Ironi
Bagi Hasil Migas
Gunawan
Setiyaji ; Staf Badan Kebijakan
Fiskal Kementerian Keuangan,
Alumnus The
Australian National University (ANU) Canberra
|
SUARA
MERDEKA, 26 Mei 2014
PEMERINTAH
mengajukan RUU tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (RUU HKPD) kepada
DPR. Rancangan regulasi itu, yang kini sudah memasuki tahap ekspose publik,
diharapkan menjadi pengganti UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Selama
ini publik menganggap pembagian hasil minyak bumi dari Blok Cepu Kabupaten
Blora tidak memenuhi rasa keadilan. Warga Blora bahkan menyeluarkan petisi
meminta bagi hasil secara adil (SM, 22/5/14). Eksplorasi dan eksploitasi
minyak bumi yang keuntungannya dibagi-hasilkan kepada daerah penghasil minyak
itu berujung pada pemberian dana bagi hasil (DBH) kepada Kabupaten Bojonegoro
dan Provinsi Jawa Timur. Mereka kemudian meneruskan pembagiannya kepada
kabupaten/kota lain di provinsi tersebut.
Kabupaten
Blora yang wilayahnya berimpitan dengan Kabupaten Bojonegoro dan juga
merupakan bagian dari Blok Cepu, tidak mendapatkan DBH karena bukan merupakan bagian dari Provinsi
Jawa Timur, di mana kabupaten penghasil minyak bumi tersebut berada.
Permasalahan
DBH migas seperti kasus Blora-Bojonegoro sesungguhnya bukan persoalan baru.
Hal ini terjadi pula dalam kasus Bontang-Kutai Kartanegara (Kukar). Kabupaten
Kukar memiliki hasil gas terbesar di Indonesia. Minyak mentahnya telah
eksploitasi dan diproduksi sejak 1976 oleh kontraktor kontrak kerja sama
(KKKS) Total, Vico, Chevron, dan Medco. Kota Bontang tidak secara langsung
memperoleh DBH meskipun Kilang LNG, 2 Kilang LPG, dan fasilitas pendukung
lainnya terletak di Bontang.
Kasus
DBH migas Blora-Bojonegoro ini menjadi berbeda lantaran mereka berada dalam
dua provinsi berbeda. Bila Bontang mendapat cipratan DBH migas melalui
Provinsi Kaltim lantaran berada di provinsi yang sama dengan Kukar, Blora
sama sekali tidak memperolehnya karena berada di Jawa Tengah, sedangkan
Kabupaten Bojonegoro sebagai penghasil migas berada di Jawa Timur.
Persoalan
ini secara hukum mendapatkan dasar kuat, yaitu dalam UU Nomor 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Menurut Pasal 19 UU tersebut, penerimaan pertambangan minyak bumi dan gas
bumi sesudah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya akan dibagikan ke
daerah. Pembagiannya, untuk DBH migas 15% dengan 3% untuk provinsi penghasil,
6% untuk kabupaten/kota penghasil dan 6% dibagikan untuk kabupaten/kota dalam
provinsi penghasil.
Adapun
pembagian untuk DBH gas bumi adalah 30% dengan 6% untuk provinsi penghasil,
12% untuk kabupaten/kota penghasil dan 12% dibagikan untuk kabupaten/kota
dalam provinsi penghasil. Di luar itu, sesuai dengan Pasal 20 UU tersebut,
juga terdapat 0,5% yang dibagihasilkan untuk pengembangan pendidikan dasar.
Kasus
DBH migas Blora-Bojonegoro ini mengemuka karena sejauh ini dalam Wilayah
Kerja Pertambangan (WKP) Blok Cepu yang meliputi 3 kabupaten, yaitu Tuban,
Bojonegoro, dan Blora, baru sumur di Bojonegoro yang menghasilkan minyak.
Berdasarkan konsep DBH Migas UU Nomor 33 Tahun 2004, Blora tidak memiliki hak
atas DBH migas Blok Cepu dari mulut sumur di Bojonegoro.
Prinsip Alokatif
Menelaah
konsep ini, perumusan DBH migas ala UU Nomor 33 Tahun 2004 ini sebenarnya
rancu. Pemerintah mungkin beranggapan bahwa hal itu juga sejalan dengan konsep desentralisasi fiskal, namun secara
ekonomi-politik telah gagal menangkap esensinya. Akhirnya, justru konsep DBH
ini menempatkan daerah-daerah sebagai mozaik ekonomi tak beraturan.
Padahal,
menurut international best practice,
apa pun model bagi hasil migas, tetap harus memenuhi sejumlah prinsip
alokatif, yakni; koherensi dengan kebijakan energi nasional secara
keseluruhan; prinsip-prinsip distribusi; kompensasi kepada aspek derivasi dari biaya produksi langsung
maupun tidak langsung; stabilitas ekonomi nasional, regional dan lokal; serta
tanggung jawab pengeluaran.
Intinya,
tidak ada pengaturan baku soal pengaturan revenue sharing hasil migas yang
diberlakukan di sejumlah negara. Namun RUU HKPD seolah-olah tidak memberikan
ruang diskusi sebagai solusi polemik DBH migas bagi daerah-daerah penghasil
minyak/gas yang memiliki masalah perbatasan. Apa yang diatur dalam RUU HKPD
ini dalam masalah DBH migas masih mempertahankan konsep DBH dalam UU Nomor 33
Tahun 2004. Perbedaannya hanyalah besaran DBH migas, dari sebelumnya
memberikan 30% hasil kepada daerah penghasil migas menjadi 30,5%.
Selain
itu, dalam RUU HKPD terdapat pengaturan lebih jelas mengenai pengertian
daerah penghasil. Rancangan itu menegaskan yang dimaksud dengan
kabupaten/kota penghasil migas adalah wilayah daratan yang menjadi tempat
kepala sumur (wellhead) produksi dan
wilayah laut kabupaten/kota yang menjadi tempat anjungan (platform) gas.
Ketika
membicarakan solusi DBH migas Blok Cepu, kepentingan kita bukan hanya
menyoroti nasib Blora, yang wilayahnya hanya 15 km dari mulut sumur yang saat
ini menghasilkan puluhan ribu, bahkan hingga ratusan ribu barel minyak mentah
tiap hari. Ini soal keadilan fiskal, akal sehat fiskal. Sungguh, kejumudan
berpikir luar biasa andai pemerintah dan DPR mempertahankan konsep bagi hasil
migas dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 melalui RUU HKPD ini walau polemik
keadilan dalam masalah Blok Cepu makin mengemuka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar