Supremasi
Tangan-Tangan Gaib
Bambang Satriya ; Guru Besar Stiekma
dan Dosen Luar Biasa UIN Malang
|
MEDIA
INDONESIA, 28 Mei 2014
"Semakin
tinggi penghargaan manusia terhadap kekayaan (uang), semakin rendahlah
penghargaan manusia terhadap nilai-nilai kebenaran, kesusilaan, keadilan, dan
kepatutan." (Aristoteles)
UCAPAN Aristoteles tidaklah
salah. Filsuf asal Yunani itumengingatkan tentang kebenaran rumus kausalitas
(sebab-akibat) terjadinya dan maraknya kejahatan di masyarakat atau dalam
kehidupan bernegara yang bersumber pada penahbisan uang. Saat seseorang atau
sekelompok orang tergelincir pada praktik pemujaan atau pengabsolutan uang,
maka norma apa pun, termasuk norma agama dan hukum, bisa dilindasnya.
Magnet uang terbukti luar biasa
bagi manusia negeri ini. Pengaruhnya mampu menarik dan menjadikannya
kehilangan kecerdasan moral, edukatif, spiritual, dan hukum. Daya pesonanya
membuat manusia takluk dan menyerah dikuasainya. Manusia menjadi kalah dan
bahkan menikmati kekalahannya.
Terbukti, banyak elemen negara
yang statusnya pintar secara edukatif atau terpelajar yang bersikap senang
dan arogan melibatkan diri mereka dalam penyalahgunaan keuangan rakyat
(negara).
Status jabatan seseorang atau
sekelompok orang yang mapan dan dukungan keilmuan yang dimilikinya telah
menempatkan dirinya sebagai tokoh penting dalam korupsi. Dirinya selain bisa
menjadi penikmat kriminalisasi jabatan, juga bisa menggandeng, berkolaborasi,
atau mendorong pihak-pihak lain menjadi `tangan-tangan gaib'.
Sebagai sampel kasus, tindakan
KPK memastikan Suryadharma Ali (SDA) sebagai tersangka dalam dugaan
penyalahgunaan dana haji membuktikan bahwa di negeri ini terdapat banyak
lorong atau beragam zona abu-abu di lingkungan pemerintahan, yang
memungkinkan ada seseorang atau sejumlah orang yang terlibat perkara korupsi.
Dalam kasus penyalahgunaan dana
haji itu, diduga bukan hanya SDA yang terlibat, melainkan juga banyak pihak
sehingga bukan tidak mungkin peradilannya nanti akan menjadi peradilan yang
`sangat panjang' seperti dalam kasus Century atau Hambalang.
Pola kriminalisasi sistemis
beratasnamakan jabatan yang mengalir dalam kasus penyelenggaraan dana haji
tersebut sebenarnya tidak berbeda dengan banyak kasus korupsi lainnya.
Korupsi ini dapat terbaca, bahwa ada beberapa `tangan-tangan gaib' yang
terlibat dalam mengarsiteki dan memuluskan jalannya korupsi, yang sulit
diungkap, apalagi ditangkap, atau hanya bisa diendus, tanpa bisa diberangus.
Korupsi seperti itu dijadikan
opsi. Pasalnya, lebih mudah dilaksanakan jika menggunakan kekuatan lain yang
memediasi dan menyediakan bermacam-macam instrumen yang memperlicinnya.
Kalaupun sampai terungkap, pejabat utama dalam hierarkis strukturalnya yang
diproses secara hukum, sementara terdapat banyak pelaku yang menikmati ke
bebasan akibat mempunyai akses istimewa dengan lini supraeksekutif atau
kekuatan besar lainnya.
Selain itu, supremasi
‘tangan-tangan gaib’ sangat tampak dalam kasus yang jumlah kerugian keuangan
negara tergolong besar. Pasalnya, kasus demikian menciptakan agregasi secara
bersama yang bukan hanya untuk mengamankan keuntungan, melainkan juga saling
melindungi dalam proses purifikasi (penyucian) atas modus operandi
kejahatannya. Upaya saling melindungi, meski kelihatannya saling memusuhi,
merupakan karakter utama korupsi bersama. Semakin besar jemaah yang
dikonstruksi, semakin kuat pula politik perlawanan yang ditunjukkannya kepada
aparat penegak hukum atau pejuang kebenaran dan keadilan.
Juwita W dalam Fenomena Korupsi Bersama di Indonesia
(2012) menyebutkan bahwa modus korupsi bersama di Indonesia sebenarnya persis
seperti sistem multilevel marketing (MLM). Sering kali karyawan bawah di
suatu instansi dijadikan prajurit terdepan dalam aksi. Uang yang diperoleh
karyawan level bawah akan diteruskan ke atasannya, begitu terus sampai ke
pucuk pimpinan. Karyawan level bawah di suatu instansi menghadapi risiko
terbesar, sedangkan hasil yang diperoleh merupakan hasil terkecil dalam aksi tersebut.
Jika terjadi sesuatu hal, karyawan level bawahlah yang terlebih dahulu
dikorbankan untuk masuk bui. Para oknum pimpinan dengan koneksi politik dan
uang rampasanlah yang banyak memiliki modal untuk selamat dari bui.
Pemimpin dalam korupsi bersama
tidak perlu memberikan instruksi. Ia hanya cukup menunggu uang masuk ke
rekeningnya secara teratur. Hal itu karena mereka telah memiliki persentase
masing-masing bagi setiap level dalam aksinya. Persis seperti sistem MLM,
bukan? Para tersangka kasus korupsi bersama yang kini tengah populer di media
sebenarnya hanyalah pion. Jika semua pelaku korupsi bersama diseret ke
pengadilan, negara ini mungkin bisa bubar karena jumlahnya yang terlalu
banyak.
Paradigma korupsi yang diajukan
Juwita W itu tak berbeda dengan yang terjadi di Kementerian Agama atau
korporasi yang melibatkan pejabat aktif, bahwa kekuatan jemaah atau
terorganisasi tetap berada di tangan pemilik `tangan-tangan gaib'.
Sang pemilik tangan-tangan gaib
seperti pihak yang menawarkan anggaran atau mengatur transaksi dalam jumlah
besar, atau secara diam-diam memproduksi kriminalisasi sistemis, merupakan
elemen strategis yang mendapatkan keuntungan besar, yang bisa jadi di akhir
`hikayat' proses hukum, nantinya menjadi pihak yang diuntungkan dan
dimenangkan.
Selain masih mendapatkan
keuntungan uang dalam jumlah besar yang berhasil disembunyikan atau
damankannya dari radar pelacakan penyidik, mereka itu juga mendapatkan
keuntungan berupa minimalisasi sanksi hukuman atau bahkan pembebasan. Sudah
menjadi cerita umum bahwa sanksi hukuman penjara bagi koruptor selama ini
bersifat sumir. Bahkan ada kasus korupsi yang
hukumannya berjenis percobaan.
Memprihatinkannya sanksi hukuman tersebut tak
lepas dari supremasi `tangan-tangan gaib' yang berjasa besar dalam merusak
atau mengacaukan penyidikan, penuntutan, hingga alur pemikiran (penafsiran)
hakim sebelum menjatuhkan putusan. Pilar `tangan-tangan
gaib' berusaha menunjukkan peran licinnya sebagai pengendali yang bisa
menciptakan situasi tertentu, yang membuat elemen penegak hukum atau publik
memercayainya, bahwa para koruptor `hanya' salah alamat dalam menyalurkan
dana atau uang negara sebenarnya sudah tersalur dengan tepat. Hanya, `kurang
benar' dalam menyusun pelaporannya.
Jika membaca pola seperti itu,
seharusnya setiap aparat penegak hukum , khususnya penyidik KPK, merasa
ditantang atau dieksaminasi profesionalisme-nya oleh `tangan-tangan gaib'.
KPK tidak boleh hanya berhenti di ranah SDA, tetapi juga siapa pun orangnya
yang memanfaatkan SDA, di samping tidak kehilangan konsistensinya dalam
menyidik kasus besar lainnya secara transparan dan egaliter.
Penyidik KPK berkewajiban terus-menerus dalam
memperbarui strategi berperangnya terhadap koruptor. Kalau koruptor saja
terus berusaha membaca dan membelokkan arah kinerja penyidikannya, KPK wajib
mempelajari pola-pola politik penyimpangan dan pengalihan wacana pertanggungjawaban
korupsi yang `diamendemen' oleh
koruptor. ●
|
Xavi akan jadi pelatih Barcelona selanjutnya Baca disini!!!
BalasHapus