Selasa, 27 Mei 2014

Ironi Bagi Hasil Migas

Ironi Bagi Hasil Migas

Gunawan Setiyaji  ;   Staf Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan,
Alumnus The Australian National University (ANU) Canberra
SUARA MERDEKA,  26 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
PEMERINTAH mengajukan RUU tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (RUU HKPD) kepada DPR. Rancangan regulasi itu, yang kini sudah memasuki tahap ekspose publik, diharapkan menjadi pengganti UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.

Selama ini publik menganggap pembagian hasil minyak bumi dari Blok Cepu Kabupaten Blora tidak memenuhi rasa keadilan. Warga Blora bahkan menyeluarkan petisi meminta bagi hasil secara adil (SM, 22/5/14). Eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi yang keuntungannya dibagi-hasilkan kepada daerah penghasil minyak itu berujung pada pemberian dana bagi hasil (DBH) kepada Kabupaten Bojonegoro dan Provinsi Jawa Timur. Mereka kemudian meneruskan pembagiannya kepada kabupaten/kota lain di provinsi tersebut.

Kabupaten Blora yang wilayahnya berimpitan dengan Kabupaten Bojonegoro dan juga merupakan bagian dari Blok Cepu, tidak mendapatkan DBH  karena bukan merupakan bagian dari Provinsi Jawa Timur, di mana kabupaten penghasil minyak bumi tersebut berada.

Permasalahan DBH migas seperti kasus Blora-Bojonegoro sesungguhnya bukan persoalan baru. Hal ini terjadi pula dalam kasus Bontang-Kutai Kartanegara (Kukar). Kabupaten Kukar memiliki hasil gas terbesar di Indonesia. Minyak mentahnya telah eksploitasi dan diproduksi sejak 1976 oleh kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) Total, Vico, Chevron, dan Medco. Kota Bontang tidak secara langsung memperoleh DBH meskipun Kilang LNG, 2 Kilang LPG, dan fasilitas pendukung lainnya terletak di Bontang.

Kasus DBH migas Blora-Bojonegoro ini menjadi berbeda lantaran mereka berada dalam dua provinsi berbeda. Bila Bontang mendapat cipratan DBH migas melalui Provinsi Kaltim lantaran berada di provinsi yang sama dengan Kukar, Blora sama sekali tidak memperolehnya karena berada di Jawa Tengah, sedangkan Kabupaten Bojonegoro sebagai penghasil migas berada di Jawa Timur.

Persoalan ini secara hukum mendapatkan dasar kuat, yaitu dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Menurut Pasal 19 UU tersebut, penerimaan pertambangan minyak bumi dan gas bumi sesudah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya akan dibagikan ke daerah. Pembagiannya, untuk DBH migas 15% dengan 3% untuk provinsi penghasil, 6% untuk kabupaten/kota penghasil dan 6% dibagikan untuk kabupaten/kota dalam provinsi penghasil.

Adapun pembagian untuk DBH gas bumi adalah 30% dengan 6% untuk provinsi penghasil, 12% untuk kabupaten/kota penghasil dan 12% dibagikan untuk kabupaten/kota dalam provinsi penghasil. Di luar itu, sesuai dengan Pasal 20 UU tersebut, juga terdapat 0,5% yang dibagihasilkan untuk pengembangan pendidikan dasar.

Kasus DBH migas Blora-Bojonegoro ini mengemuka karena sejauh ini dalam Wilayah Kerja Pertambangan (WKP) Blok Cepu yang meliputi 3 kabupaten, yaitu Tuban, Bojonegoro, dan Blora, baru sumur di Bojonegoro yang menghasilkan minyak. Berdasarkan konsep DBH Migas UU Nomor 33 Tahun 2004, Blora tidak memiliki hak atas DBH migas Blok Cepu dari mulut sumur di Bojonegoro.

Prinsip Alokatif

Menelaah konsep ini, perumusan DBH migas ala UU Nomor 33 Tahun 2004 ini sebenarnya rancu. Pemerintah mungkin beranggapan bahwa hal itu juga sejalan dengan  konsep desentralisasi fiskal, namun secara ekonomi-politik telah gagal menangkap esensinya. Akhirnya, justru konsep DBH ini menempatkan daerah-daerah sebagai mozaik ekonomi tak beraturan.

Padahal, menurut international best practice,  apa pun model bagi hasil migas, tetap harus memenuhi sejumlah prinsip alokatif, yakni; koherensi dengan kebijakan energi nasional secara keseluruhan; prinsip-prinsip distribusi; kompensasi kepada  aspek derivasi dari biaya produksi langsung maupun tidak langsung; stabilitas ekonomi nasional, regional dan lokal; serta tanggung jawab pengeluaran.

Intinya, tidak ada pengaturan baku soal pengaturan revenue sharing hasil migas yang diberlakukan di sejumlah negara. Namun RUU HKPD seolah-olah tidak memberikan ruang diskusi sebagai solusi polemik DBH migas bagi daerah-daerah penghasil minyak/gas yang memiliki masalah perbatasan. Apa yang diatur dalam RUU HKPD ini dalam masalah DBH migas masih mempertahankan konsep DBH dalam UU Nomor 33 Tahun 2004. Perbedaannya hanyalah besaran DBH migas, dari sebelumnya memberikan 30% hasil kepada daerah penghasil migas menjadi 30,5%.

Selain itu, dalam RUU HKPD terdapat pengaturan lebih jelas mengenai pengertian daerah penghasil. Rancangan itu menegaskan yang dimaksud dengan kabupaten/kota penghasil migas adalah wilayah daratan yang menjadi tempat kepala sumur (wellhead) produksi dan wilayah laut kabupaten/kota yang menjadi tempat anjungan (platform) gas.

Ketika membicarakan solusi DBH migas Blok Cepu, kepentingan kita bukan hanya menyoroti nasib Blora, yang wilayahnya hanya 15 km dari mulut sumur yang saat ini menghasilkan puluhan ribu, bahkan hingga ratusan ribu barel minyak mentah tiap hari. Ini soal keadilan fiskal, akal sehat fiskal. Sungguh, kejumudan berpikir luar biasa andai pemerintah dan DPR mempertahankan konsep bagi hasil migas dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 melalui RUU HKPD ini walau polemik keadilan dalam masalah Blok Cepu makin mengemuka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar