Sabtu, 31 Mei 2014

Pengukuhan Persatuan Bangsa

Pengukuhan Persatuan Bangsa

 Firman Noor  ;   Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI
KORAN SINDO,  30 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
”...Americans who sent a message to the world that we have never been just a collection of individuals or a collection of red states and blue states. We are, and always will be, the United States of America...as Lincoln said to a nation far more divided that ours, we are not enemies but friends ...”
(Pidato Kemenangan Obama, 5 November 2008)

Cuplikan pidato tanpa judul Obama yang ditahbiskan sebagai salah satu dari pidato terhebat abad ke-21 menginspirasikan bahwa ”luka-luka pertempuran” selepas pemilihan presiden hendaknya harus diakhiri oleh sebuah kesadaran bahwa kita semua pada akhirnya adalah kawan.

Pemilihan presiden atau pemimpin politik dalam sejarahnya di banyak negara memang kerap membuat masyarakat terbelah. Tak jarang, terutama di negara-negara miskin atau berkembang, berakhir dengan pertikaian berdarah yang mengaburkan makna sesungguhnya dari ”pemilihan” itu sendiri. Dalam konteks Indonesia, pemilihan presiden memang belum sampai pada level yang menimbulkan histeria atau mengerikan bagi kemanusiaan.

Namun, keterbelahan masyarakat sulit dimungkiri nampak telah demikian terasakan. Fanatisme pendukung dan penolak sama kuatnya. Penghormatan terhadap figur-figur kandidat telah mulai makin tergerus digantikan oleh keasyikan menghajar hingga pada halhal yang tidak relevan sekalipun, seperti status perkawinan atau latar belakang primordial. Bahkan beberapa telah masuk dalam konteks fitnah, lebih dari sekadar black campaign .

Tampak ada sebuah kekhawatiran yang melandasi aktivitas itu semua bahwa jika seorang kandidat terpilih maka akan runtuhlah Indonesia dan segenap cita-cita luhur yang dimilikinya. Kekhawatiran, yang ditingkahi oleh beragam kepentingan lainnya, itulah yang nampaknya mendorong atau memotivasi munculnya fanatisme buta laku politik rendah.

Dalam nuansa sedemikian, demokrasi, yang membuka peluang dan harus mewujudkan munculnya sebentuk kampanye yang kompetitif dan berimbang (Lipsitz, 2004), justru dapat menjadi kontraproduktif bagi upaya membangun bangsa.

Alasan untuk Tidak Perlu Khawatir

Terlepas dari mulai mengganjalnya kecurigaan negatif, yang kerap tidak pada tempatnya, setidaknya ada beberapa hal yang menyebabkan pemilihan kali ini seharusnya tidak perlu dikhawatirkan apalagi sampai memecah belah anak bangsa. Pertama adalah pertarungan kali ini adalah pertarungan mereka yang termasuk kategori terbaik yang dimiliki bangsa ini.

Baik dalam makna figur capres dan cawapres itu sendiri maupun mereka yang berada di balik layar dari para figur itu. Mereka memang mungkin bukan yang benar- benar terbaik sepanjang masa. Namun, setidaknya dalam keterbatasan ruang dan waktu saat ini, hampir semua yang tokoh terbaik ada dan berpihak secara gamblang dalam dua kubu itu, mulai dari pusat hingga daerah-daerah.

Beberapa di antara yang terbaik itu adalah termasuk yang tecerdas dan terhebat di bidangnya. Tidak sedikit mereka yang bergelar profesor ataupun jenderal. Di antara mereka ada juga yang masuk dalam kategori yang paling mumpuni, dipercaya oleh banyak orang, bahkan sudah masuk dalam kategori guru bangsa. Kedua kubu tidak diragukan memiliki tokoh-tokoh terhormat, yang tentu saja dapat diharapkan untuk sanggup menghindari dari kenistaan berpolitik.

Kedua , masing-masing kubu, baik Jokowi-JK maupun Prabowo-Hatta, memiliki dukungan dari latar belakang organisasi yang beragam. Keduanya pun jelas ditopang oleh sebuah koalisi pelangi, baik dalam makna keberagaman ideologis dari partai-partai atau ormasormas pendukungnya.

Hampir semua jenis ormas atau organisasi profesi ada dalam barisan pendukung di masing-masing kandidat, mulai dari kelas bawah hingga atas, mulai dari yang sekuler hingga religius, mulai dari komunitas inteligensia hingga para artis.

Kekuatan-kekuatan yang selama ini ditengarai berseberangan atau berbeda kepentingan justru menyatu bahumembahu dalam pemilihan kali ini. Kalangan ”kiri” menyatu dengan kalangan pengusaha kakap. Kalangan dan tokoh Muhammadiyah ditopang oleh kalangan dan tokoh NU, begitu juga sebaliknya. Pun kalangan ”liberal” bahu membahu dengan kelompok-kelompok ”konservatif”.

Dengan demikian, kedua kubu tak pelak adalah ”miniatur Indonesia”, yang sarat dengan keberagaman. Dalam nuansa ini sebenarnya sulit terbayangkan bahwa presiden terpilih akan dapat dengan mudah menjadi aktor tunggal yang mengusung sebuah gaya kepemimpinan atau ideologi politik tertentu.

Dengan kata lain, nuansa kolegial dan keberagaman semacam ini jelas tidak kondusif bagi mewujudnya fasisme atau neo-lib, sebagaimana yang dikhawatirkan dan disangkakan orang pada kandidat- kandidat tertentu. Ketiga , kedua kubu samasama dengan tegas dan meyakinkan punya kepentingan yang jauh lebih besar ketimbang sekadar kepentingan pribadi atau golongan. Jika ditilik dengan saksama, semua agenda yang dimajukan adalah untuk kepentingan bangsa.

Penyampaiannya pun dilakukan secara transparan atau terbuka, yang memungkinkan setiap orang menilai dan akhirnya meminta pertanggungjawaban kepada mereka kelak. Dengan bercokolnya banyak pihak yang berpengalaman, kebijakan-kebijakan itu jelas bukanlah sesuatu yang mengadaada dan sekadar lip service. Dan jika ditilik lebih secara objektif dan jernih, tidak ada sebuah perbedaan signifikan di antara kedua kubu, kecuali aksentuasi atau skala prioritasnya.

Beberapa Kewajiban

Sebagai lanjutan dari situasi tersebut, para kandidat terutama elite politik yang tahu banyak persoalan yang darinyalah masyarakat kebanyakan beroleh landasan keberpihakan harus memastikan bahwa ajang pemilihan presiden adalah ajang terhormat dan bermartabat untuk memberikan yang terbaik bagi peningkatan marwah bangsa. Ajang ini bukanlah ajang fitnah yang hanya akan merusak nama baik perorangan, organisasi yang juga pada akhirnya nama baik bangsa.

Oleh karena itu, sudah tepat, misalnya, apa yang diminta oleh Prof. Mahfud MD bahwa tidak sepatutnya black campaign itu dikedepankan. Selain itu, para elite politik– terutama yang telah mewakafkan dirinya untuk turut serta menyukseskan kemenangan seorang kandidat–harus pula berperan paling depan dalam memastikan bahwa apa saja yang telah dijanjikan oleh figur dukungannya dapat terealisasi.

Dengan kata lain, mengawal pelaksanaan janji-janji untuk mengukuhkan kebaikan bagi semua. Sikap lepas tangan atau bahkan mengambil keuntungan pasca-pilpres jelas merupakan sebuah blunder yang hanya menumbuhkan antipati dari rakyat. Yang terakhir para kandidat dan elite politik harus menunjukkan semangat kenegarawanan dengan bersama-sama memulihkan keutuhan bangsa pasca pemilihan presiden.

Sebagaimana yang diisyaratkan dari pidato Obama, bahwa harus ditunjukkan kepada dunia bahwa pada akhirnya kita semua bukanlah warganya partai atau koalisi tertentu, namun warga dari sebuah negara besar bernama Republik Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar