Mikraj
Kebangsaan
Fariz
Alnizar ; Pengajar di Sekolah
Tinggi Agama Islam NU (STAINU) Jakarta
|
KORAN
SINDO, 27 Mei 2014
Salah
satu peristiwa penting yang menjadi salah pilar diturunkannya syariat Islam
adalah peristiwa Isra Mikraj. Peristiwa spiritual-profetik itu merupakan
landasan historis akan diturunkannya peringatan melaksanakan salat lima waktu
kepada Nabi Muhammad SAW.
Melihat
urgensi peristiwa serta pesan yang akan disampaikan melalui Isra Mikraj itu,
tentu kita semua paham bahwa peristiwa pemanggilan langsung yang dilakukan
Allah terhadap Nabi Muhammad SAW semata-mata bukanlah pemanggilan biasa. Ada
mandat serta pesan yang teramat penting yang disematkan melalui peristiwa
tersebut yakni perintah salat. Umat muslim di seluruh dunia, sebagaimana
tradisi pada setiap tahunnya, selalu memperingati hari bahagia tersebut.
Peringatan
itu berbentuk macam-macam, namun pada hakikatnya muara peringatan Isra Mikraj
terfokus pada pemaknaan serta penggalian pesan yang terkandung dalam
peristiwa tersebut. Kita tahu bahwa zaman semakin maju, namun kemajuan zaman
tersebut tidak serta-merta menjadi jaminan bahwa ufuk pengetahuan serta
cakrawala pemahaman keagamaan kita sejalan dengan kemajuan zaman.
Realitas
di lapangan hari ini berbicara bahwa kemajuan zaman yang ditandai dengan
kemajuan teknologi tidak serta-merta menjadi bukti dan garansi akan kemajuan
pandangan, baik pandangan kehidupan terutama menyangkut kebangsaan,
kenegaraan, maupun keagamaan.
Isra, Perjalanan Sunyi
Beranjak
dari realitas kebangsaan di atas yang dihubungkan dengan pemahaman keagamaan,
maka momentum Isra Mikraj ini menjadi demikian penting untuk diperas lagi
pesan serta spirit yang diusungnya. Isra adalah peristiwa wingit, KBBI
mengartikan sebagai perjalanan Nabi Muhammad SAW pada malam hari dari
Masjidil haram ke Masjidil aqsha di Baitul Muqadas dengan kendaraan burak (KBBI:
2008).
Secara implisit, Isra mengandung pesan bahwa
ia merupakan perjalanan sunyi, wingit sekaligus spiritual. Sesungguhnya Isra
kebangsaan kita telah lama kita lakukan. Perjalanan sunyi itu dimulai ketika
ikhtiar proklamasi kemerdekaan yang dikumandangkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta
menggema ke seluruh pelosok Nusantara. Pada saat itu sesungguhnya jalan
sunyi(Isra) kebangsaan kita sudah kita gaungkan.
Perjalanan
yang sunyi, menjadi diri sendiri, menjadi bangsa yang merdeka dan mandiri
sesungguhnya sudah kita jalani. Namun, tampaknya ikhtiar kemerdekaan itu
tidak semulus yang kita bayangkan serta kita andai-andaikan.
Kita
bersama berhasil lepas dan merdeka dari penjajah. Namun sesungguhnya, yang
terjadi pada orde pasca-Soekarno telah lahir dari rahim Tanah Air ini,
penjajah-penjajah yang baru, yang benar-benar menjadikan rakyat bangsa
Indonesia sebagai pejalan sunyi yang tidak pernah ditemani oleh siapa pun
termasuk oleh pemerintahnya sendiri.
Bangsa yang Bermikraj
Dalam
memperingati momentum Isra Mikraj ini, alangkah baiknya jika kita menilik
pidato Bung Karno pada 1959. Bung Karno dengan lantang mengatakan ”tidak ada suatu bangsa dapat berhebat,
jikalau batinnya tidak terbuat dari nur iman yang sekuat-kuatnya. Jikalau
Bangsa Indonesia ingin kekal, kuat, nomor satu jiwa kita harus selalu jiwa
yang ingin mikraj, supaya kebudayaan kita naik ke atas, supaya Negara kita
naik ke atas. Bangsa yang tidak mempunyai adreng-adreng untuk naik ke atas,
bangsa yang demikian itu, dengan sendirinya akan gugur pelan-pelan dari muka
bumi, sirna ilang kertaning bumi ”.
Apa yang
dikumandangkan oleh Bung Karno mengenai tafsirnya tentang Mikraj itu menjadi
sangat penting untuk kita ketengahkan hari ini. Apa yang diistilahkan oleh
Bung Karno sebagai Mikraj kebangsaan adalah apa yang harus kita capai hari
ini. Di usia Republik yang sudah mencapai separuh abad lebih, Mikraj
kebangsaan itu sudah seharusnya kita raih. Mikraj kebangsaan adalah Mikraj
politik yang berarti terciptanya tata sistem politik yang adiluhung, yang
mengedepankan nilai-nilai kejujuran dan kesantunan.
Bukan
sebaliknya, politik yang lebih mengedepankan kepentingan serta transaksional
semata. Mikraj kebangsaan dalam hal pendidikan berarti mengembalikan makna
pendidikan kepada sebuah usaha untuk memanusiakan manusia sebagaimana
dikatakan oleh Paolo Freire (1970). Mendidik berarti mencurahkan segenap
kasih sayang kepada peserta didik sehingga merasa nyaman dalam mengikuti
segala proses pendidikan tanpa ada keterpaksaan.
Demikian
pula Mikraj kebangsaan di bidang hukum, yakni menjadikan hukum sebagai
instrumen tegaknya keadilan. Tidak ada lagi persoalan tebang pilih. Tidak
juga muncul lagi sebuah adagium bahwa hukum di Indonesia landep ke bawah tapi
tumpul ke atas. Momentum Isra Mikraj 1935 H ini juga menjadi teramat penting
untuk menjadi ibrah bagi para capres-cawapres guna menziarahi lubuk hati
masingmasing, bermuhasabah kemudian merefleksikan diri sejauh mana visi dan
misinya memikrajkan Indonesia.
Muhasabah
itu misalnya bisa difasilitasi dengan pertanyaan ”sudahkah saya–para
capres-cawapres–melakukan mikraj politik yang berarti berpolitik secara
jujur, sportif dan santun? Sudahkah say–caprescawapres– menyingkirkan politik
transaksional? Sudahkan saya–capres-cawapres–benar-benar melaksanakan koalisi
tanpa syarat sebagaimana yang saya gaung-gaungkan? Dan seterusnya dan
sebagainya.
Kita
semua tahu bahwa menjadi bangsa yang maju dibutuhkan pengorbanan yang utuh
dan ikhtiar memaknai Isra Mikraj sebagai salah satu instrumen untuk
memperbaiki bangsa adalah bagian kecil yang akan sangat berarti jika kita
semua dengan sungguh-sungguh mau untuk mengamalkannya. Wallahu alam bis showab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar