Perlindungan
Sosial untuk Pekerja
Axel
van Trotsenburg ; Wakil Presiden Bank
Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik
|
KOMPAS,
28 Mei 2014
TIGA
dekade terakhir merupakan cermin keberhasilan para pekerja di Asia
Timur-Pasifik. Jutaan penduduk telah terangkat dari kemiskinan dan
negara-negara yang satu generasi sebelumnya tergolong miskin kini telah
mengintegrasikan dirinya ke dalam rantai nilai global—suatu prestasi yang
melebihi kawasan lain mana pun di dunia.
Namun,
kemajuan kita dalam perlindungan sosial belum berhasil mengimbangi kemajuan
dalam penciptaan lapangan kerja. Lebih dari setengah jumlah pekerja di
sejumlah negara bekerja dalam sektor informal tanpa ditunjang peraturan
ketenagakerjaan dan kebijakan perlindungan sosial.
Hal ini
berarti manfaat-manfaat mendasar, seperti fasilitas kesehatan dan jaminan
bagi mereka yang tidak bekerja, praktis tidak terjangkau oleh demikian banyak
penduduk yang sebenarnya telah bekerja keras.
Agar
kawasan Asia Timur-Pasifik dapat mempertahankan tingkat pertumbuhan yang
tinggi dan kesejahteraan bersamanya, menurut hemat kami, para penentu
kebijakan di kawasan ini sebaiknya mempertimbangkan penerapan kebijakan
sosial agar manfaatnya dapat dinikmati oleh semua tenaga kerja, apa pun
bentuk pekerjaan yang mereka miliki dan di mana pun mereka bekerja.
Paket-paket
sederhana yang didanai secara nasional dan ditujukan bagi penduduk tidak
bekerja, seperti yang diterapkan di Thailand, Vietnam, dan Tiongkok, akan
dapat dinikmati oleh para pekerja informal juga. Program-program lain,
seperti kebijakan kesehatan universal di Thailand, akan memangkas biaya
kesehatan bagi para pekerja dan mendorong mereka untuk semakin sering
memanfaatkan layanan tersebut. Indonesia kini telah memulai program kesehatan
universal serupa.
Model
jaminan sosial baru tersebut akan membantu menutup kesenjangan kebijakan yang
ada yang kini masih mengesampingkan perempuan, kaum muda, dan pekerja
berketerampilan terbatas.
Mereka terpaksa
mengambil pekerjaan yang tidak memiliki perlindungan, tidak tercakup dalam
peraturan, dan tidak terkena pajak, seperti tertera dalam bukti empiris pada
laporan terbaru Bank Dunia, East Asia
Pacific at Work: Employment, Enterprise and Well-Being.
Selain
itu, riset kami menunjukkan bahwa lebih dari 30 persen penduduk berusia 15-24
tahun tidak memiliki pekerjaan dan mengenyam pendidikan atau pelatihan.
Pengabaian akan hal ini dapat menyulut kebencian dan bahkan kekerasan.
Apabila
dikombinasikan dengan peningkatan kesenjangan pendapatan antara mereka yang
memiliki kontrak kerja resmi dan mereka yang tidak, negara-negara ini mungkin
akan dihadapkan pada bauran potensi gejolak sosial.
Kebijakan dan penegakan hukum
Kenapa
kelompok-kelompok yang rentan dalam masyarakat kita tidak tersertakan dalam
jaminan sosial? Akar masalahnya adalah kombinasi dari dua hal: kebijakan yang
relatif ketat di atas kertas dan tidak adanya penegakan hukum secara tegas
yang mendorong semakin banyak tenaga kerja ke sektor informal.
Sebagai
contoh, beberapa kebijakan, misalnya sistem pembayaran pesangon yang tinggi
di Indonesia, menghambat penciptaan lapangan kerja. Para pemilik usaha
cenderung tidak mengambil tenaga kerja baru jika memiliki kewajiban membayar
biaya pesangon yang jumlahnya empat kali lipat daripada pesangon di Eropa
Barat.
Beragam
tantangan ini dapat menjadi peluang. Kawasan Asia Timur dan Pasifik memiliki
sejarah peraturan ketenagakerjaan dan kebijakan perlindungan sosial yang
relatif singkat sehingga dapat menerapkan suatu model baru dengan biaya yang
relatif rendah. Sekarang adalah waktu yang tepat. Seiring melambatnya
pertumbuhan di Asia Timur-Pasifik, kini banyak negara merencanakan reformasi
struktural untuk memformalkan ekonomi mereka.
Konstituen utama
Penentu
kebijakan juga tidak boleh melupakan para konstituen utama: pemilik usaha dan
penanam modal. Mari kita bantu sektor swasta untuk terus berinvestasi dan
berinovasi, terutama badan usaha berskala kecil dan menengah, yang membentuk
sebagian besar lapangan kerja di kawasan ini. Sering kali badan-badan usaha
ini terbentur berbagai halangan dalam mengembangkan usaha mereka. Peraturan
sebaiknya mempermudah perluasan usaha, bukan membatasinya.
Keragaman
ekonomi di kawasan ini tentunya, menyebabkan prioritas kebijakan yang berbeda
pula di masing-masing negara. Untuk kebanyakan negara yang masih bersifat
agraris akan terbantu dengan kebijakan-kebijakan yang mendorong peningkatan
produktivitas di bidang pertanian.
Ekonomi dengan
kawasan perkotaan yang berkembang—Tiongkok, Indonesia, Filipina, dan
Vietnam—akan terbantu dengan adanya kawasan perkotaan yang berfungsi lebih
baik, dilengkapi dengan infrastruktur dan sektor jasa yang lebih baik.
Tentunya,
seiring dengan peningkatan urbanisasi di Asia Timur-Pasifik, kebijakan
tentang ketenagakerjaan dan jaminan sosial perlu disesuaikan dengan berbagai
tantangan serta peluang yang dihadapi oleh warga kota dan daerah sekitarnya.
Para penentu kebijakan memiliki pilihan untuk mengkhawatirkan adanya
aglomerasi perkotaan ini atau menimba manfaat darinya.
Bank
Dunia berkomitmen untuk bekerja dengan negara-negara Asia Timur-Pasifik dalam
upaya perancangan dan penerapan kebijakan-kebijakan perlindungan sosial yang
manfaatnya dapat dirasakan oleh semua warga dan tidak hanya para pekerja yang
menerima upah.
Model
baru tersebut dapat mendorong peningkatan permintaan domestik dan
memungkinkan terciptanya gelombang baru pertumbuhan ekonomi yang tinggi di
kawasan ini sekaligus memastikan pemerataan manfaat pembangunan hingga dapat
dinikmati oleh kaum masyarakat yang paling membutuhkan perlindungan
sekalipun. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar