Membangun
Kota Kepulauan
Nirwono Joga ; Koordinator Gerakan
Indonesia Menghijau
|
TEMPO.CO,
28 Mei 2014
Itu
ajakan Ban Ki-moon dalam memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia (5 Juni)
yang mengambil tema "Raise Your
Voice, Not The Sea Level", yang bertujuan mendorong setiap
pemerintah, terutama negara kepulauan seperti Indonesia, memberi perhatian
lebih serius terhadap keterancaman kepulauan seiring dengan kenaikan
permukaan air laut akibat pemanasan global.
Perserikatan
Bangsa-Bangsa melaporkan bahwa permukaan air dunia naik berkisar 10-25
sentimeter dalam satu abad terakhir. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber
Daya Laut dan Pesisir Kementerian Kelautan dan Perikanan (2014) mencatat
bahwa hampir seluruh pesisir di Indonesia mengalami kenaikan permukaan laut
sedang hingga tinggi sebesar 0,73-0,76 sentimeter per tahun dan akan terus
meningkat seiring dengan penurunan muka tanah. Jika hal ini tak segera
diatasi, pada 25 tahun mendatang, diperkirakan kenaikan muka air laut hingga
19 cm per tahun.
Indonesia
adalah negeri kepulauan yang memiliki sekitar 17.500 pulau besar dan kecil.
Ironisnya, kata Nusantara yang menandakan negeri kita negeri kepulauan justru
tidak pernah diterjemahkan dalam kebijakan pembangunan kota.
Kini,
440 dari total 495 kota/kabupaten di Indonesia atau lebih rinci lagi 47 kota
(5 kota metropolitan, 5 kota besar, 32 kota sedang, 5 kota kecil) berada di
pesisir. Namun penataan ruang wilayah dan kota pesisir masih berorientasi ke
daratan, menjadikan aspek kebudayaan bahari terpinggirkan. Pengembangan yang
berorientasi maritim belum diadopsi dalam kebijakan penataan ruang, baik di
skala lokal maupun nasional.
Pembangunan
kota pesisir yang tak berkelanjutan berakibat kota kebanjiran pada musim
hujan, kekeringan dan krisis air bersih pada musim kemarau, diperparah
penyedotan air tanah berlebihan yang berdampak pada penurunan muka tanah.
Pemanasan
global yang melelehkan es di Kutub Utara dan Kutub Selatan secara perlahan
menaikkan permukaan air laut yang mengancam langsung kawasan pesisir kota.
Kawasan pantai justru menjadi ujung tempat pembuangan sampah dan limbah kota,
serta mengakibatkan kematian ikan-ikan dan organisme yang hidup di pesisir
dan pantai.
Kehancuran
ekologis pantai ditandai dengan kegiatan reklamasi pantai dan menyusutnya
hutan mangrove yang diganti permukiman, kawasan industri, dan pusat
perniagaan. Kenaikan tinggi muka laut menyebabkan majunya garis pantai ke
daratan, sehingga dermaga pelabuhan dan penahan gelombang, perkampungan
nelayan, serta kawasan kota tua rentan tergerus gelombang abrasi pantai,
intrusi air laut, dan limpasan air laut (rob), dan diperparah oleh penurunan
muka tanah.
Kita
mendesak pemerintahan baru berkomitmen mengembangkan orientasi pembangunan ke
laut dengan kebijakan dan strategi bahari yang integral. Corak politik bahari
adalah politik yang menyatukan, bukan memisahkan daratan dengan air.
Pemerintah
harus mengembangkan transportasi laut dan udara dengan jaringan pelayaran
serta penerbangan andal dan canggih, pemanfaatan serta pelestarian sumber
daya hayati dan nabati dari laut, wawasan lingkungan maritim, serta
penelitian dan pengembangan ilmu dan industri kelautan.
Kota
pesisir dikembangkan sebagai pusat perdagangan, jasa industri, dan
pariwisata, sekaligus tanggap bencana dalam mengantisipasi, memitigasi, serta
beradaptasi terhadap perubahan iklim, sesuai dengan amanat UU Nomor 24 Tahun
2007 tentang Penanggulangan Bencana, UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang, UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil, serta UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan
Perlindungan Lingkungan Hidup.
Mitigasi
bencana (gempa dan tsunami) menjadi arus utama pembangunan kota pesisir di
Indonesia. Masyarakat dibekali pengetahuan kerentanan bencana di daerahnya
dan berperilaku sadar serta tanggap bencana. Sehingga, jika terjadi gempa dan
diikuti isu tsunami, masyarakat sudah siap siaga dan tidak mudah panik, tahu
apa dan bagaimana, serta ke mana mereka harus berlari dan berlindung
menyelamatkan diri.
Untuk
meningkatkan kesiapsiagaan terhadap bencana diperlukan penguatan kapasitas
pemerintah daerah. Pengarusutamaan pengurangan risiko bencana harus dilakukan
sejak perencanaan dan penganggaran pembangunan di daerah. Peran serta
masyarakat mutlak diperlukan melalui kegiatan masyarakat untuk menjaga
kelestarian lingkungan yang akan meningkatkan taraf hidup (dampak ekonomi)
bagi masyarakat pesisir.
Pengembangan
kota kepulauan didasarkan pada pemanfaatan lahan yang memiliki penghubung
antara kawasan daratan, laut, udara, dan pulau, konservasi kawasan lindung
pulau, penataan ruang publik pada area pantai, serta peletakan bangunan dan
hunian berada di dataran yang lebih tinggi. Adapun keberadaan hutan bakau
sebagai ruang terbuka hijau yang mengelilingi pulau secara luas dan memanjang
berfungsi meredam abrasi pantai, mencegah intrusi air laut, menghalau rob,
melestarikan keanekaragaman hayati, sekaligus menjaga ekosistem mangrove dan
pantai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar