Menerawang
Peta(ka) Koalisi Pilpres
Ribut
Lupiyanto ; Deputi Direktur
C-PubliCA
(Center for Public
Capacity Acceleration), Yogyakarta
|
SINAR
HARAPAN, 26 Mei 2014
Manuver
elite politik terkait koalisi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 terus
menghiasi informasi di berbagai media. Koalisi menjadi keniscayaan dalam
pilpres mendatang. Hasil penetapan suara oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU)
menunjukkan, tidak ada partai politik (parpol) yang mendapatkan suara
mayoritas.
Pilpres
2014 akhirnya hanya diikuti dua pasang kontestan. Pasangan yang akan
bertarung adalah Jokowi-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.
Pasangan Prabowo-Hatta didukung enam parpol, yaitu Partai Gerindra, PAN, PKS,
Partai Golkar, PPP, dan PBB. Pasangan ini mendapatkan total dukungan 48,93
persen suara atau 292 kursi di DPR.
Selanjutnya
pasangan Jokowi-Kalla didukung empat parpol, yaitu PDIP, PKB, Partai Nasdem,
dan Partai Hanura. Pasangan ini mendapatkan total dukungan 39,97 persen
suara, setara 207 kursi DPR.
Apa pun
peta koalisi yang terbentuk tidaklah penting bagi publik. Hal yang
terpenting, semua koalisi memiliki fondasi komitmen membangun negeri dan
menyejahterakan rakyat. Dinamika politik yang sedang dan akan terjadi selama
pilpres berpotensi menimbulkan petaka bagi semua pihak. Potensi petaka ini
penting dipetakan untuk mengantisipasi implikasi negatifnya.
Teropong Sistem
Koalisi
sejatinya hanya dikenal dalam sistem parlementer. David Altman (dalam Isra,
2012) mengemukakan, “Coalitions are not
institutionally necessary.” Itu dalam sistem presidensial karena tidak
kondusif terhadap political cooperation.
Scott
Mainwaring (1990) menyatakan, koalisi dalam sistem presidensial memiliki
kelemahan. Pertama, presiden membentuk sendiri kabinetnya, sedangkan parpol
bisa lemah komitmennya terhadap presiden. Kedua, anggota legislatif dari
parpol yang mempunyai menteri di kabinet tidak mendukung pemerintah
sepenuhnya. Ketiga, keinginan parpol membubarkan koalisi lebih kuat dalam
sistem pemerintahan presidensial.
Realitas
politik menunjukkan, Indonesia tidak murni menganut sistem presidensial
karena dalam beberapa hal presiden harus mendapat persetujuan dari DPR.
Koalisi menjadi rekayasa institusional untuk mengurangi distorsi kombinasi
presidensial dan multipartai di satu pihak, serta dalam rangka efektivitas
mengokohkan sistem presidensialisme di pihak lain (Syamsudin Haris, 2008).
Sistem
koalisi dan oposisi juga masih belum memiliki konsep yang mapan di Indonesia.
Tanuwijaya (2010) menegaskan, terdapat tiga permasalahan fundamental yang
harus diselesaikan dalam membangun sistem koalisi. Permasalahan tersebut,
antara lain tidak jelasnya arti partai koalisi dan partai oposisi, dasar
koalisi lebih banyak terkait kepentingan pragmatis, serta mekanisme sanksi
terhadap partai koalisi membelot.
Koalisi
dikenal di Indonesia sejak era Reformasi. Koalisi lebih dipahami sebagai
upaya menggalang kekuatan berbasis pembagian kekuasaan (power sharing). Hal ini dibuktikan oleh fakta pembagian kursi
menteri terhadap semua parpol anggota koalisi. Budaya politik ini tampaknya
akan susah dihindari semua parpol dan calon presiden (capres).
Harold
Laswell (2014) mengatakan, koalisi di Indonesia pasti membicarakan kursi. Hal
ini karena politik sejatinya adalah who
gets what, how, and when. Dengan demikian, capres atau parpol yang
menjanjikan tidak akan menerapkan koalisi bagi-bagi kursi hanyalah basa-basi.
Sudah
rahasia umum, bahwa siapa pun pengisi kabinet, meski dari profesional, mereka
adalah hasil kompromi antarparpol melalui beberapa kesepakatan. Melihat
kenyataan ini, terbentuknya zaken kabinet masih sekadar impian di Indonesia.
Petaka Koalisi
Permasalahan
koalisi hadir mulai dari konsepsi hingga implementasi. Jelang Pilpres 2014,
beberapa petaka politik sudah dan berpotensi terjadi. Petaka dapat menerpa
semua stakeholders politik, mulai
parpol, rakyat, hingga personel capres-cawapres.
Petaka
bagi parpol adalah konflik internal. Beberapa parpol sudah terkena badai
konflik sebagai akibat manuver politik jelang koalisi. Drama saling pecat
sempat mewarnai perjalanan PPP. Islah akhirnya yang mengakhiri drama
tersebut.
Partai
Golkar juga berpotensi terganggu soliditasnya. Sebagian politikusnya melawan
kebijakan partai. Tercatat, politikus teras Golkar, seperti Luhut Panjaitan,
Poempida Hidayatullah, Indra Jaya Piliang, serta organisasi sayap Soksi
eksplisit mendukung Jokowi-Jusuf Kalla.
PKB pun
berpotensi menghadapi konflik lantaran hengkangnya dukungan Rhoma Irama,
Mahfud MD, dan Ahmad Dhani. Kemesraan PKB dan Nahdlatul Ulama (NU) juga
kembali merenggang.
Hanura
tidak ketinggalan pecah kongsi. Hary Tanoe mundur dan mendukung
Prabowo-Hatta.
Petaka
bagi rakyat adalah koalisi pragmatis. Koalisi sepanjang sejarah politik
bangsa ini masih miskin esensi. Kepentingan pragmatis berupa pembagian kursi
kekuasaan jauh mendominasi atas kepentingan visi dan misi. Kursi adalah sah
dan wajar diperbincangkan, tetapi mestinya setelah mengedepankan komunikasi
visioner.
Dilema
bagi menteri akan muncul ketika visi parpol berseberangan dengan presiden.
Kondisi ini akan memengaruhi kinerja pemerintahan ke depan. Konsekuensinya,
koalisi mesti dibangun dalam sistem yang mapan, kuat, visioner, dan
disepakati semua parpol anggota.
Petaka
bagi capres-cawapres adalah sandera politik. Komunikasi politik koalisi
sering menampilkan strategi saling sandera. Politik adalah serbakemungkinan.
Capres-cawapres dapat tersandera kesepakatan yang mengambang atau isu politik
yang dipermainkan.
Publik
mesti mengawasi dan menilai objektif atas segala dinamika yang terjadi. Elite
politik jangan sampai hanya menciptakan kegaduhan dan menampilkan sandiwara
politik. Elite politik memiliki tanggung jawab mendidik publik. Petaka bagi
capres dan elite politik yang meninggalkan kepentingan rakyat adalah antipati
dan penolakan dukungan publik dalam pilpres nanti. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar