Kamis, 15 Mei 2014

Rekapitulasi yang Menyisakan “Catatan”

Rekapitulasi yang Menyisakan “Catatan”

Pangki T Hidayat  ;   Direktur Eksekutif dan Peneliti Politik Research Center for Democratic Education, Yogyakarta
SINAR HARAPAN,  14 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Akhirnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mampu mengumumkan hasil rekapitulasi suara nasional Pemilihan Legislatif (Pileg) 2014 meski dalam masa injury time. Partai politik (parpol) dan publik cukup dibuat ketar-ketir oleh kinerja KPU tersebut.

Substansinya bukan saja hukuman lima tahun penjara dan denda maksimal Rp 60 juta bagi anggota KPU, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 319 UU Nomor 8/2012, jika KPU tidak berhasil menetapkan hasil rekapitulasi pileg secara nasional tepat waktu.

 Lebih dari itu, negara ini akan menghadapi krisis konstitusional (status quo) pascaamandemen UUD 1945, karena tidak ada lagi dasar bagi KPU untuk menyelenggarakan tahapan pemilu selanjutnya. Negara akan mengalami kevakuman kekuasaan mengingat tak ada satu pasal pun dalam UUD 1945 yang memungkinkan memperpanjang masa jabatan DPR, DPD, MPR, serta presiden dan wakil presiden.

Hasil rekapitulasi suara nasional Pileg 2014 yang diumumkan KPU, Jumaat (9/5) malam, tak berbeda jauh hasilnya dengan hasil hitung cepat (quick count) yang telah terlebih dulu dirilis. Tiga posisi teratas masing-masing masih tetap dipegang PDIP dengan 23.681.471 suara (18,95 persen), Golkar dengan 18.432.312 suara (14,75 persen), dan Gerindra dengan 14.760.371 suara (11,81 persen).

Celah Rekapitulasi

Jika ditelaah lebih mendalam, setidaknya ada dua faktor yang menyebabkan terjadinya sengkarut rekapitulasi suara Pileg 2014. Pertama, banyaknya kesalahan (human error) yang dilakukan Kelompok Panitia Pemungutan Suara (KPPS), Panitia Pemungutan Suara (PPS),

Panitia Pemilihan kecamatan (PPK), dan KPU Daerah (KPUD). Ketidakmampuan DPR merespons dan mengejewantahkan sistem pemilu terbuka ke dalam undang-undang, membuat regenerasi anggota baru KPUD di beberapa daerah terhambat. Di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan, KPUD baru dilantik tiga bulan menjelang hari pencoblosan. Di Maluku, Nusa Tenggara Barat, dan Papua juga mengalami kondisi serupa.

Logikanya, bagaimana bisa KPUD bekerja maksimal termasuk dalam memberikan sosialisasi dan pemantapan skill kepada anggota-anggota KPPS, PPS, dan PPK dalam waktu yang sangat singkat. Padahal penguasaan skill yang mumpuni jelas berdampak pada minimnya human error yang terjadi.

Kedua, surat rekomendasi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tentang penangguhan waktu dan penghitungan ulang dalam setiap rekapitulasi suara. Dari sisi frekuensi, surat rekomendasi yang dikeluarkan Bawaslu tergolong cukup banyak. Celakanya, surat rekomendasi yang dikeluarkan oleh Bawaslu tersebut beberapa kali juga tak luput dari human error.

Rekapitulasi suara ulang di Kelurahan Simolang, Surabaya misalnya, surat rekomendasi dari Bawaslu Jawa Timur, yang dijadikan sebagai acuan dalam pelaksanaan rekapitulasi tersebut, ternyata terjadi salah pengetikan. Dalam surat rekomendasi itu disebutkan jumlah perolehan suara pada lampiran model D-1 (rekapitulasi tingkat kelurahan) caleg Partai Hanura nomor urut 4 bernama Sariaman Sianipar, jumlahnya sudah sama dengan yang tertulis di lampiran DA-1 (rekapitulasi tingkat kecamatan).

Semestinya, kalau jumlah suara pada lampiran D-1 dan DA-1 sudah sama, tak perlu lagi ada rekapitulasi suara ulang. Akibat kesalahan sepele tersebut, sidang pleno perhitungan suara yang berlangsung di kantor Kecamatan Simokerto, Surabaya diskors hingga dua jam. Kondisi di atas adalah salah satu contoh dari sekian banyak human error yang dilakukan Bawaslu. Eksesnya, rekapitulasi suara di tahap selanjutnya kemudian juga menjadi berlarut-larut.

Pembenahan KPUD

Sengkarut yang terjadi pada rekapitulasi suara pileg, mulai dari tingkat KPPS hingga tingkat KPU Nasional, mutlak tidak boleh terulang pada Pilpres 2014 mendatang, serta di pemilu-pemilu selanjutnya.

 Oleh sebab itu, profesionalisme dan independensi penyelenggara pemilu, khususya di tingkat KPUD perlu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah. Seperti kita ketahui bersama, selama ini profesionalisme para petugas di KPUD menjadi masalah utama yang menimbulkan banyaknya gugatan dalam setiap penyelenggaraan pemilihan umum kepala daerah (pilkada).

Kinerja KPUD yang tidak memuaskan menyebabkan pelanggaran pemilu terjadi secara terstruktur, masif, dan sistematis. Berdasar data dari Mahkamah Konstitusi (MK), jumlah gugatan pemilukada yang masuk secara keseluruhan mencapai 615 perkara (periode September 2013). Jumlah tersebut bahkan lebih banyak dari jumlah perkara pengujian undang-undang, yakni 613 perkara dalam periode yang sama.

Jika pemerintah jeli, itu sebenarnya adalah sebuah alarm pertanda bahaya bagi pelaksanaan pileg dan pilpres 2014. Penting sebenarnya bagi pemerintah untuk mencermati kembali mekanisme dan standarisasi perekrutan anggota KPUD di setiap daerah.

Proses perekrutan anggota KPUD juga harus jauh dari intevensi politik pihak manapun. Dengan begitu, KPUD akan memiliki independensi dan integritas politik yang kuat. Dalam konteks Pilpres 2014 mendatang, pembenahan (revitalisasi) KPUD hendaknya ditekankan pada aspek profesionalisme kinerja, mengingat banyaknya human error yang terjadi di pileg.

Simulasi dan pelatihan perlu ditingkatkan meskipun dalam waktu yang sangat mendesak. Di sisi penegakan hukum, peran Bawaslu, MK, dan aparat penegak hukum lain mutlak harus mendukung kinerja penyelenggara pemilu. Dalam artian bahwa law enforcement harus bisa menimbulkan efek jera bagi pelaku maupun parpol yang melakukan kecurangan pemilu.

Akhirnya, sekali lagi penyelenggaraan pemilu di negara ini membutuhkan figur-figur profesional dan berkompeten agar sengkarut di pileg tidak menular di pilpres. Dengan begitu, kepastian dan stabilitas politik yang diharapkan publik dan para pelaku usaha dapat tercipta lebih cepat. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar