Menguji
Netralitas Politik Muhammadiyah
Abdul
Mu’ti ; Sekretaris PP
Muhammadiyah,
Dosen FITK UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta
|
KORAN
SINDO, 26 Mei 2014
Sidang
Tanwir Muhammadiyah yang berlangsung 22– 25 Mei di Samarinda, Kalimantan
Timur telah ditutup. Dalam acara yang dihadiri pimpinan wilayah Muhammadiyah
se-Indonesia tersebut ditetapkan empat keputusan: akselerasi program, tata
tertib pemilihan pimpinan untuk Muktamar ke- 47, visi Indonesia Berkemajuan,
dan maklumat kebangsaan untuk pemilihan presiden 2014.
Terkait
dengan pemilihan presiden 2014, Muhammadiyah menegaskan dua hal penting.
Pertama, bersikap netral dengan tidak memberikan dukungan formal kepada salah
satu pasangan calon presiden/wakil presiden. Kedua, menganjurkan kepada
anggotanya untuk tidak golput. Muhammadiyah memberikan kebebasan kepada
anggota untuk menentukan pilihan dengan cerdas dan bijaksana berdasarkan
pertimbangan rasional dan spiritual.
Tujuh Kriteria Capres
Walaupun
bersikap sikap netral, Muhammadiyah memberikan guideline agar dalam
menentukan pilihan hendaknya mempertimbangkan terpenuhinya tujuh kriteria.
Pertama, berjiwa religius, taat beribadah, dan berintegritas tinggi, sejalan
antara kata dan perilaku. Kedua, memiliki visi dan karakter kuat sebagai
negarawan, mampu membangun solidaritas kebangsaan, dan mengutamakan
kepentingan bangsa dan negara ketimbang diri sendiri, partai politik, dan
kroni.
Ketiga,
berani mengambil keputusan strategis dan memecahkan masalah-masalah krusial
bangsa dengan tetap menghormati dan menjunjung tinggi nilai- nilai
kemanusiaan yang adil dan beradab. Keempat, mewujudkan tata kelola
pemerintahan yang baik, tegas dalam melakukan pemberantasan korupsi,
penegakan hukum, serta penyelamatan aset dan kekayaan negara. Kelima, menjaga
kewibawaan dan kedaulatan nasional dari berbagai ancaman dari dalam dan luar
negeri.
Keenam,
memiliki strategi perubahan yang membawa pada kemajuan bangsa. Ketujuh, berkomitmen
terhadap aspirasi politik umat Islam dan mewujudkan Indonesia yang
berkemajuan. Tujuh kriteria tersebut di atas merupakan gambaran kepemimpinan
profetik yang menunjukkan komitmen kebangsaan dan keislaman Muhammadiyah.
Dalam
dua tahun terakhir, Muhammadiyah melakukan jihad konstitusi dengan menggugat
beberapa undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945 dan merugikan
bangsa. Mahkamah Konstitusi mengabulkan dua gugatan Muhammadiyah: UU Migas
dan UU Rumah Sakit. Dua gugatan lainnya, UU Ormas dan UU Sumber Daya Air,
masih menunggu keputusan.
Ujian Netralitas
Sikap
netral Muhammadiyah menunjukkan konsistensinya terhadap khittah sebagai
gerakan Islam, dakwah amarma’ruf nahi munkar,
dan kebudayaan. Di atas kertas, netralitas politik Muhammadiyah sangat jelas.
Namun, dalam realitasnya tidak mudah bagi Muhammadiyah untuk menjaga
netralitasnya. Dalam pemilihan presiden 2014, Muhammadiyah menghadapi tiga ujian.
Pertama,
faktor Jusuf Kalla sebagai calon wakil presiden Joko Widodo.
Meskipun
berlatar belakang Nahdlatul Ulama (NU), Jusuf Kalla memiliki kedekatan
personal dan politik dengan warga dan elite Muhammadiyah. Pada pemilihan
presiden 2009, mayoritas suara Muhammadiyah jelas terkonsentrasi kepada Jusuf
Kalla. “Pemihakan” Muhammadiyah kepada Jusuf Kalla berakibat pada dinginnya
hubungan Muhammadiyah dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Selama lima
tahun pemerintahannya, Presiden SBY tidak pernah sekalipun menghadiri
acara-acara Muhammadiyah.
Kedua,
faktor politik partai pendukung pasangan Prabowo Subianto. Selama ini
aspirasi politik terbesar warga Muhammadiyah terdistribusi di Partai Golkar,
PAN, PKS, dan PPP. Secara pribadi, Hatta Rajasa tidak cukup dekat dengan
pucuk pimpinan Muhammadiyah. Namun, figur utama PAN seperti Amien Rais dan
Zulkifli Hasan memiliki tempat khusus di kalangan warga Muhammadiyah. Pada
sisi yang lain, kedekatan Buya Syafii Maarif dengan Megawati juga merupakan
faktor tersendiri. Dalam lima tahun terakhir, banyak kader Muhammadiyah yang
bergabung dengan PDI Perjuangan dan Baitul Muslimin.
Ketiga,
interest pribadi di antara para kader dan sebagian pimpinan Muhammadiyah. Di
kedua kubu tim sukses pasangan calon presiden terdapat kader-kader
Muhammadiyah. Imam Ad-Daruquthni, ketua umum Pemuda Muhammadiyah 1998–2002,
dan beberapa kader lainnya berada di pihak Jokowi-JK. Di lain pihak, Saleh P
Daulay, ketua umum Pemuda Muhammadiyah 2011–2014, sangat dekat dengan Hatta
Rajasa. Di samping itu, keinginan sebagian elit Muhammadiyah untuk duduk di
kursi kabinet meniscayakan kedekatan dengan masing-masing calon.
Muhammadiyah
tentu tidak bisa mengasingkan diri dari hiruk-pikuk pesta demokrasi.
Muhammadiyah harus ikut menentukan masa depan Indonesia dengan menentukan
pilihan. Sampai saat ini Muhammadiyah memang masih solid dan konsisten
menjadi jati dirinya sebagai organisasi masyarakat madani yang teguh
memainkan politik adiluhung.
Muhammadiyah
masih mampu menjaga diri dari godaan dan tarikan politik kekuasaan. Sampai
kapan Muhammadiyah bisa bertahan? Semua bergantung pada sikap dewasa dan
kearifan pimpinan dan para anggotanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar