Rekapitulasi
yang Menyisakan “Catatan”
Pangki
T Hidayat ; Direktur
Eksekutif dan Peneliti Politik Research Center for Democratic Education,
Yogyakarta
|
SINAR
HARAPAN, 14 Mei 2014
Akhirnya,
Komisi Pemilihan Umum (KPU) mampu mengumumkan hasil rekapitulasi suara
nasional Pemilihan Legislatif (Pileg) 2014 meski dalam masa injury time.
Partai politik (parpol) dan publik cukup dibuat ketar-ketir oleh kinerja KPU
tersebut.
Substansinya
bukan saja hukuman lima tahun penjara dan denda maksimal Rp 60 juta bagi
anggota KPU, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 319 UU Nomor 8/2012,
jika KPU tidak berhasil menetapkan hasil rekapitulasi pileg secara nasional
tepat waktu.
Lebih dari itu, negara ini akan menghadapi
krisis konstitusional (status quo)
pascaamandemen UUD 1945, karena tidak ada lagi dasar bagi KPU untuk
menyelenggarakan tahapan pemilu selanjutnya. Negara akan mengalami kevakuman
kekuasaan mengingat tak ada satu pasal pun dalam UUD 1945 yang memungkinkan
memperpanjang masa jabatan DPR, DPD, MPR, serta presiden dan wakil presiden.
Hasil
rekapitulasi suara nasional Pileg 2014 yang diumumkan KPU, Jumaat (9/5)
malam, tak berbeda jauh hasilnya dengan hasil hitung cepat (quick count) yang telah terlebih dulu
dirilis. Tiga posisi teratas masing-masing masih tetap dipegang PDIP dengan
23.681.471 suara (18,95 persen), Golkar dengan 18.432.312 suara (14,75
persen), dan Gerindra dengan 14.760.371 suara (11,81 persen).
Celah Rekapitulasi
Jika
ditelaah lebih mendalam, setidaknya ada dua faktor yang menyebabkan
terjadinya sengkarut rekapitulasi suara Pileg 2014. Pertama, banyaknya
kesalahan (human error) yang
dilakukan Kelompok Panitia Pemungutan Suara (KPPS), Panitia Pemungutan Suara
(PPS),
Panitia
Pemilihan kecamatan (PPK), dan KPU Daerah (KPUD). Ketidakmampuan DPR
merespons dan mengejewantahkan sistem pemilu terbuka ke dalam undang-undang,
membuat regenerasi anggota baru KPUD di beberapa daerah terhambat. Di
Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan, KPUD baru dilantik tiga bulan menjelang
hari pencoblosan. Di Maluku, Nusa Tenggara Barat, dan Papua juga mengalami
kondisi serupa.
Logikanya,
bagaimana bisa KPUD bekerja maksimal termasuk dalam memberikan sosialisasi
dan pemantapan skill kepada anggota-anggota KPPS, PPS, dan PPK dalam waktu
yang sangat singkat. Padahal penguasaan skill yang mumpuni jelas berdampak
pada minimnya human error yang terjadi.
Kedua,
surat rekomendasi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tentang penangguhan waktu
dan penghitungan ulang dalam setiap rekapitulasi suara. Dari sisi frekuensi,
surat rekomendasi yang dikeluarkan Bawaslu tergolong cukup banyak. Celakanya,
surat rekomendasi yang dikeluarkan oleh Bawaslu tersebut beberapa kali juga
tak luput dari human error.
Rekapitulasi
suara ulang di Kelurahan Simolang, Surabaya misalnya, surat rekomendasi dari
Bawaslu Jawa Timur, yang dijadikan sebagai acuan dalam pelaksanaan
rekapitulasi tersebut, ternyata terjadi salah pengetikan. Dalam surat
rekomendasi itu disebutkan jumlah perolehan suara pada lampiran model D-1
(rekapitulasi tingkat kelurahan) caleg Partai Hanura nomor urut 4 bernama
Sariaman Sianipar, jumlahnya sudah sama dengan yang tertulis di lampiran DA-1
(rekapitulasi tingkat kecamatan).
Semestinya,
kalau jumlah suara pada lampiran D-1 dan DA-1 sudah sama, tak perlu lagi ada
rekapitulasi suara ulang. Akibat kesalahan sepele tersebut, sidang pleno
perhitungan suara yang berlangsung di kantor Kecamatan Simokerto, Surabaya
diskors hingga dua jam. Kondisi di atas adalah salah satu contoh dari sekian
banyak human error yang dilakukan Bawaslu. Eksesnya, rekapitulasi suara di
tahap selanjutnya kemudian juga menjadi berlarut-larut.
Pembenahan KPUD
Sengkarut
yang terjadi pada rekapitulasi suara pileg, mulai dari tingkat KPPS hingga
tingkat KPU Nasional, mutlak tidak boleh terulang pada Pilpres 2014
mendatang, serta di pemilu-pemilu selanjutnya.
Oleh sebab itu, profesionalisme dan
independensi penyelenggara pemilu, khususya di tingkat KPUD perlu mendapatkan
perhatian serius dari pemerintah. Seperti kita ketahui bersama, selama ini profesionalisme
para petugas di KPUD menjadi masalah utama yang menimbulkan banyaknya gugatan
dalam setiap penyelenggaraan pemilihan umum kepala daerah (pilkada).
Kinerja
KPUD yang tidak memuaskan menyebabkan pelanggaran pemilu terjadi secara
terstruktur, masif, dan sistematis. Berdasar data dari Mahkamah Konstitusi
(MK), jumlah gugatan pemilukada yang masuk secara keseluruhan mencapai 615
perkara (periode September 2013). Jumlah tersebut bahkan lebih banyak dari
jumlah perkara pengujian undang-undang, yakni 613 perkara dalam periode yang
sama.
Jika
pemerintah jeli, itu sebenarnya adalah sebuah alarm pertanda bahaya bagi
pelaksanaan pileg dan pilpres 2014. Penting sebenarnya bagi pemerintah untuk
mencermati kembali mekanisme dan standarisasi perekrutan anggota KPUD di
setiap daerah.
Proses
perekrutan anggota KPUD juga harus jauh dari intevensi politik pihak manapun.
Dengan begitu, KPUD akan memiliki independensi dan integritas politik yang
kuat. Dalam konteks Pilpres 2014 mendatang, pembenahan (revitalisasi) KPUD
hendaknya ditekankan pada aspek profesionalisme kinerja, mengingat banyaknya
human error yang terjadi di pileg.
Simulasi
dan pelatihan perlu ditingkatkan meskipun dalam waktu yang sangat mendesak.
Di sisi penegakan hukum, peran Bawaslu, MK, dan aparat penegak hukum lain
mutlak harus mendukung kinerja penyelenggara pemilu. Dalam artian bahwa law
enforcement harus bisa menimbulkan efek jera bagi pelaku maupun parpol yang
melakukan kecurangan pemilu.
Akhirnya,
sekali lagi penyelenggaraan pemilu di negara ini membutuhkan figur-figur
profesional dan berkompeten agar sengkarut di pileg tidak menular di pilpres.
Dengan begitu, kepastian dan stabilitas politik yang diharapkan publik dan
para pelaku usaha dapat tercipta lebih cepat. Semoga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar