Selasa, 27 Mei 2014

Menimbang Kebijakan Pendidikan Kejuruan Jokowi

Menimbang Kebijakan Pendidikan Kejuruan Jokowi

Suharti  ;   Lulusan Australian National University (ANU)
-Penekun Kajian Pendidikan; Bekerja di Bappenas
MEDIA INDONESIA,  26 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
KETIKA menghadiri Rapat Pimpinan Nasional Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) pada 13 Mei 2014 di Jakarta, calon presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Joko Widodo menyampaikan usulan kebijakan di berbagai sektor pembangunan, termasuk pendidikan, bila ia terpilih menjadi presiden. Di antara kebijakan penting yang akan diambil ialah meningkatkan jumlah SMK dengan merujuk pengalaman negara-negara industri maju, seperti Jepang, Korea Selatan, dan Jerman.

Diyakini, peningkatan jumlah SMK penting karena sekolah kejuruan memberikan bekal keterampilan dan teknologi bagi para lulusannya, yang diperlukan dunia usaha/dunia industri. Bekal keterampilan dan teknologi dapat membantu para lulusan SMK lebih mudah terserap di pasar kerja. Usulan kebijakan itu perlu ditimbang dengan saksama agar setiap kebijakan pembangunan pendidikan didasarkan pada argumen yang kuat dan merujuk pada hasil-hasil riset dengan data-data yang valid. Artikel ini bermaksud menguji apakah benar kebijakan yang diusulkan Jokowi--capres yang punya probabilitas sangat tinggi untuk memenangi pilpres--punya rujukan kuat dan bersifat evidence-based policy.

Tren penurunan SMK

Negara-negara industri maju seperti Jerman, Jepang, dan Korea Selatan memang acap kali dijadikan kiblat dalam pengembangan pendidikan kejuruan. Sayang, pemahaman mengenai praktik pendidikan kejuruan di negara-negara tersebut tidak selalu benar dan tidak faktual. Korsel memang pernah berencana meningkatkan proporsi siswa sekolah menengah kejuruan menjadi 50%, tetapi target tersebut tidak pernah tercapai. Data UNESCO (1999-2012) memberi gambaran sangat jelas perihal tren penurunan jumlah siswa SMK di sana. Alih-alih mengalami peningkatan, proporsi siswa kejuruan justru terus menurun dari sekitar 37,9% (1999) menjadi hanya sekitar 19,4% (2012).

Pada periode yang sama, proporsi siswa menengah kejuruan di Jerman juga mengalami penurunan signifikan dari 64,6% menjadi 48,3%. Demikian pula di Jepang, proporsi siswa SMK hanya pada kisaran 25,7% (1999) dan menurun menjadi 23,1%(2012). Hal berkebalikan terjadi di Indonesia. Proporsi siswa SMK terhadap siswa SMA/MA meningkat dari 35,8% menjadi 43,3%.

Bila dilihat angka rata-rata jumlah siswa menurut kategori negara--maju dan berkembang-juga tampak gambaran yang berbeda. Pada 2012, proporsi siswa kejuruan di negara maju sekitar 31,1%, sedangkan di negara berkembang berkisar 20,8%. Dengan dukungan industri yang sudah sangat maju sekalipun, ternyata proporsi siswa SMK di negara maju terus mengalami penurunan. Simak data-data berikut. Dari 227 negara yang tercatat dalam data UNESCO, hanya 10 negara yang proporsi siswa SMK-nya di atas 60%, yaitu Austria (76%), Serbia (76%), Bosnia-Herzegovina (75%), Republik Ceko (72%), Kroasia (71%), Slovakia (70%), Belanda (68%), Montenegro (67%), Swiss (65%), Rumania (62%), dan Slovenia (60%). Namun penting dicatat, ke-10 negara tersebut bukan termasuk kategori negara industri maju seperti Jepang, Jerman, dan Korea Selatan. Banyak pihak sering kali keliru memahami praktik pendidikan kejuruan di negara-negara maju, yang berbeda dengan data dan fakta yang ada.

Kondisi SMK di Indonesia

Data Kemendikbud menunjukkan pada 2012 jumlah siswa SMK mencapai 4,2 juta, sedangkan siswa sekolah menengah atas (SMA) dan madrasah aliah (MA) masing-masing sebanyak 4,3 juta dan 1,1 juta. Dari 4,2 juta siswa SMK, 1,58 juta berasal dari sekolah negeri dan 2,61 juta dari sekolah swasta, dengan total lulusan sekitar 1,15 juta per tahun. Data potensi desa (2005-2011) menunjukkan jumlah SMK swasta meningkat dari 3.643 menjadi 6.404 unit, sedangkan SMK negeri hanya meningkat dari 1.437 menjadi 2.526 unit.

Keberadaan sekolah kejuruan selalu dipahami punya kaitan erat dengan perkembangan ekonomi suatu negara. Bagaimana sesungguhnya kontribusi lulusan SMK terhadap perekonomian Indonesia? Berbagai penelitian, Chen (2009) dan Newhouse & Suryadarma (2011), mengonfirmasi tidak cukup kuat argumen untuk mendukung kebijakan ekspansi SMK. Sebabnya, lulusan SMK tidak terbukti punya peluang yang lebih besar untuk diterima di pasar kerja dan tidak pula berpendapatan lebih tinggi dari SMA. Para pelaku industri seperti grup Astra dan Indofood mengakui dunia industri/dunia usaha lebih memilih lulusan SMA ketimbang lulusan SMK. Mereka menilai lulusan SMA lebih mudah beradaptasi dengan perubahan teknologi dan lebih mudah dilatih sesuai dengan kebutuhan pekerjaan di perusahaan dan industri mereka. Para pelaku industri mengungkapkan, ketika menerima tenaga kerja, kemampuan nonteknis (seperti matematika, pemecahan masalah, komunikasi/bahasa) lebih diutamakan ketimbang kemampuan teknis/vokasi.

Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2012 juga mengungkapkan angka pengangguran terbuka lulusan SMK lebih tinggi (9,88%) bila dibandingkan dengan lulusan SMA (9,60%), bahkan tergolong tinggi baik di perdesaan (10,66%) maupun perkotaan (9,60%). Dengan pertimbangan biaya sekolah yang lebih be sar, pendapatan lulusan SMK diharapkan lebih besar daripada pendapatan lulusan SMA. Namun, fakta menunjukkan rata-rata pendapatan bersih lulusan SMK tidak lebih tinggi ketimbang pendapatan lulusan SMA, yakni pada kisaran Rp1,5 juta per bulan. Selain itu, SMK swasta makin menjamur yang umumnya berkualitas rendah sehingga sangat potensial menghasilkan lulusan-lulusan tak berkualitas. Tak mengherankan bila produktivitas mereka pun rendah.

Peningkatan kualitas SMK

Dalam kenyataan, biaya pendidikan kejuruan per siswa jauh lebih mahal jika dibandingkan dengan biaya pendidikan umum. Karena itu, rencana meningkatkan jumlah SMK harus ditimbang dengan sangat hati-hati karena berimplikasi pada peningkatan beban pembiayaan pendidikan secara keseluruhan. Mungkin akan lebih bermanfaat bila kita berupaya meningkatkan kualitas SMK untuk bidang-bidang keterampilan yang diperlukan di semua sektor pembangunan. Maka, pembelajaran di sekolah kejuruan harus berkualitas didukung fasilitas pendidikan yang lengkap, termasuk laboratorium dan workshop sebagai tempat praktikum.

Pun, yang sangat penting pemberian kesempatan magang di industri. Saat ini kegiatan magang sangat sedikit dilakukan industri selain karena keterbatasan fasilitas dan SDM, pelaku industri juga tidak melihat manfaat signifikan yang mereka peroleh dengan memberikan fasilitas magang. Untuk itu, pemerintah perlu memberi insentif--baik finansial maupun nonfonansial -agar industri (kecil dan menengah) dapat menyediakan tempat dan fasilitas magang yang diperlukan siswa-siswa SMK.

Hal yang tidak kalah penting ialah memperkuat kecakapan dan keterampilan lunak, seperti matematika, pemecahan masalah, dan bahasa bagi siswa siswa SMK, yang dinilai masih lemah. Jika kualitas pendidikan kejuruan membaik, kontribusi SMK dengan jumlah lulusan mencapai lebih dari 1 juta orang per tahun--terhadap peningkatan perekonomian menjadi lebih signifikan.

Penguatan litbang

Apabila Indonesia ingin meniru keberhasilan Korea Selatan, Jepang, dan Jerman, hal mendasar yang harus dilakukan ialah penguatan penelitian dan pengembangan (R&D). Anggaran untuk kegiatan R&D di Korea Selatan pada 2010 mencapai sekitar 3,4% terhadap GDP. Angka itu termasuk tiga besar dunia selain Israel (4,3%) dan Finlandia (3,9%). Jumlah peneliti di Korea Selatan pun terbilang sangat banyak, mencapai 5.451 orang per satu juta penduduk. Anggaran R&D di Jepang dan Jerman juga sangat tinggi, berturut-turut mencapai 3,2% dan 2,8%, dengan peneliti sebanyak 5.151 orang dan 3.950 orang per satu juta penduduk.

Bandingkan dengan Indonesia yang hanya mengeluarkan anggaran sekitar 0,08% terhadap GDP (2009), dengan jumlah peneliti hanya sekitar 90 per satu juta penduduk-jauh menurun dari tahun 2000 sebanyak 215. Dengan demikian, kebijakan pendidikan kejuruan lima tahun mendatang seyogianya fokus pada perbaikan kelembagaan SMK serta peningkatan kualitas dan kompetensi lulusannya, sehingga kompetitif di dunia kerja dan adaptif di dunia industri. 
Peningkatan jumlah SMK akan kontraproduktif bila tidak disertai jaminan mutu, terlebih lagi biaya pendidikan kejuruan jauh lebih mahal daripada pendidikan umum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar