Jumat, 30 Mei 2014

Delapan Tahun Lumpur Lapindo

Delapan Tahun Lumpur Lapindo

 Endang Suarini  ;   Warga Sidoarjo, bertetangga dengan banyak korban lumpur
JAWA POS,  30 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
TIDAK terasa sudah delapan tahun lumpur menyembur di Porong (Jawa Pos, 29/5). Sejak semburan pertama pada 29 Mei 2006 hingga saat ini, lumpur terus menyembur. Pihak yang masih menjunjung objektivitas menyimpulkan semburan lumpur itu merupakan fenomena gunung lumpur (mud volcano). Di bawah daratan Porong memang banyak gunung lumpur. Gunung lumpur itu tidak akan pernah menyembur jika tidak ada pemicunya. Ketika mulai ada eksplorasi tambang di kawasan tersebut, lumpur pun menyembur hingga saat ini.

Jadi, perlu ditegaskan, lumpur pertama yang menyembur pada 29 Mei 2006 tidak dipicu gempa di Jogjakarta pada 27 Mei 2006. Tapi, sekali lagi, dipicu aktivitas eksplorasi pertambangan. Pada konferensi di Cape Town, Afrika Selatan, 26-29 Oktober 2008, mayoritas geolog dan ahli pengeboran juga setuju semburan lumpur dipicu pengeboran di Sumur Banjar Panji-1.

Beragam wacana terkait dengan lumpur Lapindo bertebaran di media. Semoga itu menjadi pengingat betapa lumpur Lapindo masih menjadi masalah. Adanya masalah yang belum tuntas itu jangan sampai ditenggelamkan hiruk pikuk perpolitikan menjelang pilpres 9 Juli nanti. Kita jangan gampang silau oleh beragam pencitraan positif yang sengaja diskenario oleh "perkawinan" antara penguasa dan pengusaha bahwa sudah tidak ada masalah lumpur.

Padahal, fakta berbicara bahwa lumpur masih terus menyembur. Dampak semburan itu pun menimbulkan 1.001 masalah, khususnya bagi para korban lumpur.

Memang, kalau memikirkan derita para korban lumpur, kita bisa digoda untuk marah kepada pihak yang telah menjadi pemicu semburan lumpur itu. Betapa tidak marah, para korban bagaikan dicabut begitu saja dari tanah yang sudah bertahun-tahun mereka tempati. Tanah dalam budaya Jawa menjadi pengikat atau penghubung antara para leluhur dan anak cucu serta keturunannya. Ketika tanah itu tenggelam oleh lumpur, seketika itu ikatan dengan para leluhur seolah diputus begitu saja.

Miliaran rupiah ganti rugi dijamin tidak akan pernah bisa mengganti perasaan kehilangan karena terusir dari tanah leluhur. Menjelang Lebaran, kadang terlihat serombongan orang yang menabur bunga sambil sesekali menangis menatap kuburan nenek moyang yang sudah ditenggelamkan lumpur bersama rumah, surau, sekolah, serta segala kenangan indah lainnya.

Padahal, dulu mereka hidup tenang dan damai sebelum ada pengeboran atau eksplorasi minyak oleh Lapindo. Jadi, tepat yang dikatakan Jean Francois Lyotard dalam karyanya Libidinal Economy (1993) bahwa "libido ekonomi" bisa meminggirkan apa saja, termasuk martabat manusia dan warisan peradabannya.

Ironisnya, semburan lumpur itu justru dijadikan proyek oleh pihak-pihak tertentu yang sekadar ingin mencari keuntungan di atas penderitaan korban lumpur. Ada beragam proyek "komersialisasi lumpur" yang telah membuat sebagian orang bisa hidup makmur seperti membeli mobil dan rumah mewah atau menabung deposito sekian ratus juta atau miliar. Bahkan, ada pihak yang rela dibayar untuk menjelaskan bahwa lumpur itu terjadi karena bencana alam, bukan dipicu aktivitas eksplorasi.

Malahan, kadang ada yang disuruh memberikan penjelasan secara naif bahwa tidak mungkin Lapindo atau Minarak keliru. Sebagian orang pun bisa diyakinkan sehingga mengambil kesimpulan bahwa lumpur Porong memang sudah takdir.

Tapi, sudahlah. Memang bisa muncul banyak wacana dan polemik terkait dengan lumpur itu. Tapi, jangan pernah lupa, inti permasalahannya adalah semburan lumpur. Karena itu, semburan tersebut sebenarnya harus dihentikan. Dalam hal ini, penulis justru tertarik pada solusi hukum Bernoulli yang gencar ditawarkan Djaja Laksana. Sayangnya, konon tingkat spekulasinya sangat tinggi. Artinya, kemungkinan berhasil masih jauh. Sebab, sampai saat ini belum diketahui kedalaman semburan lumpur sehingga tinggi titik keseimbangan tidak diketahui. Sebab, untuk menentukan keseimbangan gravitasi, perlu diketahui titik kedalamannya.

Padahal, menurut Ir Djaja Laksana, kemungkinan keberhasilannya sangat tinggi. Teori Bernoulli justru efektif digu­nakan untuk menghentikan luapan lumpur di permukaan. Jadi, pengecekan tekanan dilakukan di permukaan, tidak di dalam perut bumi dan tidak perlu tahu kedalaman pusat lumpur. Alumnus teknik mesin itu menjanjikan bekerja dengan kepastian untuk menghentikan lumpur karena ada alat ukur tekanan lumpur di permukaan yang sudah dipatenkan (P.00200800762). Sayangnya, solusi Bernoulli ditolak sebelum dicoba karena biayanya dianggap terlalu mahal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar