Isra
Mikraj di Tahun Politik
Ilham
Kadir ; Pengurus KPPSI Pusat,
Ketua Lembaga Penelitian MIUMI Sulsel
|
KORAN
SINDO, 27 Mei 2014
Ditinjau
dari segi bahasa, lafaz Isra berakar dari kata, asra’-yusri’- Isra , berarti perjalanan di malam hari. Dari sudut
morfologi, Isra berakar dari kata ‘sara’, atau berjalan. Misalnya, Man sara ‘ala al-darbi washala .
Siapa
yang berjalan pada jalannya, akan sampai tujuan. Namun, penggunaan diksi
dalam bahasa Arab tidak bisa sembarangan, kata ‘berjalan’ memiliki banyak
makna, tergantung setting waktunya.
Kata, ghadara, untuk berangkat di
pagi hari, raha , untuk sore hari,
dan sara di malam hari. Dalam
segala suasana, dapat dipakai kata masya,
zahaba, dan inthalaqa. Dalam
bahasa Indonesia, semua bermakna sama, bepergian
atau perjalanan.
Perbedaan-perbedaan
itu hanya dapat diketahui bagi mereka yang memiliki ‘dzauq‘ bahasa Arab yang dalam. Karena itu, siapa pun yang hendak
memahami Alquran dan As-Sunnah secara sempurna harus memiliki dzauq . Itu semua dapat dimiliki
dengan telaten mendalami ilmu-ilmu bahasa Arab yang meliputi, Nahwu, Sharaf, Bayan, Badi’, Ma’ani (Balaghah), hingga ‘Arudh, wal-Qafiyah.
Dari
segi istilah, Isra adalah perjalanan spiritual Nabi Muhammad dari
Masjidilharam Mekkah ke Masjidilaqsha Yerusalem dilakukan pada malam hari
yang diperkirakan jatuh pada tanggal 27 Rajab. Mikraj, dari segi bahasa, adalah tangga naik. Asal katanya, ‘araja-ya’ruju-mi’araja-ya’rujumiraj,
disebut juga sebagai ismul-alah,
atau nama alat yang dipakai untuk naik. Secara istilah, bermakna naiknya
Rasulullah bersama Malaikat Jibril dari Baitul Maqdis Yerusalem ke langit
teratas, Sidratul Muntaha ,
menerima langsung perintah salat dari Allah.
Dalam
perjalanan spiritual tersebut, baik Isra maupun Mikraj terdapat banyak
kejadian yang disampaikan Nabi sendiri, layak menjadi pelajaran bagi umat
Islam. Apa saja itu? Kita lihat. Ibnu Hisyam, sebagaimana dikutip oleh Haekal
dalam Hayatu Muhammad (1972) menceritakan riwayat perjalanan Nabi dalam
peristiwa Mikraj, di langit pertama, setelah berjumpa dengan Nabi Adam, Rasul
berkisah; Kemudian kulihat orang-orang bermoncong seperti moncong unta,
tangan mereka memegang segumpal api seperti batu-batu, lalu dilemparkan ke
dalam mulut merekahinggakeluarmelaluidubur.
Aku
bertanya, siapa mereka itu, Jibril? Mereka yang memakanhartaanakyatimsecara
tidak sah, jawab Jibril. Kemudian–lanjut Nabi–kulihat orang-orang dengan
perut yang belum pernah kulihat, dengan cara keluarga Firaun menyeberangi
mereka seperti unta terkena penyakit di kepalanya, tatkala dibawa ke dalam
api.
Mereka
diinjak-injak dan tak dapat beranjak dari tempat. Aku bertanya, siapa mereka
itu, Jibril? Mereka itu tukang-tukang riba, jawabnya. Kemudian kulihat
orangorang di hadapan mereka ada daging yang empuk dan baik, di sampingnya
ada pula daging yang buruk dan busuk. Mereka makan yang buruk dan busuk dan
meninggalkan yang empuk dan baik. Siapakah mereka itu, Jibril? Tanya Nabi.
Mereka
adalah orang-orang yang meninggalkan wanita yang dihalalkan Tuhan (istri) dan
mencari wanita-wanita yang diharamkan, jawabnya. Kemudian, aku melihat
wanita-wanita yang digantungkan pada buah dadanya. Lalu aku bertanya,
siapakah mereka itu Jibril? Mereka itu wanita yang memasukkan bukan dari
keluarga mereka (selingkuh). Lalu aku–lanjut Nabi–dibawa ke surga.
Di sana
kulihat seorang budak perempuan, bibirnya merah. Kutanya dia, kepunyaan siapakah
Engkau? Nabi sangat tertarik melihatnya, Aku kepunyaan Zaid bin Haritsa,
jawabnya. Nabi pun memberi selamat kepada Zaid. Setelah menerima perintah
salat sambil menyaksikan peristiwa- peristiwa menakjubkan di atas, Nabi pun
turun ke bumi, menyampaikan apa yang dialami, diperintahkan, dan disaksikan
oleh dirinya sendiri, dalam durasi satu malam.
Ketika
peristiwa besar itu disampaikan pada kaumnya di Masjidilharam, ia pun
dikerumuni segenap penduduk Mekkah. Semua yang hadir menyangsikan. Sederhana
saja alasannya, perjalanan pulang-pergi Mekkah-Baitul Maqdis dengan normal
adalah dua bulan. Bagaimana mungkin Muhammad menempuh dalam durasi satu
malam? Tidak sedikit yang sudah memeluk Islam, lalu kembali murtad, dan
mendatangi Abu Bakar, memberi keterangan tentang berita heboh yang dibawa
Muhammad.
Kalian
berdusta, kata Abu Bakar. Sungguh, dia sekarang di masjid sedang berbicara
dengan orang banyak, jawab si pembawa berita. Kalaupun itu yang dikatakan,
pasti dia bicara yang benar, dia mengatakan padaku, ada berita dari Tuhan,
dari langit ke bumi, di waktu siang atau malam. Aku percaya, ini lebih dari
yang kamu herankan, kata Abu bakar.
Ia lalu
mendatangi Nabi, mendengarkan mendeskripsikan suasana Baitul Maqdis. Abu
Bakar, sudah pernah berkunjung ke kota itu dan tahu persis gambaran masjid
tersebut. Selesai Nabi berbicara, Abu Bakar berkata, Rasulullah, saya
percaya! Sejak saat itu Nabi memanggil Abu Bakar dengan gelar ‘Ash-Shiddiq’.
Paparan
di atas mengantarkan kita pada beberapa kesimpulan: bahaya riba, awas korupsi
harta anak yatim, penyakit sosial meliputi selingkuh dan perzinaan, ketaatan
pada Rasulullah dengan cara mencintai pada diri pribadi dan selalu terdepan
dalam membenarkan sabda dan ajarannya. Lalu apa relasinya dengan tahun
politik? Kita liat.
Melakukan
kezaliman dengan menjarah hak anak yatim, piatu, fakir, miskin, dan anakanak
terlantar adalah fenomena umum di negeri ini. Hakhak mereka terabaikan,
keberpihakan pemerintah pada golongan mustad’afin belum terlihat serius.
Sesekali disambangi jika ada udang di balik batu, terutama pada saat-saat
pilkada atau pemilu.
Peristiwa
Isra Mikraj mengajarkan agar tidak mengabaikan hak anak yatimpiatu, mendidik
mereka sampai mampu berdikari. Ini adalah bagian dari tugas pemerintah dan
orang-orang yang dikaruniai kelebihan rezeki dan ilmu. Dari sudut ekonomi,
ribawi adalah sistem yang sedang dipraktikkan bangsa Ini. Keuangan syariah hanya
mendapat sekitar 5% pangsa pasar dari total nasabah yang ada di negeri
berpenduduk muslim terbesar di dunia, selebihnya masih konvensional dan penuh
unsur riba.
Itu
artinya, riba telah menjadi denyut nadi perekonomian di Indonesia. Kurangnya
perhatian pemerintah pada keuangan syariah menjadi salah satu penyebabnya, di
samping rendahnya pemahaman masyarakat terkait bahaya riba. Kendati riba
bertingkat-tingkat, namun setidaknya ada dua jenis riba yang harus dihindari,
yaitu adanya unsur zhulm, atau kezaliman,
dan adh’afan mudha’afan, bunga yang berlipat ganda.
Konsep zhulm dalam masalah utangpiutang kerap
mendera nasabah bank pada umumnya, betapa tidak, orang yang mengagunkan
rumahnya, jika telah jatuh tempo, tanpa tenggang rasa mengusir si pemilik rumah
tanpa mau tahu alasannya, setali tiga uang dengan konsep ‘berlipat ganda’.
Lihatlah mereka yang kredit rumah di bank, jika berjalan tahunan, maka
nominal uang dikembalikan akan berlipat ganda.
Tidak
jauh beda dengan rentenir. Sedangkan, problem lain, yang cukup rumit ialah
mewabahnya penyakit selingkuh. Fenomena selingkuh telah menjadi kebiasaan
umum. Bahkan seorang artis tenar, dengan bangganya menyatakan kehamilannya di
depan umum akibat perbuatan zinanya dari lelaki yang bukan suaminya.
Demikian
pula, seorang pengacara sekaligus selebritas dengan bangganya menggandeng
istri orang lain di depan umum, tanpa merasa berdosa. Pesan Isra Mikraj,
bahwa perbuatan selingkuh akan mendatangkan siksa di hari kemudian dapat
menjadi renungan untuk segenap penghuni bumi, lebih khusus bangsa Indonesia,
tak ada ajaran dan peraturan mana pun yang melegalkan perselingkuhan, hewan
sejenis tarsius saja sangat setia pada pasangannya.
Problem
kepemimpinan juga menjadi masalah besar umat Islam dan lebih khusus bangsa
Indonesia. Tidak adanya hubungan harmonis antara pemimpin dan rakyat.
Pemimpin seakan dilepas bebas untuk melakukan kebijakan tanpa bijaksana, lalu
bertentangan dengan keinginan dan kebutuhan rakyat.
Isra
Mikraj yang bertepatan dengan tahun politik kali ini, sebagai momentum
memilih pemimpin yang dapat mewujudkan cita-cita bangsa yang mandiri, bebas
riba, jujur dalam perbuatan dan perkataan, mereduksi maksiat, dan memuliakan
para anak yatim, fakir miskin, dan rakyat jelata dengan menyediakan
penghidupan lebih layak. Itulah pemimpin Indonesia hebat dambaan umat harapan
bangsa. Wallahu A’lam! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar