Rabu, 28 Mei 2014

Kudeta Berhadapan Pluto-Populisme

Kudeta Berhadapan Pluto-Populisme

Rene L Pattiradjawane  ;   Wartawan Senior Kompas
KOMPAS,  28 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
KUDETA militer di Bangkok di bawah Panglima Angkatan Darat Kerajaan Thailand Jenderal Prayuth Chan-ocha, pekan lalu, berakar panjang dan memiliki sejarah yang dalam. Kudeta militer terakhir di Thailand terjadi tahun 2006 terhadap pemerintahan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra, kakak mantan PM Yingluck Shinawatra yang berseteru dengan Partai Demokrat pimpinan Sekjen Suthep Thaugsuban.

Sekilas kita menganggap kudeta militer kali ini sebagai kebanyakan orang Thai menyebutnya withi haeng chiwit, sebagai jalan hidup (way of life). Kudeta militer Thailand dilaksanakan dan berlindung dibalik Undang-Undang Darurat 1914, membungkam hak-hak esensial rakyat Thailand berdemokrasi.

Apa yang akan terjadi selanjutnya setelah pernyataan kudeta militer ini tak ada yang bisa memperkirakan. Ada kemungkinan kudeta militer berakhir dengan penyelesaian politik komprehensif dan mengembalikan politik demokrasi yang normal. Atau ada agenda kerja politik lain yang akan ditentukan oleh para elite Thailand, bukan rakyat kebanyakan.

Apa pun hasil kudeta ini, tidak sepenuhnya berada di tangan Jenderal Prayuth. Bagaimanapun, politik istana Kerajaan Thailand memainkan peranan sebagai faktor penting dalam polarisasi politik Thailand. Faktor lain yang ikut mendorong adalah tarik menarik pengaruh monarki dalam konflik ”kaus merah vs kaus kuning” yang harus siap berhadapan pada situasi Thailand baru pasca Raja Bhumibol Adulyadej.

Kericuhan politik Thailand yang muncul di awal abad ke-21 telah mengubah tatanan klasik peran dominasi militer di negara yang tidak memiliki latar belakang kolonialisme seperti negara-negara Asia Tenggara lainnya. Modernisasi politik Thailand dibangun oleh kekuatan politik lokal, mengakhiri absolutisme monarki setelah kudeta militer tahun 1932 yang menjadikan militer sebagai kekuatan penting politik Thailand.

Adalah Thaksin, etnis keturunan Tionghoa, muncul sebagai figur politik dominan dan mengubah lanskap politik Thailand dengan menjungkalkan oligarki politik uang yang berkembang marak dua dekade sebelumnya. Faktor Thaksin ini juga menjadi pendorong kericuhan antara Partai Demokrat berhadapan dengan Phak Phuea Thai (Partai Orang Thai) yang memenangkan pemilu terakhir secara telak.

Banyak politisi Thailand khawatir terhadap kekuatan nasionalistik Thaksin dan adiknya, Yingluck, dalam mengendalikan Thailand pasca Raja Bhumibol. Mereka khawatir dengan karisma politik baru Thailand yang disebut sebagai prachaniyom, ungkapan kerakyatan menghadirkan nuansa populis.

Di bawah Thaksin, populisme dikembangkan secara masif dalam skala menakjubkan yang menghadirkan sebuah fenomena pluto-populisme. Majalah Far Eastern Economic Review pada tahun 2001 menggambarkan, kemenangan Thaksin merupakan refleksi akbar tentang kebijakan populis, program anggaran populis, janji-janji politik populis, kampanye pemilihan populis, serta citra pemerintahan populis.

Politik Thailand pada era globalisasi ini mengisyaratkan dua persoalan yang menopang pluto-populisme yang diraih Thaksin dan Yingluck. Pertama, modal besar domestik langsung masuk pada persoalan inti dalam berbagai kinerja politik Thailand, ketika muncul kesadaran pentingnya kekuatan negara mempromosikan kapitalisme domestik.

Kedua, massa pedesaan secara bertahap meraih kekuatan tawarnya melalui pemilihan umum, ketika eksploitasi ekonomi globalisasi mendesak dan memperluas lingkup politik lebih lebar, mencakup kelompok politik pedesaan baru. Inilah fenomena yang terlihat membentuk pilpres Indonesia 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar