, Sindo 14,29 persen, Kompas.com 0 persen,
okezone.com 16,49 persen, dan RCTI 12,9 persen. Semua unsur di atas
seharusnya rendah.
Unsur yang seharusnya tinggi
adalah akurasi pemberitaan, di sini Kompas 100 persen, Sindo 91,43 persen,
Kompas.com 97,6 persen, okezone.com 88,66 persen, dan RCTI 85,7 persen.
Kemudian untuk keberimbangan (melihat kesan positif/negatif terhadap pemilik
atau pihak tertentu) Kompas 80 persen, Sindo 77,14 persen, Kompas.com 64
persen, okezone 39,18 persen, dan RCTI 50 persen.
Secara kuantitatif pemberitaan
tentang pemilik tidak banyak. Namun, secara kualitatif mengandung isu penting
untuk kepentingan pemilik.
Seperti ditunjukkan dalam kasus
RCTI, pemilik tidak hanya menggunakan medianya untuk kepentingan politik,
tetapi juga untuk memenangkan persaingan bisnis dan pembelaan diri atas kasus
hukum.
Observasi yang dilakukan
peneliti menemukan bahwa liputan dalam kelompok MNC tidak hanya bias pemilik,
tetapi juga ada tendensi menyembunyikan kebenaran. Dalam kondisi ini,
loyalitas media dari mencari kebenaran dan bertanggung jawab kepada publik
bergeser ke pemilik.
Selanjutnya, menurut Remotivi,
eksploitasi ruang redaksi oleh pemilik untuk kepentingan politik, paling
nyata terjadi di Metro TV. Surya Paloh (SP) paling banyak diberitakan.
Dari total durasi 43,6 persen di
antaranya memberi porsi kepada SP tampil secara visual dan berbicara di
layar. Berbeda dengan Aburizal Bakrie (ARB)/TV One dan Hary Tanoesoedibjo
(HT)/RCTI. Keduanya tidak melakukan eksploitasi ruang redaksi secara masif,
tetapi bukan berarti TV One dan RCTI independen. Sebab, semua berita tentang
pemiliknya bernada positif.
MPM menyatakan bahwa berita di
TV One lebih banyak menyebut Partai Golkar dan ARB sebagai calon presiden
dibandingkan dengan calon dan parpol lainnya. Demikian pula di Metro TV
dengan Partai Nasdem dan SP. Di media cetak, Rakyat Merdeka memberikan porsi
dominan pada Dahlan Iskan.
Iklan pemilik
PR2MEDIA memperlihatkan, dari
seluruh iklan politik, iklan pemilik di Kompas 0 persen, Sindo 47,06 persen,
dan RCTI 83,7 persen. Adapun iklan terselubung yang dikemas dalam bentuk
berita di Kompas 0 persen, Sindo 41,2 persen, dan RCTI 13,30 persen. Iklan
politik Win-HT dominan di Koran Sindo ataupun RCTI.
Remotivi memperlihatkan, TV One
memberikan ruang 152 spot iklan bagi ARB selama awal November saja. Sementara
itu, di RCTI, Win-HT beriklan sebanyak 66 kali ditambah kampanye dalam
program kuis kebangsaan dengan tayangan sebanyak 14 kali selama 1-7 November.
Menurut MPM, pada iklan politik,
terdapat kecenderungan yang sama. TV One dan Metro TV menyiarkan iklan
politik pemilik dengan frekuensi tinggi. Iklan ARB rata-rata tidak kurang
dari 15 kali tayang per hari, Metro TV dengan SP 20 kali, sementara Trans TV
tidak menyiarkan iklan politik terkait pemilu.
Kesimpulannya, intervensi pemilik terlihat sangat
vulgar. Maka, Dewan Pers, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan seluruh stakeholders penyiaran mengingatkan
perlunya menjaga independensi dan netralitas media.
Untuk itu, Dewan Pers, KPI, dan Kementerian Komunikasi
dan Informatika perlu memberikan teguran secara aktif berikut sanksinya, dan
sebaliknya perlu memberikan penghargaan secara reguler kepada media yang
telah menjalankan prinsip independensi dan netralitasnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar