Rabu, 28 Mei 2014

Pendidikan Sains

Pendidikan Sains

Elisabeth Rukmini  ;   Akademisi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta
KOMPAS,  28 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
SEORANG teman dekat saya bercerita tentang protes  anaknya mengenai hasil ulangan IPA kelas V SD. Soal gurunya demikian: ”Air terjun adalah energi …” (titik-titik).

Sang anak menjawab ”energi gerak”. Jawaban itu disalahkan. Ketika ditanyakannya kepada gurunya, jawaban yang benar adalah ”energi listrik”.

Ada lagi seorang ibu yang mengeluhkan salah satu soal ulangan IPS kelas V SD: ”Penandatanganan kedaulatan Indonesia (27 Desember 1949) dilakukan di ... dan .....” Jawaban anaknya: ”Jakarta dan Den Haag”. Jawaban itu disalahkan oleh gurunya karena yang benar adalah ”Indonesia dan Belanda”.

Jawaban guru hanya satu yang benar, jawaban murid menyatakan dapat lebih dari satu yang menurut dia benar dengan logika pikir dan hasil cernanya terhadap topik IPA dan IPS yang diberikan guru kepadanya. Sayang kisah ini berhenti pada kekecewaan sang anak yang memberi jawaban benar tetapi dianggap salah.

Kisah di atas mewakili tak hanya pendidikan sains, tetapi juga menyisakan pekerjaan rumah pendidikan karakter. Dalam sains, ilmu alam, dan ilmu sosial, banyak pertanyaan yang tidak bisa dijawab dengan satu jawaban benar. Kalaupun hanya dapat dijawab dengan satu jawaban benar, tetap ada jalan pikir yang dapat dijelaskan.

Bila guru memberikan soal isian (titik-titik), tidaklah berarti pasti hanya satu jawaban yang benar. Pada contoh di atas, murid belajar relativitas. Karakter relativitas, ukuran atas hal-hal yang benar dan yang keliru. Bila guru memfasilitasi ini, walaupun soalnya hanya mengisi isian singkat, tetapi isian itu jawabannya tidak hanya satu, maka kelas juga akan diperkaya dengan jawaban yang beragam. Ketika soal dibahas, murid akan melihat ternyata ada jawaban lain yang benar. Di dalamnya tersirat penghargaan atas kebenaran yang beragam.

Satu lagi contoh kasus di tingkat menengah. Dalam pelajaran IPA, guru mengajak murid ke lapangan rumput. Guru meminta murid menebarkan kuadran 30 cm x 30 cm dan mengamati apa yang ada dalam kuadrannya. Mayoritas kelas melaporkan melihat rumput dan tanah. Jika guru menerima saja pengamatan ini, maka tak ada pembentukan karakter saintis di dalamnya. Lain halnya bila guru mau bersusah payah menambah aturan main dengan meminta murid menggali 1 cm-10 cm dan mencatat secara berkala. Ada karakter ketelitian, kesabaran, relativitas, rekam jejak, pluralitas yang sekaligus dipelajari.

Sejarah para penemu yang berpengaruh secara sosial budaya juga perlu diperkenalkan sebagai bagian pendidikan karakter. Penemuan telepon, telegraf, komputer hanya sedikit contoh kisah nyata karakter ilmuwan yang tumbuh dan berpengaruh terhadap sejarah dunia. Penemu sistem perdagangan, mata uang, koperasi jelas membangun keterbukaan dan kemajuan bangsa.

Dari para penemu, murid belajar nilai-nilai kerja keras, ketangguhan, ketelitian, keterhubungan dengan manusia, kesuksesan yang tidak instan. Dari penemuan mereka, murid belajar sains, teknik, matematika, ekonomi, keuangan, sistem kenegaraan yang membantu perubahan sosial. Dari para ilmuwan dan penemu perempuan, siswa dapat belajar tak hanya temuannya, tapi juga semangat melawan penindasan pada masanya. Secara tak langsung, ada karakter kebangkitan, feminisme, berbelarasa.

Masih gagap

Sayangnya, kita sering kali memisahkan pendidikan karakter dengan pendidikan sains. Sains dianggap sebagai hard sciences, sedangkan pendidikan karakter adalah soft sciences. Mengapa tidak belajar sekaligus karakter dan sains?

Setelah Kurikulum 2013 menuai protes atas keterburuan pemerintah menerapkannya, yang dijawab Mendiknas dengan mengemukakan keunggulan kurikulum tersebut, di lapangan memang masih ada kegagapan melaksanakannya. Ide kurikulum integratif tentu sangat baik. Termasuk di dalamnya menggabungkan pendidikan sains dan karakter. Tetapi, di dalamnya diperlukan perubahan paradigma yang seketika dan berbalik arah.

Pun jika pelaksanaan kurikulum ini ditunda, bukanlah jaminan ada revolusi cara pandang di tingkat sekolah kita. Pada taraf keputusan karenanya juga diperlukan revolusi. Setuju atau tidak setuju, dilaksanakan atau tidak dilaksanakan segera, tetap menuntut persiapan tingkat sekolah dan guru.

Biasanya pergantian pemerintahan juga diikuti pergantian pejabat. Tak terkecuali di bidang pendidikan. Namun, yang diperlukan kini bukanlah ganti pejabat ganti kurikulum, melainkan estafet kurikulum dengan perubahan seketika paradigma di lapangan. Hal yang terakhir jelas perlu pembimbingan.

Karena itu, gerakan mendayagunakan ahli pendidikan yang sevisi integratif untuk membantu perubahan paradigma jelas diperlukan.

Kepada para capres, mari kita titipkan revolusi di tingkat kelas dan guru untuk tetap meneruskan semangat kurikulum integratif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar