Masa
Depan Pertanian Kita
Fajar Kurnianto ;
Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
(PSIK) Universitas
Paramadina Jakarta
|
SINAR
HARAPAN, 30 Mei 2014
Dua
calon presiden (capres), yakni Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto,
dalam Tanwir Muhammadiyah di Samarinda, Minggu (25/5), pada kesempatan
berbeda, di hadapan para peserta mereka memaparkan visi-misinya. Salah satu
yang mereka sampaikan adalah soal pertanian. Menurut Jokowi, selain fokus
pada energi, pangan juga mesti diperhatikan. Sumber daya manusia (SDM) harus
diarahkan untuk itu. Sementara itu, Prabowo mengatakan, pertanian adalah
mesin pertumbuhan utama ekonomi Indonesia.
Terjepit
Pertanian
memang menjadi sektor penting yang harus diperhatikan lebih serius lagi.
Indonesia, selain sebagai negara maritim juga negara agraris yang bertanah
subur. Kita pernah mendapatkan penghargaan dari Organisasi Pangan Dunia (FAO)
pada 1984 karena berhasil swasembada pangan. Harus diakui, ini salah satu
keberhasilan pemerintah Orde Baru (Orba) pimpinan Soeharto. Namun, sejak saat
itu kemampuan untuk swasembada pangan terus menurun akibat investasi
pemerintah di bidang pertanian yang berkurang dari tahun ke tahun.
Puncaknya
terjadi saat krisis ekonomi tahun 1997 yang menghantam Asia. Para petani
sebenarnya tidak mengalami krisis. Namun, karena Indonesia pada Oktober 1997
menandatangani Letter of Intent
dengan IMF, petani ikut terjerumus
dalam krisis. Pada 1998, Indonesia misalnya dipaksa menurunkan tarif beras
sampai 0 persen. Selain itu, Indonesia dilarang memberi subsidi pupuk.
Keduanya membuat petani tak berdaya bersaing dengan beras impor yang lebih
murah daripada beras di dalam negeri.
Organisasi
Perdagangan Dunia (WTO) mempunyai peraturan khusus tentang subsidi pertanian,
yaitu Agreement on Agriculture
(AoA). Dengan perjanjian AoA ini, negara-negara anggota WTO memiliki beberapa
kewajiban. Pertama, membuka pasar domestiknya bagi komoditas pertanian dari
luar (market access). Kedua, negara
anggota WTO harus mengurangi subsidi domestik. Ketiga, mengurangi subsidi
impor. Akibat perjanjian AoA ini, petani benar-benar dibuat makin jauh
terpuruk karena petani yang lemah itu dibiarkan hanyut dalam terjangan arus
globalisasi pasar bebas.
Mengutip
A Husni Malian (2011), AoA sebenarnya lebih banyak merugikan negara-negara
berkembang dan menguntungkan negara-negara maju. Pertama, akses terhadap
pasar bebas di negara-negara maju jauh lebih sulit dijangkau negara-negara
berkembang. Itu karena begitu banyaknya hambatan nontarif serta initial tariff rate yang tinggi.
Kedua, dengan kekuatan modal yang mereka miliki, negara-negara maju dapat
memberikan subsidi terhadap komoditas pertanian yang mereka produksi untuk
mendorong laju ekspor mereka. Ketiga, tidak adanya fleksibilitas bagi
negara-negara berkembang untuk menyesuaikan tarif di dalam perjanjian ini.
Negara-negara
maju yang lantang menuntut penghapusan subsidi pertanian justru
menggelontorkan dana besar untuk subsidi pertanian mereka. Menurut Kevin
Watkins dari Oxfam, setiap tahun negara maju mengeluarkan US$ 1 miliar per
hari untuk memberi subsidi pada pertanian mereka. Pada 2002 saja, 30 negara
industri yang tergabung dalam Organization
for Economic Cooperation and Development (OECD) menghabiskan US$ 311 miliar untuk subsidi
pertanian. Dengan subdisi ini, mereka dapat membuat jatuh harga gandum dan
produk pertanian lain di dunia. Hal ini pada gilirannya merugikan petani di
negara-negara yang sedang berkembang.
Peraturan
lain WTO yang menghimpit pertanian, terutama di negara yang sedang berkembang
adalah apa yang disebut dengan Trade
Related Intellectual Property Rights (TRIPs). Salah satu pasalnya
mengenai pertanian menetapkan hak intelektual atas tanaman dan bibitnya yang
telah dikembangkan perusahaan bioteknologi. Ini menyebabkan komunitas
setempat kehilangan hak atas sumber daya mereka sendiri. Selain itu, petani
harus membayar untuk menanam tanam-tanaman yang sudah dipatenkan, seperti
beras, gandum, kedelai, jagung, kentang, dan lain-lain.
Kelembagaan Petani
Dalam
situasi seperti ini, langkah yang dapat dilakukan antara lain memperkuat
kelembagaan petani. Ini merupakan faktor penting bagi terbukanya akses pasar
bagi petani. Elizabeth dan Darwis (2003) mengatakan, agar kelembagaan petani
dapat tetap tumbuh dan berkelanjutan, harus terpenuhi prinsip kemandirian
lokal. Prinsip tersebut merupakan sebuah pendekatan di mana pemberdayaan
harus dilakukan secara terdesentralisasi dan bukan terpusat yang cenderung
menciptakan keseragaman. Prinsip ini harus terejawantahkan melalui
harmonisasi antara institusi kelembagaan lokal tradisional yang dilandasi
jiwa komunitas, kelembagaan pasar yang dilandasi ekonomi pasar, dan
kelembagaan politik atau birokrasi.
Kita
sebenarnya punya KUD (Koperasi Unit Desa) yang dibentuk pemerintah Orba.
Swasembada pangan yang pernah kita alami tahun 1980-an, salah satunya
disebabkan adanya lembaga ini. Sayangnya, nasib koperasi sekarang ini semakin
buram. Menurut Endang Thohari, anggota Majelis Pakar Dekopin, jumlah koperasi
di Indonesia dari tahun ke tahun memang semakin besar, yaitu mencapai 170.411
unit dengan anggota berjumlah 29,240 juta pada 2010 dan mampu meningkatkan
volume usaha mencapai Rp 82,1 triliun. Namun, di balik itu sesungguhnya 10
persen koperasi di Indonesia sudah tidak aktif lagi. Mirisnya, sebagian besar
adalah KUD.
Jokowi
dan Prabowo punya visi-misi global untuk memajukan pertanian Indonesia.
Menarik ditunggu, apakah mereka punya strategi khusus yang lebih
implementatif untuk itu di tengah persaingan ekonomi dunia yang dikuasai
negara-negara maju? Apakah mereka bisa memanfaatkan pusaran ekonomi pasar
bebas saat ini untuk kepentingan para petani dan meningkatkan kesejahteraan
mereka? Bagaimana cara mereka memperkuat kelembagaan petani hingga kita bisa
kembali menjadi negara swasembada seperti dulu? Jangan sampai tanah subur
yang hakikatnya adalah berkah berubah menjadi kutukan karena pemerintah tak
becus mengelolanya untuk kepentingan rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar