Senin, 26 Mei 2014

Mendorong Kabinet Profesional

Mendorong Kabinet Profesional

A Prasetyantoko  ;   Pengajar di Unika Atma Jaya Jakarta
KOMPAS,  26 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
SAAT  Eropa dilanda krisis berat tahun 2008, muncul Lucas Papademos sebagai Perdana Menteri Yunani dan Mario Monti sebagai Perdana Menteri Italia dalam periode lebih kurang sama. Keduanya secara kebetulan berlatar belakang sama sebagai doktor bidang ekonomi. Betulkah krisis membutuhkan teknokrat ketimbang politisi sebagai pemimpin tertinggi? Dan, apa yang bisa dilakukan seorang teknokrat, tetapi tidak oleh politisi, dan sebaliknya? Disimpulkan, teknokrat mahir merancang kebijakan, sedangkan politisi berkompeten menjalankannya. Apa relevansinya bagi kita?

Ketegangan antara dimensi politis dan teknokratis mengemuka juga dalam pemerintahan lima tahun ke depan. Setelah kedua pasangan calon presiden dan calon wakil presiden menyerahkan dokumen visi, misi, dan program aksi kepada Komisi Pemilihan Umum, pertanyaannya adalah bagaimana menjalankannya. Joko Widodo-Jusuf Kalla mengusung tiga tema besar, yaitu kedaulatan dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Prabowo Subianto-Hatta Rajasa mencanangkan program aksi dalam rangka menyelamatkan Indonesia, di antaranya membangun ekonomi yang kuat; mewujudkan ekonomi rakyat; dan membangun kembali kedaulatan pangan, energi, dan sumber daya alam.

Dari sisi rumusan, tak ada perbedaan mencolok. Kedua pasangan memberikan perhatian pada kepentingan nasional guna memajukan kemakmuran rakyat. Pendekatannya juga tak jauh berbeda, seperti pembangunan berbasis pedesaan, fokus pada penciptaan lapangan kerja, dan mempercepat pembangunan infrastruktur. Soal infrastruktur, Prabowo-Hatta menargetkan pembangunan 3.000 kilometer jalan raya nasional dan 4.000 kilometer rel kereta api sebagai prioritas baru. Selain itu, basis pengembangan juga mengikuti pola enam koridor dalam Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang digagas Hatta.

Jokowi-Kalla, dalam rangka meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing pasar internasional, menargetkan penambahan jalan baru 2.000 kilometer, 10 pelabuhan, 10 bandara, dan membangun 10 kawasan industri. Sebanyak 5.000 pasar tradisional di seluruh Indonesia akan dibangun, selain juga memodernisasi pasar lama. Untuk mendorong investasi, efisiensi perizinan bisnis maksimal 15 hari. Selain itu, secara khusus juga akan mendirikan bank pembangunan dan infrastruktur. Aspek akses keuangan juga dipikirkan melalui target inklusi keuangan 50 persen penduduk. Adapun target tax ratio sebesar 16 persen terhadap produk domestik bruto.

Kini kedua pasangan fokus memenangi suara. Setelah itu, masalahnya adalah bagaimana mewujudkan mimpi tersebut. Di situlah aspek teknokrasi dibutuhkan. Legitimasi harus dibangun dengan menggabungkan dimensi teknokratis dan politis. Apalagi, siapa pun yang menang dalam pemilu presiden nanti harus berhadapan dengan dinamika ekonomi yang begitu menantang.

Pertama, ketegangan antara pertumbuhan dan defisit neraca transaksi berjalan (NTB) masih akan terus terjadi. Dalam rangka menekan defisit NTB menjadi sekitar 2,5 persen, pertumbuhan perekonomian harus dikorbankan hanya 5,1 persen hingga 5,5 persen. Kedua, ketegangan antara pertumbuhan dan penyerapan tenaga kerja. Pada satu dekade lalu, setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi mampu menyerap 350.000-400.000 tenaga kerja, kini hanya 250.000-300.000 tenaga kerja. Dengan demikian, untuk menciptakan lapangan kerja 2 juta orang, misalnya, perlu peningkatan pertumbuhan sekaligus kualitasnya. Padahal, antara laju dan kualitas pertumbuhan ekonomi sering tak sejalan.

Ketiga, jebakan fiskal terkait rendahnya tax ratio dan besaran subsidi. Meningkatkan pendapatan pajak tidak mungkin dilakukan jika laju pertumbuhan ekonomi rendah. Sementara kemampuan fiskal untuk melakukan stimulus ekonomi akan terbatas jika beban subsidi begitu tinggi. Belum lagi faktor fluktuasi nilai tukar yang sering menggerus sisi penerimaan serta meningkatkan beban pengeluaran. Akibat depresiasi nilai tukar, beban subsidi 2014 bakal naik Rp 100 triliun. Adapun dengan perlambatan pertumbuhan, penerimaan pajak akan turun.

Pada sisi regional dan global, tahun 2015 kita berada dalam posisi kritis. Pertama, kemungkinan kenaikan suku bunga oleh Bank Sentral Amerika Serikat (the Fed Fund Rate) berpotensi menimbulkan pembalikan tiba-tiba pasar keuangan kita. Itu sangat berbahaya mengingat selama ini kita mengandalkan pembiayaan asing untuk menutup defisit, baik fiskal maupun neraca pembayaran. Semakin kita bergantung pada modal asing, kian besar potensi gejolak.

Kedua, berlakunya pasar tunggal ASEAN akhir 2015 sangat mungkin menggerus neraca transaksi pembayaran kita. Kalaupun neraca barang kita aman, masalah bisa mengancam dari neraca jasa dan pendapatan. Liberalisasi lalu lintas barang, jasa, investasi, dan tenaga kerja terampil bisa menggerogoti daya saing kita. Semakin banyak tenaga ahli asing bekerja di pasar domestik, semakin besar potensi kerugian pada neraca pendapatan kita. Sejak akhir 2011, besaran defisit pendapatan kita 6 miliar dollar AS-7 miliar dollar AS setiap triwulan. Padahal, pada periode 2004-2007, besaran defisit pendapatan hanya 2 miliar dollar AS-3 miliar dollar AS. Sejak dulu, besaran defisit neraca jasa kita konsisten pada kisaran 2 miliar dollar AS-3 miliar dollar AS.

Dari kompleksitas itu, hal paling dinantikan hari-hari ini adalah komposisi kabinet. Pasar sempat kecewa terhadap konfigurasi pemilu yang tidak menghadirkan kekuatan politik dominan. Mereka khawatir kemampuan pemerintah nanti menjalankan kebijakan terganggu oleh dukungan politik yang rendah. Sentimen ini bisa makin buruk jika komposisi kabinet yang akan segera keluar tak menunjukkan dimensi teknokrasi. Sudah lemah secara politis, tak kompeten pula.

Kita merindukan sebuah pemerintahan yang kompeten, profesional, dan menjunjung tinggi transparansi serta berpihak pada kepentingan rakyat. Semua tuntutan itu membutuhkan kemampuan teknokrasi tinggi dan kepiawaian para politisi melakukan advokasi. Mari kita dorong kabinet profesional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar