Mukjizat
dan Sains
Azis Anwar Fachrudin ;
Penulis
|
TEMPO.CO,
28 Mei 2014
Mukjizat
(dalam pengertian KBBI, yakni keajaiban yang sukar dijangkau akal manusia)
menjadi fenomena hampir di tiap agama. Mukjizat merupakan bagian dari daya
tawar dan penjaga wibawa agama. Dalam taraf tertentu, mukjizat ialah kawasan
yang selama berabad-abad dimonopoli agama.
Kita
bisa menyebut di antara mukjizat itu, misalnya fenomena "naik" (mi'raj) ke langit atau surga untuk
bertemu dengan Tuhan. Ini ada dalam sekurang-kurangnya tiga agama Samawi. Di
Yahudi dan Kristen, ada Henokh (Nabi Idris) dan Elia (Nabi Ilyas) yang naik
ke langit. Khusus di Kristen, ada kenaikan Yesus (Isa Almasih). Di Islam, Nabi
Muhammad melakukan isra'
(perjalanan malam dari Masjid Al-Haram ke Masjid Al-Aqsa) dan mi'raj (naik ke Sidratul Muntaha, suatu tempat di atas langit ke-7). Di Zoroaster
juga ada: Arda Viraf naik ke surga bertemu dengan Tuhan Ahura Mazda.
Bagi
umat beragama kuno hingga abad pertengahan, fenomena semacam itu hampir tak
bermasalah. Kemungkinan besar ini karena capaian pengetahuan kosmologi orang
zaman itu belum secanggih sekarang. Mereka tak terlalu mempertanyakan di mana
itu langit ke-7 (apakah itu langit bumi ini, tata surya, galaksi Bima Sakti,
atau di batas jagat raya?). Juga Sidratul Muntaha (pohon bidara di samping
'arsy [singgasana] Tuhan).
Tapi
tidak begitu bagi orang-orang sekarang. Kosmologi modern, dengan berbagai
teorinya, sudah bisa menghitung di mana batas jagat raya. Orang sekarang
sudah tahu berapa kecepatan cahaya (yang dibanding-bandingkan dengan
kecepatan Buraq [seakar kata dengan barq, yang artinya "kilat"]
yang ditunggangi Nabi). Neurosains pun bisa menggugat apakah fenomena roh
keluar dari jasad itu riil. Maka beberapa mukjizat agama mulai dikritik.
Dalam
Islam, keajaiban semacam Isra' Mi'raj itu, karena susah dikonfirmasi oleh
penemuan sains modern, mulai ditafsirkan secara metaforis: mi'raj, yang artinya "naik",
berarti "kenaikan spiritual", suatu detachment (penjarakan) dari realitas. Atau yang agak
berhati-hati, riwayat-riwayat dalam teks klasik yang dulu minoritas
dikemukakan kembali: Aisyah dan Mu'awiyah misalnya, menyatakan mi'raj hanya terjadi pada roh Nabi,
bukan jasadnya; bahkan Hudzaifah menyebutkan itu hanya ada dalam mimpi Nabi.
Pun
demikian, tetap saja mayoritas muslim masih bertahan dengan pendapat
konservatif: mi'raj Nabi ialah
dengan roh dan jasadnya, dan itu fakta. Alasannya, yang saya pikir juga
menjadi proposisi dasar bagi argumen kemukjizatan di agama-agama lainnya,
sangat sederhana: bagi Tuhan, segalanya
mungkin terjadi. Bahkan mufasir ternama negeri ini, Quraish Shihab, dalam
buku Membaca Sirah Nabi, pun
berkata bahwa fenomena Isra' Mi'raj
itu, betapa pun tak rasionalnya, mesti didekati dengan iman. Alasan lainnya:
fenomena Isra' Mi'raj itu
diriwayatkan banyak orang, mencapai derajat mutawatir (mustahil para
periwayat sepakat berbohong).
Kita
menyimpulkan, fenomena keberagamaan banyak orang hari ini masih memisahkan
iman dengan sains. Iman adalah satu hal, sains adalah hal yang lain. Pun
demikian, para penjaga benteng iman mesti tahu bahwa kian nanti, sains akan
kian "menyerobot" wilayah-wilayah yang sebelumnya dimonopoli agama.
Orang-orang zaman sekarang mulai enggan pada pemaknaan iman sebagai percaya
buta belaka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar