Berkorban
demi BBM
Arif Punto Utomo ;
Direktur
Indostrategic Economic Intelligence
|
REPUBLIKA,
26 Mei 2014
Ketidakberdayaan pemerintah
terus memakan korban. Kali ini, karena tidak mampu mengatur pemakaian bahan
bakar minyak (BBM), anggaran kementerian dipangkas. Tidak main-main,
pemangkasannya sampai Rp 100 triliun. Tujuannya, untuk mengompensasi anggaran
subsidi energi yang membengkak, Rp 110 triliun!
Tidak masalah kalau yang
dipangkas anggaran yang memboroskan uang negara, seperti perjalanan dinas,
pembangunan gedung pemerintah, honorarium, biaya rapat dan konsinyasi,
pengadaan kendaraan operasional, bantuan sosial, dan iklan. Menjadi problem
ketika dana infrastuktur juga diperas, terbukti Kementerian PU dipotong Rp 23
triliun, dan hampir pasti ada dana infrastruktur yang dikebiri.
Tidak itu saja, karena berbagai
asumsi makro yang tidak tembus, seperti pertumbuhan ekonomi yang ditarget
enam persen hanya tercapai 5,5 persen, konsekuensinya pendapatan turun dari
target Rp 1.667 triliun menjadi Rp 1.597 triliun. Akibatnya, defisit anggaran
yang semestinya 1,69 persen dari produk domestik bruto (PDB) naik menembus
aturan yang ditetapkan, yakni tiga persen.
Selama ini, APBN kita memang tersandera
subsidi BBM. Pada 2014 ini subsidi energi melambung dari Rp 282 triliun
menjadi Rp 392,1 triliun, terdiri atas subsidi BBM Rp 285 triliun dan subsidi
listrik Rp 107,1 triliun dengan catatan plafon subsidi 48 juta kiloliter
tidak terlampaui. Pertamina memperkirakan, pemakaian mencapai 48,5 juta yang
berarti subsidi akan semakin besar.
Siapa yang menanggung subsidi?
Rakyat Indonesia. Siapa yang menikmati subsidi? Kelas menengah atas. Jadi,
rakyat harus berkorban untuk kelas menengah, masyarakat konsumtif yang tumbuh
luar biasa. Dana APBN yang seharusnya bisa dialokasikan untuk kesejahteraan digeser
untuk subsidi yang salah sasaran.
Pemerintah sadar akan kondisi
tersebut. Mereka paham produksi minyak Indonesia hanya 818 ribu barel per hari
(dari target 870 ribu), sementara pemakaian 1,5 juta barel per hari. Itu
berarti harus mengimpor yang nilainya mencapai 150 juta dolar atau Rp 1,7
triliun per hari! Impor minyak inilah yang turut menjadikan defisit transaksi
berjalan mencapai 2,06 persen PDB.
Tidak ada langkah konkret untuk
mengatasinya. Ada aturan bahwa mobil dinas pemerintah dan BUMN harus meng gunakan
BBM nonsubsidi. Kenyataannya, selain penghematan tidak seberapa, banyak mobil
dinas dengan nomor pribadi dan tanpa logo tetap membeli BBM bersubsidi.
Lantas, ada program radio frequency identification (RFID)
untuk membatasi penggunaan BBM. Rencananya, alat itu dipasang di 100 juta
kendaraan dan selesai pada pertengahan 2014. Tetapi, belum ada setengah
persennya sudah mandeg tanpa ada evaluasi.
Gagal di RFID, pemerintah akan
mengendalikan BBM dengan melarang penjualan BBM pada akhir pekan. Badan Pengatur
Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) memperkirakan penghematan sebesar Rp
1,4 triliun. Yakinlah bahwa program ini pun akan mangkrak di tengah jalan.
Pemerintah tidak serius, hanya main-main, biar seolah-olah bekerja memikirkan
BBM.
Murahnya energi membuat
Indonesia boros energi. Ini terlihat dari indeks elastisitas energi yang pada
2012 lalu mencapai 1,63, sementara Thailand dan Singapura hanya 1,4 dan 1,1.
Bahkan, negara maju seperti Jepang, Amerika, dan beberapa negara Eropa hanya
0,1-0,6. Indeks elastisitas adalah perbandingan laju pertumbuhan konsumsi
energi dibanding laju pertumbuhan ekonomi.
Ekonomi kita tidak boleh
tersandera BBM. Jangan mengorbankan segalanya untuk menyubsidi energi.
Pemerintah sudah memiliki pengalaman ketika mengonversi minyak tanah ke gas
dan berhasil. Triliunan rupiah diselamatkan dari subsidi minyak tanah.
Langkah itu harus bisa dilaksanakan dalam BBM. Konversikan BBM ke bahan bakar gas
(BBG).
Thailand yang sejak 2003 merancang dan
merealisasikan konversi BBM ke gas telah sukses. Awalnya, pemerintah bersama
perusahaan minyak negara memberikan diskon besar harga konverter kendaraan
umum dan taksi, berikutnya kendaraan pribadi. Kini, hampir seluruh kendaraan
memakai gas karena selisih harga gas dengan BBM sangat besar.
Langkah lain adalah memperbanyak
produksi biofuel. Pemerintah setengah hati menjalankan program biofuel ini. Harga
BBM yang terlampau murah juga menjadi penyebab tidak majunya pengembangan dan
produksi biofuel. Padahal, kita punya potensi besar, salah satunya dari
sawit. Untuk mendukung program konversi tersebut, tidak ada jalan selain menaikkan
harga BBM. Jika harga BBM tetap rendah, konversi ke gas tidak jalan, begitu
juga pengembangan biofuel.
Kalau ingin ada subsidi, berikan
subsidi tetap, misalnya, Rp 2.000 per liter. Jadi, berapapun harga
keekonomian BBM, untuk BBM subsidi dikenakan selisih sebesar itu. Misalnya,
harga keekonomian Rp 9.000 per liter, harga subsidi Rp 7.000. Jika harga
keekonomian Rp 10.500, harga subsidi naik Rp 8.500.
Penggunaan BBM untuk listrik
juga perlu diturunkan. Saat ini, persentase BBM untuk listrik 9,7 persen
dengan kebutuhan 6,4 juta kiloliter per tahun. Sementara, kita masih memiliki
sumber pembangkit lain yang bisa dioptimalkan, yakni batu bara, geotermal,
dan air. Batu bara cadangan kita 12 miliar ton, potensi geotermal untuk
dijadikan listrik 28 GW (40 persen dunia), air juga melimpah. Indonesia
diaugerahi sumber daya alam untuk energi yang melimpah. Tetapi, kita menyia-nyiakannya.
Rakyat justru termiskinkan karena pemerintah tidak mampu mengelola dengan
benar.
Kita berharap, presiden terpilih
pada 9 Juli bukan hanya paham bahwa subsidi BBM menguras dana negara, melainkan
juga melakukan terobosan untuk mengatasinya. Rakyat tidak boleh lagi dikorbankan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar