Menuju
Surga Berbagi
Tom Saptaatmaja ;
Teolog
|
KORAN
SINDO, 29 Mei 2014
KORUPSI
sungguh menjadi masalah terbesar bangsa kita. Boleh jadi kita sudah paham
definisi korupsi. Undang-Undang Nomor 31/ 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi memberi batasan tindak pidana korupsi sebagai ”perbuatan memperkaya diri sendiri atau
orang lain dengan melawan hukum yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara” atau ”perbuatan
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain serta dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”.
Konon di negara sekuler yang
70% warganya mengaku atheis seperti Denmark, praktik korupsi justru nyaris
tidak ada. Lalu, bagaimana nalar kita harus memahami maraknya praktik korupsi
di negeri kita yang 99% warganya mengklaim percaya Tuhan dan beragama?
Menyedihkan,
meski sudah ada KPK, koruptor baru terus bermunculan. KPK bahkan terus coba
diperlemah oleh para politisi korup agar ke depan hukuman kepada para
koruptor bisa diperingan dan KPK menjadi macan ompong.
Kuasa
uang lewat suap atau korupsi sungguh kuat daya cengkeramnya. Malah jelang
Pilpres 9 Juli, kuasa uang itu akan bekerja sangat rapi guna menyuap para
calon pemilih agar mencoblos capres tertentu, sebagaimana marak terjadi dalam
Pileg 9 April 2014.
Berbagai
perintah agama seperti mencuri atau mengambil milik orang lain adalah dosa
dan jahat seolah tak mampu mencegah para calon koruptor agar tidak korupsi.
Memang akal sehat kita tampak sulit memahami fakta maraknya korupsi di negara
ini.
Namun,
melihat praktik korupsi yang luar biasa ini, mungkin benar ucapan Kardinal
Julius Darmaatmaja bahwa sila pertama Pancasila sudah diganti menjadi
Keuangan yang Maha Kuasa. Bukan Ketuhanan Yang Maha Esa. Uang menjadi ukuran
hidup yang utama dan pertama bagi para koruptor. Mungkin saja agama para
koruptor adalah agama uang. Erich Fromm menulis: batasan agama bukan hanya
tradisional yakni selalu dikaitkan dengan Tuhan, berhala, Kitab Suci, atau
nabi.
Tapi,
agama sistem pemikiran sekaligus tindakan dari sekelompok orang yang
memberikan pada masing-masing anggotanya kerangka orientasi dan objek devosi
(dalam Psychoanalysis and Religion,
1950). Konsekuensinya, jika misalnya orientasi atau yang menjadi objek
devosi adalah uang, agama sesungguhnya dari para koruptor adalah agama uang.
Saking dominannya posisi uang itu, agama otentik seperti Islam atau Kristen
hanya diperalat para koruptor menjadi semacam ”topeng” guna menutupi
kejahatan dan ketamakan yang ada dalam jiwa mereka.
Memang
kalau kita gali, korupsi bermula dari ketamakan. Terkait ketamakan ini,
menarik mencermati kisah Ivan Boesky yang dipenjara dan harus membayar denda
USD100 juta karena melakukan ”insider
trading”. Sebelumnya Ivan adalah sosok terpandang di bursa Wall Street. Pernah dalam suatu wisuda
di sebuah universitas ternama, Ivan ”berkhotbah soal ketamakan”: ”Ketamakan tidaklah salah. Tamak justru
merupakan hal yang sehat. Anda tidak perlu merasa bersalah jika menjadi
tamak”.
Yang
menarik, Ivan mengungkapkan itu di sebuah wisuda sekolah bisnis ternama dan
disambut gelak tawa (Newsweek, 1
Desember, 1986). Padahal ketamakan jelas salah. Orang yang tamak biasanya
mengabaikan Allah sehingga tamak sebenarnya bukan cermin kesuksesan,
melainkan cermin kebodohan. Para koruptor kita jelas orang yang bodoh karena
diperbudak harta dengan mengabaikan semua kaidah moral dan agama. Orang tamak
rela menjadi hamba atau budak uang.
Mungkin
di depan publik banyak yang mengklaim sebagai hamba Allah, tapi ternyata
sejatinya mereka justru jadi hamba uang karena korupsi dan ketamakan mereka.
Jujur jika direnungkan lebih dalam, uang negara bisa dimanfaatkan untuk
menyejahterakan rakyat. Namun, korupsi kian memiskinkan banyak orang miskin.
Mereka
yang sebenarnya bisa disekolahkan ke jenjang pendidikan tinggi, atau para
korban gizi buruk yang sebenarnya bisa ditingkatkan gizinya, atau orang sakit
yang kebingungan pada saat sakit meski sudah ada asuransi (BPJS atau JKN),
sebenarnya bisa ditolong dengan uang negara. Maka itu, para koruptor
sesungguhnya menciptakan neraka bagi banyak kaum lemah di negeri ini.
Dalam
pandangan Yesus, tamak atau nafsu akan kekayaan sampai rela melakukan korupsi
jelas sangat bertentangan dengan usaha mendekati Allah. Memang pandangan
Yesus terkait uang, harta milik, atau kekayaan materi merupakan salah satu
yang paling keras dalam Injil.
Mengapa
Yesus menyampaikan kata-kata keras tersebut? Yesus tidak ingin orang
berpaling dari Allah sehingga orang malah tergoda menggadaikan jiwanya pada
iblis seperti kisah klasik Faust, buah karya Goethe.
Apalagi
kekayaan harus diakui gampang mengubah orang. Ketika nafsu memiliki (to have, Erich Fromm) kian menguasai,
ketamakan merajalela. Tak ada kata cukup. Buktinya, gaji tinggi para pejabat
kita ternyata tak mampu meminimalkan korupsi. Orang terus ingin menimbun dan
menumpuk kekayaan, tak peduli dari hasil mencuri uang negara. Maka itu, Yesus
dan para murid-Nya tidak menyembah uang, tetapi menyembah Allah.
Ketika
berada di Bait Allah di Yerusalem dipenuhi para pedagang sehingga mirip
pasar, Yesus menjadi marah. Pedagang-pedagang diusir dari tempat itu. Yesus
memang ingin tempat ibadah tidak dikomersialisasikan. Tempat ibadah harus
mendekatkan manusia pada Allah, bukan kepada uang. Ketika tindakan Yesus itu
didengar imam-imam Yahudi, Dia ditangkap, diadili, dan dihukum mati. Setelah
pada hari ketiga bangkit dari mati, Yesus masih hidup 40 hari di dunia, lalu
naik ke surga.
Nah,
lepas dari beragam tafsir tentang surga, tapi semua tafsir jelas tak
menyangkal bahwa surga selalu jadi pengingat bahwa fokus hidup kita di dunia
harus terarah ke surga. Dunia ini bukan tujuan utama peziarahan kita.
Barangsiapa menjadikan dunia sebagai fokus utama, pasti ia akan mengagungkan
atau menomorsatukan uang, materi, dan harta benda dunia ini.
Dalam
perspektif kenaikan, Yesus ingin kita menggunakan uang dengan cerdik.
Maksudnya, kita jangan sampai diperalat oleh uang sampai rela mengorupsi uang
negara, lalu melupakan Allah, bahkan menciptakan neraka bagi sesama. Kita
sungguh cerdik jika menginvestasikan uang kita untuk masa depan yang kekal.
Kita
bisa, bermurah hati dan peduli dengan berbagi atau mengentaskan kemiskinan
atau menyekolahkan anak-anak mereka hingga perguruan tinggi. Jelas ini akan
menghadirkan surga bagi sesama. Ini jelas lebih baik daripada melakukan
tindak korupsi yang hanya menciptakan neraka bagi sesama serta membuat
bangkrut negeri kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar