Pembetonan
Jalan Pantura
Tasroh ;
Pegiat Banyumas Policy Watch,
Alumnus Ritsumeikan
Asia Pacific University Jepang
|
SUARA
MERDEKA, 26 Mei 2014
Kementerian
PU memutuskan mulai tahun anggaran 2014-2015, pembuatan jalan atau proyek
infrastruktur di pantura Jawa diubah dengan pembetonan, bukan lagi
pengaspalan. Kementerian itu meyakini cara itu bisa mengakhiri kemelut
berkepanjangan berkait kerusakan jalan kendati anggaran untuk memperbaiki
terus meningkat (SM, 4/5/14).
Upaya
Kementerian PU yang didukung Pemprov Jateng patut diapresiasi. Namun pemangku
kepentingan juga perlu memahami bahwa kerusakan jalan di pantura Jateng
sebenarnya disebabkan oleh banyak faktor. Tidak saja karena materialnya jelek
atau tidak sesuai dengan spesifikasi tapi teknologi yang digunakan pun masih
tergolong ’’primitif’’.
Ironisnya, pejabat Kementerian
PU dan Pemprov Jateng masih terus menyalahkan tonase berlebih angkutan barang
sebagai penyebab utama. Bahkan pemerintah provinsi kemudian memutuskan
memanfatkan jembatan timbang untuk mengendalikan muatan angkutan barang.
Persoalannya, keberadaan 16 jembatan timbang di Jateng melahirkan beragam
ekses ketika dibebani target sebagai sumber PAD.
Sebenarnya, berapa pun berat
muatan dan padatnya kendaraan yang melewati jalur pantura Jateng, jika
konstruksi dan struktur jalan dibuat dengan teknologi terkini dan dengan
memanfaatkan anggaran secara maksimal, jalan itu mustahil cepat rusak. Saya
membandingkan
dengan jalan-jalan di Jepang yang semuanya dibangun dengan teknologi
tinggi.
Semua
jalan di Jepang bisa dan boleh dilalui oleh truk besar, berapa pun berat
muatan yang diangkut. Pemerintah Jepang meyakini bahwa memanfaatkan jalan
merupakan hak asasi warga negara dalam berkendara mengingat mereka sudah
membayar pajak. Hasil dari pembayaran pajak itu kemudian digunakan antara
lain untuk membangun dan memperbaiki jalan.
Paradigma jalan
’’dikaveling-kaveling’’ menjadi kewenangan desa, kecamatan, kabupaten/kota/provinsi
atau negara seperti dianut Indonesia, mendasarkan amanat UU, harus
direformasi. Pemerintah hendaknya menyadari sudah jadi kewajibannya untuk membangun
dan merawat jalan tanpa diskriminasi sebagai konsekuensi hak rakyat yang
membayar pajak.
Pengawasan Bersama
Mendasarkan
alasan itu, meskipun kementerian dan pemprov sudah menyiapkan anggaran dan
desain, pengerjaan proyek tetap memerlukan pengawasan ekstraketat. Peringatan
itu mendasarkan pada beberapa alasan. Pertama; dana proyek infrastruktur kurang
dimanfaatkan untuk meningkatkan mutu proyek tapi justru banyak diselewengkan.
Kedua;
sebagian dana proyek merupakan utang luar negeri. Sebanyak 55% dari dana
proyek infrastruktur 2013 sebesar Rp 399 triliun (lebih tinggi dari target
investasi 2013 sebesar Rp 390,01 triliun) merupakan talangan berbagai pihak,
termasuk OCDC yang dikendalikan pemerintah Jepang dan pinjaman Bank Dunia
yang dikendalikan Eropa dan AS. Tragisnya, pemanfaatan dana itu belum
memenuhi kualifikasi negara donor, khususnya terkait mutu proyek.
Data
laporan BPKP (2013) bidang infrastruktur menyebutkan hanya 25% dari 9.235
proyek infrastruktur di Jawa-Sumatra yang memenuhi spesifikasi standar mutu.
Itu artinya mutu proyek tidak sesuai dengan harga dan dana yang dikeluarkan pemerintah.
Ketiga; banyak proyek tak melibatkan teknologi terkini. Akibatnya, jalan dan
jembatan cepat rusak. Selain perbaikan tidak maksimal, 80% bahu jalan tak
memiliki saluran/drainase sehingga selalu tergenang pada musim hujan.
Hal itu
ikut mempercepat kerusakan jalan ( Dr Sartono, Biang Kerok Kerusakan Jalan,
2007:231). Perlu kejujuran, kecermatan, ketelitian, dan keberlanjutan
eksekusi pembangunan infrastruktur, serta harus diawasi sejak perencanaan,
pelaksanaan hingga evaluasi proyek. Upaya itu untuk menghindari praktik busuk
kolusi dana infrastruktur. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar