Rabu, 28 Mei 2014

Keseimbangan Kesalehan

Keseimbangan Kesalehan

 Muslich Shabir ;   Guru Besar Sejarah Peradaban Islam IAIN Walisongo Semarang
SUARA MERDEKA,  28 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
ISRA mikraj merupakan salah satu peristiwa penting dalam kehidupan Nabi Muhammad saw yang terjadi tanggal 27 Rajab tahun ke-10 masa kenabian. Isra adalah perjalanan yang dilakukan Beliau pada waktu malam hari dari Masjidil Haram di Makkah menuju Masjidil Aqsha di Palestina. Adapun mikraj peristiwa ’’naiknya’’ Rasulullah dari Masjidil Aqsha menuju Sidratul Muntaha guna menerima perintah melaksanakan shalat lima waktu dalam sehari semalam.

Peristiwa tersebut termasuk perkara gaib yang harus diterima lebih dulu oleh keimanan, sebelum dicerna akal. Manusia tak akan berhasil membedah bila hanya mengandalkan rasio berkait kejadian itu mengingat isra dan mikraj merupakan hal luar biasa (suprarasional). Yang paling tepat adalah pendekatan imani melalui proses rabbani, yakni memahami peristiwa itu merupakan skenario Tuhan yang tidak bisa dirasionalkan.

Pendekatan itulah yang dilakukan Abu Bakar ash-Shiddiq ketika mendengar berita isra dan mikraj mengingat waktu itu banyak kafir di Makkah mengolok-olok dan me­nertawakan karena menganggapnya se­bagai sesuatu yang tak masuk akal. Tapi waktu itu Abu Bakar mengatakan bila Muhammad yang menceritakannya pasti benar adanya.

Penerimaan kebenaran Abu Bakar tidak didasarkan pada verifikasi empirik atau logika rasional tapi lebih mengedepankan keyakinan agama. Peristiwa isra dan mikraj ini bukanlah sesuatu yang harus dipaksakan dirasionalkan namun juga bukan irasional mengingat sejatinya itu bagian dari supra­rasional. Hal itu sekaligus menunjukkan bila Allah berkehendak maka tak ada sesuatu yang mustahil. Tuhan tidak membutuhkan ruang dan waktu untuk mewujudkan kehendak-Nya.

Isra yang merupakan perjalanan darat dari Makkah (Masjidil Haram) ke Yerus­salem (Masjidil Aqsha), dan Muhammad saw masih berada dalam alam yang sama sehingga bisa dianalogikan sebagai perjalanan horizontal. Adapun mikraj yang merupakan perjalanan dari Masjidil Aqsha menuju Sidratul Muntaha, yaitu Beliau naik dari alam dunia menuju alam lain untuk bertemu Allah, dapat dimaknai sebagai perjalanan vertikal.

Peristiwa itu mengandung pelajaran bahwa dalam mengarungi kehidupan, manusia harus memperhatikan aspek horizontal (hablum minannas) sekaligus aspek vertikal (hablum minallah). Padahal dalam keseharian, kita banyak menjumpai orang yang lebih menekankan mikraj (hubungan vertikal dengan Allah) dengan melakukan banyak ibadah, sementara tuntutan isra (hubungan horizontal dengan sesama manusia) belum terpenuhi.

Imbas Negatif      

Realitas itu mengakibatkan kekerasan yang dilakukan oknum umat beragama tidak jarang  menjadi pretensi sebuah kesalehan dan tingginya kualitas iman. Sebaliknya, keramahan dan kerahmahan (kasih sayang) antarmakhluk Tuhan hampir terabaikan. Padahal pada prinsipnya agama menuntut keseimbangan antara kesalehan sosial dan kesalehan individual guna merealisasikan sukses dunia dan akhirat.

Peristiwa isra dan mikraj dapat direfleksikan pada konteks kekinian, yang mengikis nilai kemanusiaan sosial, terlebih aspek religi. Saat ini aspek religi tiap individu terdegradasi dan ter­destruksi akibat kepesatan modernisasi, baik berkait ipek maupun berbagai aspek lain. Religiositas pun terkena imbas negatif modernisasi. Analisis terhadap fenomena isra dan mikraj diharapkan menjadi usaha dinamis dan komprehensif guna menjawab tantangan modernisasi, yang selain membawa kemajuan pesat juga mengakibatkan kemunduran aspek religi, kemanusiaan, dan sosial.

Seorang muslim yang ingin ditinggikan derajatnya oleh Allah, harus melewati proses panjang berliku, untuk menundukkan hawa nafsu dan mengabdi pada perintah, seperti menegakkan shalat serta amar makruf  (mengajak pada kebaikan) dan nahi mungkar (mencegah kemungkaran).

Shalat hanyalah salah satu entry point menuju tatanan hidup yang tenteram dan berujung pada rida Allah SWT. Melalui shalat manusia diharapkan mampu meredam nafsu hayawaniyah dan iblis­iyah serta lebih mengedepankan naluriah dan penalaran saat berinteraksi dengan sesama agar tidak ada lagi kemungkaran dan penyelewengan.

Tiap peristiwa di dunia ini pasti mengandung hikmah. Dari Isra Mikraj Nabi SAW, manusia bisa memetik minimal tiga hal. Pertama; kejadian itu menambah keyakinan kita kepada Tuhan bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Tak semua peristiwa di alam harus dirasionalkan mengingat ada beberapa hal suprarasional. Melalui pemahaman itu, manusia tidak akan sombong atau membangga-banggakan atas kelebihan dirinya.

Kedua; muslim harus memahami hasil dari perjalanan bersejarah tersebut adalah perintah mendirikan shalat fardu lima waktu yang merupakan tiang agama. Shalat menjadi penentu apakah seseorang benar-benar muslim atau tidak. Bagaimanapun baiknya perilaku seseorang bila mengabaikan shalat maka nilai-nilai kebaikannya itu tidak banyak bermanfaat bagi dirinya.  Ketiga; hendaknya muslim mau memperbaiki diri dan berkaca pada tiap musibah dan bencana yang sering terjadi.

Tiap kali terjadi bencana, janganlah selalu menyalahkan alam dan pihak lain tapi justru kita dituntut untuk introspeksi. Tiga hikmah itu perlu menjadi bahan perenungan bersama. Kita pasti ingin menjadi orang yang selalu meningkat kua­litas dirinya sehingga bisa mencapai tujuan akhir husnul khatimah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar