Pengaruh
Sosok dalam Pilpres
Fachry
Ali ; Salah Satu Pendiri
Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha (Lespeu) Indonesia
|
KOMPAS,
26 Mei 2014
JUDUL berita The
Jakarta Post (21/5/2014), ”Prabowo-Hatta
Officially in the Ring”, ―setelah keduanya mendaftarkan diri sebagai
calon presiden-calon wakil presiden, tampak pas.
Dengan
menerjemahkan ring sebagai ”arena pertandingan”, pertarungan politik
memperebutkan posisi presiden dan wakil presiden RI 2014 ini dimulai. Sebab,
sehari sebelumnya, Joko Widodo-Jusuf Kalla melakukan hal yang sama. Hari-hari
berikutnya, hingga 9 Juli, sebagian besar energi politik dan perhatian publik
akan tertumpah pada ”pertarungan” ini.
Modal ketokohan
Pertanyaannya,
apa yang jadi penggerak utama pertarungan ini? Dalam spekulasi saya, peranan
partai-partai politik kian menyurut dan kekosongan itu diisi pengaruh
tokoh-tokoh besar di dua koalisi capres Jokowi dan Prabowo. Dengan hipotesis
ini, naik-turunnya peluang kubu masing-masing bukan saja ditentukan oleh
pergeseran dukungan tokoh-tokoh tersebut, juga berpotensi mereduksi peran
parpol dalam sebuah koalisi ketika tokoh-tokoh pendukungnya bergeser ke kubu
berbeda.
Megawati
(bersama putrinya, Puan Maharani) jelas pribadi utama yang mengalirkan
pengaruh konstruktifnya koalisi PDI-P, Nasdem, PKB, dan Hanura. Dengan
sedikit deviasi, ukuran pengaruh Megawati dalam mendulang suara dukungan
terhadap pasangan ini sekitar 10% dari total suara pemilu legislatif yang
diperoleh PDI-P. Sisanya dari dua pihak: hasil kerja lapangan para calon
anggota legislatif dan ”efek-Jokowi”. Dilihat dari sini, setidaknya hampir
19% suara pemilu legislatif (pileg) PDI-P ini akan jadi modal utama koalisi.
Namun,
harus segera ditambahkan bahwa ”efek-Jokowi” dalam pilpres berbeda dengan
pileg. Popularitas Jokowi berpotensi melampaui garis pengaruh partai. Ini
berarti tokoh ini akan digandrungi pemilih lintas partai untuk keuntungan
koalisinya. Kesimpulan sementara, gabungan pengaruh Megawati, Puan, dan
”efek-Jokowi” akan mendulang suara lebih banyak daripada yang diperoleh pada
periode pileg. Ini terutama terjadi di dalam masyarakat Jawa, mayoritas
penduduk Indonesia.
Paling
menarik adalah masuknya Jusuf Kalla ke dalam koalisi ini. Secara harfiah,
sumbangan Kalla akan sangat terlihat pada dukungan masyarakat bukan Jawa,
terutama Indonesia timur, Sumatera Barat, dan Aceh. Ketiga kelompok
masyarakat ini punya hubungan rasional-emosional dengan Kalla. Tetapi, peran
Kalla yang ”terbesar” adalah kemampuannya mereduksi pengaruh Golkar dalam
koalisi Prabowo.
Kehadiran
Surya Paloh dalam koalisi Jokowi harus juga diperhitungkan. Selain telah
mengukir sejarah karena dia adalah satu-satunya tokoh bukan Jawa yang
berhasil membangun partai nasional (Nasdem), Paloh punya dua senjata ampuh:
Partai Nasdem dan gabungan MetroTV- Media Indonesia sebagai corong media
massa. Dengan senjata ini, sumbangan Paloh akan sangat signifikan bagi kubu
Jokowi.
Mirip
dengan pengaruh Megawati, posisi Prabowo jelas sangat dominan dalam
koalisinya. Prabowo berjasa menghimpun sekitar 10% dari hampir 12% perolehan
Gerindra. Dengan demikian, modal utama koalisi ini adalah sejumlah lebih 11
persen suara pileg bagi partainya.
Hal yang
agak pelik melihat pengaruh cawapres Hatta Rajasa di dalam koalisi ini.
Dengan melihat fakta yang berkembang, pengaruh Hatta jelas jauh di bawah
Kalla. Kecuali mungkin di Sumatera Selatan. Sementara ini kita tidak melihat
kelompok-kelompok masyarakat lain mempertautkan hubungan emosional dan
kultural dengan Hatta.
Apakah
tokoh ini mampu mengais dukungan kaum profesional kota? Saya tak mampu
menjawabnya. Hatta mungkin bisa dikaitkan dengan 7% suara PAN dalam pileg.
Jika, benar, di mana sumbangan caleg dan Amien Rais? Bukankah pengaruh Amien
Rais jauh melampaui Hatta?
Maka,
satu-satunya yang membuat posisi Hatta ”istimewa” adalah potensi dukungan
Susilo Bambang Yudhoyono. Sebagai besan, SBY tentu terkait dengan Hatta
secara emosional. Pertanyaannya, apakah magnitude
pengaruh SBY identik dengan jumlah suara Partai Demokrat dalam pileg lalu?
Modal hasil pileg
Akan
tetapi, koalisi Prabowo ”diuntungkan” dengan bergabungnya tokoh musik Rhoma
Irama dan Mahfud MD ke dalamnya. Kedua tokoh ini telah mengangkat perolehan
suara pileg PKB dari sekitar 4% pada Pemilu 2009 menjadi lebih dari 9% pada
2014. Dengan kata lain, penggabungan Rhoma Irama dan Mahfud ke koalisi
Prabowo telah mereduksi pengaruh PKB di dalam koalisi Jokowi. Keduanya,
bersama dengan partai-partai Islam, seperti PPP dan PKS, dengan demikian,
berpotensi membangkitkan ”sentimen politik Islam” bagi keuntungan koalisi
Prabowo.
Juga
kehadiran Aburizal Bakrie adalah ”berkah” bagi koalisi Prabowo. Meski secara
pribadi Aburizal tak mampu mengalirkan pengaruh politik ke tengah- tengah
masyarakat, tokoh pengusaha sukses ini mempunyai dua senjata ”ampuh” dalam
dunia politik: keresmian kepemimpinan dalam Golkar dan TVOne. Meski tak
maksimal, keresmian kepemimpinannya dalam partai itu berpotensi memberikan
sumbangan tertentu kepada koalisi Prabowo. Terutama jika digabungkan dengan
efek pemberitaan TVOne.
Selebihnya,
kita tidak melihat insentif-insentif lain yang membuat terjadinya preferensi
masif dalam meraih dukungan masing-masing koalisi ini. Posisi Hanura dalam
koalisi Jokowi, untuk sementara, hanya diukur dari perolehan pileg partai
itu. Juga posisi PPP dan PKS dalam koalisi Prabowo hanya akan terdeteksi pada
suara pileg yang mereka peroleh. Ketiga partai terakhir ini tidak memiliki
tokoh dengan pengaruh pribadi yang menonjol dalam dunia politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar