Godaan
Politik Para Rohaniwan
Haryadi Baskoro ;
Peneliti kebudayaan,
Pemimpin 3H Advocates
& Consultants Jogjakarta
|
JAWA
POS, 29 Mei 2014
HARI
Raya Kenaikan Isa Al Masih (Yesus Kristus) bagi umat Kristiani jatuh pada
Kamis 29 Mei 2014, pada tahun politik yang penuh cobaan. Dari perspektif
kepemimpinan, kenaikan Sang Isa memberikan teladan tentang kepemimpinan
rohani yang teruji, yang menang atas godaan-godaan politik yang menggiurkan.
Adapun
bagi umat Kristiani, kenaikan Isa tidak bisa dilepaskan dari serangkaian
karya ilahi Tuhan atas umat manusia. Menurut keyakinan Kristiani, Isa atau
Yesus adalah Tuhan yang menjelma menjadi manusia. Setelah dewasa, Ia
disalibkan untuk menebus dosa manusia. Yesus pun mati, namun bangkit lagi dan
kemudian naik (moksa) ke surga
-kenaikan Isa Al Masih. Kelak Ia akan datang kembali sebagai Hakim atas semua
umat manusia.
Dalam
konteks ketokohan rohani secara universal, perjalanan hidup dan kepemimpinan
Isa memberikan gambaran betapa beratnya godaan politik itu. Sebagai pemimpin
rohani, Isa harus ''menyalibkan diri'' dari kepentingan, obsesi, dan ambisi
politik di tengah tawaran serta peluang politik yang luar biasa. Demikian
juga pada setiap rohaniwan, konsistensi pada panggilan selalu menuntut
pengorbanan politik.
Tawaran Politik
Selama
hidup dan melayani di muka bumi, Isa tampil menjadi sosok pemimpin rohani
yang sangat berpengaruh. Ajaran-ajarannya mengagumkan. Caranya berkhotbah dan
berbicara menakjubkan. Selain itu, pelayanannya senantiasa disertai
keajaiban-keajaiban: orang-orang sakit disembuhkan, mereka yang kerasukan
setan diwaraskan, bahkan orang mati dibangkitkan.
Isa juga
menjadi tokoh prorakyat yang senang ''blusukan''.
Orang-orang miskin disambangi. Orang-orang yang terpinggir karena dianggap
berdosa atau berpenyakit sehingga dianggap terkutuk disapa dan ditolong. Dia
juga tidak menolak kerumunan orang miskin yang mengekornya. Ribuan orang
diberi makan gratis dengan penuh kasih sayang.
Kehadiran
Sang Isa langsung memikat hati banyak orang. Rakyat mengelu-elukannya sebagai
raja. Segenap penduduk memujanya hingga para elite agama dan politik kala itu
menjadi iri karena merasa popularitasnya tersaingi. Pada konteks inilah banyak
orang yang mengharapkan tampilnya Isa menjadi pemimpin politik.
Selama
hidup dan melayani di bumi, Isa mempunyai segala peluang dan dukungan untuk
berpolitik praktis. Bagi dia, sangat mudah membentuk partai politik. Dua
belas muridnya pun siap menjadi ''tim
sukses''. Massa pengikutnya tidak diragukan lagi. Kompetensi spiritual
dan intelektual Isa sebagai produk pendidikan Yahudi yang saat itu unggul
lebih dari cukup. Apalagi karismanya, musuh-musuh politiknya pun mengakui.
Tetapi,
segenap peluang dan tawaran politik yang menggoda tidak menggeser panggilan
spiritualnya. Tugasnya di bumi tidak untuk menjadi raja, tetapi untuk mati
disalibkan demi menebus dosa manusia. Isa pun taat dalam komitmennya. Meski,
saat tugas salib itu ditunaikan, semua dukungan tercabut. Seluruh murid
meninggalkannya. Rasul Petrus menyangkali dan Yudas mengkhianatinya.
Ketika
akhirnya Isa bangkit dari kubur, godaan politik pun datang lagi sampai saat
Ia moksa naik ke surga. Menjelang kenaikan Isa Al Masih, para murid dan
pengikut masih berharap Yesus menjadi raja secara politik. Namun, Isa tetap
konsisten sampai akhir. Ia pun kembali ke surga dengan rekam jejak yang
bersih dari rupa-rupa kepentingan, obsesi, serta ambisi politik duniawi.
Demikianlah
para rohaniwan, apalagi ketika semakin berprestasi dan punya kedudukan
tinggi, godaan politiknya semakin besar. Ketika massa pendukung banyak, punya
tim yang kuat, ditambah fasilitas berlimpah, amat mudah untuk bermanuver
terjun ke dunia politik. Atau, pemimpin rohani mengalami pergeseran motivasi.
Mereka tidak lagi bekerja di bidang rohani dengan motif melayani Tuhan dan
melayani umat, tetapi dengan motif-motif politis. Karena itu, korupsi,
kolusi, dan nepotisme sering terjadi justru di dalam organisasi atau lembaga
keagamaan.
Kendaraan Politik
Isa Al
Masih dan para rohaniwan berpeluang menjadikan agama sebagai batu loncatan
untuk merebut kekuasaan atau meraup harta-kekayaan. Secara antropologis,
agama mempunyai unsur-unsur sistem kepercayaan (ajaran, ideologi), sistem
sosial (umat), sistem ritual (upacara, ibadah), sistem kejiwaan (emosi
keagamaan), serta sistem infrastruktur (tempat ibadah, sarana-prasarana
ibadah). Kelengkapan sistemis yang kompleks itu sering dimodifikasi menjadi
''mesin politik'' atau bahkan ''mesin uang'' yang canggih. Karena itu, agama
sering menjadi kendaraan politik atau industri yang sangat efektif.
Banyak
rohaniwan yang sejatinya adalah politisi berkedok jubah keagamaan. Sejatinya
mereka tidak fair karena memanfaatkan agama untuk kepentingan kekuasaan bagi
diri sendiri. Mereka memanfaatkan ajaran agama, kitab suci, dan bahkan nama
Tuhan sebagai alat legitimasi.
Rohaniwan
yang terjun dalam politik praktis juga berpotensi memecah belah umat. Seorang
pendeta yang menjadi caleg dari parpol A atau B, misalnya, berpotensi memecah
umatnya sendiri karena gereja bukan ormas yang berbasis dan berorientasi
politik tertentu. Gereja dan negara tidak boleh tumpang tindih. Sebab, gereja
adalah pemerintahan rohani (spiritual
government) dan negara adalah pemerintahan sipil (civil government) yang berbeda domain. Karena itu, jika seorang
pemimpin gereja hendak berpolitik praktis, semestinya dia meninggalkan
jabatan gerejawinya.
Jika
agama menjadi kendaraan politik, kita dengan mudah mempermainkan agama. Sama
seperti Yudas Iskariot yang menjual Yesus. Bagi dia, tidak ada kawan dan
tidak ada lawan yang sejati. Dalam politik hanya ada kepentingan sejati -
kekuasaan dan kekayaan.
Panggilan
pekerjaan sebagai rohaniwan merupakan sebuah tanggung jawab yang besar.
Apalagi ketika umat memujanya bagaikan manusia setengah dewa. Di sinilah
ketulusan dan kemurnian kita diuji. Sebab, godaan-godaan politik akan selalu
datang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar