Rabu, 28 Mei 2014

Mukjizat dan Sains

Mukjizat dan Sains

 Azis Anwar Fachrudin  ;   Penulis
TEMPO.CO,  28 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Mukjizat (dalam pengertian KBBI, yakni keajaiban yang sukar dijangkau akal manusia) menjadi fenomena hampir di tiap agama. Mukjizat merupakan bagian dari daya tawar dan penjaga wibawa agama. Dalam taraf tertentu, mukjizat ialah kawasan yang selama berabad-abad dimonopoli agama.

Kita bisa menyebut di antara mukjizat itu, misalnya fenomena "naik" (mi'raj) ke langit atau surga untuk bertemu dengan Tuhan. Ini ada dalam sekurang-kurangnya tiga agama Samawi. Di Yahudi dan Kristen, ada Henokh (Nabi Idris) dan Elia (Nabi Ilyas) yang naik ke langit. Khusus di Kristen, ada kenaikan Yesus (Isa Almasih). Di Islam, Nabi Muhammad melakukan isra' (perjalanan malam dari Masjid Al-Haram ke Masjid Al-Aqsa) dan mi'raj (naik ke Sidratul Muntaha, suatu tempat di atas langit ke-7). Di Zoroaster juga ada: Arda Viraf naik ke surga bertemu dengan Tuhan Ahura Mazda.

Bagi umat beragama kuno hingga abad pertengahan, fenomena semacam itu hampir tak bermasalah. Kemungkinan besar ini karena capaian pengetahuan kosmologi orang zaman itu belum secanggih sekarang. Mereka tak terlalu mempertanyakan di mana itu langit ke-7 (apakah itu langit bumi ini, tata surya, galaksi Bima Sakti, atau di batas jagat raya?). Juga Sidratul Muntaha (pohon bidara di samping 'arsy [singgasana] Tuhan).

Tapi tidak begitu bagi orang-orang sekarang. Kosmologi modern, dengan berbagai teorinya, sudah bisa menghitung di mana batas jagat raya. Orang sekarang sudah tahu berapa kecepatan cahaya (yang dibanding-bandingkan dengan kecepatan Buraq [seakar kata dengan barq, yang artinya "kilat"] yang ditunggangi Nabi). Neurosains pun bisa menggugat apakah fenomena roh keluar dari jasad itu riil. Maka beberapa mukjizat agama mulai dikritik.

Dalam Islam, keajaiban semacam Isra' Mi'raj itu, karena susah dikonfirmasi oleh penemuan sains modern, mulai ditafsirkan secara metaforis: mi'raj, yang artinya "naik", berarti "kenaikan spiritual", suatu detachment (penjarakan) dari realitas. Atau yang agak berhati-hati, riwayat-riwayat dalam teks klasik yang dulu minoritas dikemukakan kembali: Aisyah dan Mu'awiyah misalnya, menyatakan mi'raj hanya terjadi pada roh Nabi, bukan jasadnya; bahkan Hudzaifah menyebutkan itu hanya ada dalam mimpi Nabi.

Pun demikian, tetap saja mayoritas muslim masih bertahan dengan pendapat konservatif: mi'raj Nabi ialah dengan roh dan jasadnya, dan itu fakta. Alasannya, yang saya pikir juga menjadi proposisi dasar bagi argumen kemukjizatan di agama-agama lainnya, sangat sederhana: bagi Tuhan, segalanya mungkin terjadi. Bahkan mufasir ternama negeri ini, Quraish Shihab, dalam buku Membaca Sirah Nabi, pun berkata bahwa fenomena Isra' Mi'raj itu, betapa pun tak rasionalnya, mesti didekati dengan iman. Alasan lainnya: fenomena Isra' Mi'raj itu diriwayatkan banyak orang, mencapai derajat mutawatir (mustahil para periwayat sepakat berbohong).

Kita menyimpulkan, fenomena keberagamaan banyak orang hari ini masih memisahkan iman dengan sains. Iman adalah satu hal, sains adalah hal yang lain. Pun demikian, para penjaga benteng iman mesti tahu bahwa kian nanti, sains akan kian "menyerobot" wilayah-wilayah yang sebelumnya dimonopoli agama. Orang-orang zaman sekarang mulai enggan pada pemaknaan iman sebagai percaya buta belaka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar