Membangun
Budaya Bangga Punya Rumah
Maryono ;
Direktur Utama Bank BTN
|
KORAN
SINDO, 27 Mei 2014
Kebutuhan
rumah merupakan salah satu dari tiga kebutuhan pokok manusia: sandang,
pangan, dan papan. Untuk memberikan pilihan dan harga yang terjangkau,
beragam sandang dan pangan diimpor untuk masyarakat.
Rumah
pun demikian. Pemerintah terus mengeluarkan berbagai kebijakan dan program
untuk memenuhi kebutuhan rumah, terutama rumah kelompok masyarakat menengah
bawah. Rumah sederhana yang sehat, terintegrasi dengan infrastruktur
transportasi publik dan fasilitas sosial menjadi prasyarat penting kelas menengah
bawah untuk hidup. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut tidaklah mudah karena
harga rumah yang relatif susah digapai kelas menengah bawah.
Diperlukan
lembaga pembiayaan khusus yang mampu membantu kelas menengah bawah untuk
memiliki rumah. Di situlah peran strategis bank memberikan layanan kredit
properti yang fokus pada segmen menengah bawah. Rumah yang terintegrasi
dengan infrastruktur mapan berikut transportasi publik yang terjangkau
memberi masyarakat akses untuk beraktivitas.
Ruang
terbuka hijau dan fasilitas umum seperti sekolah, rumah sakit yang
berkualitas, dan dekat rumah memberikan kenyamanan masyarakat. Dengan
demikian, baiti jannati (rumahku surgaku) dapat dicapai. Namun budaya
memiliki rumah ini makin lama makin turun karena berbagai hal. Salah satunya
adalah middle income trap. Pilihan
konsumsi kelas menengah semakin banyak. Biaya pulsa, kendaraan, transportasi,
lifestyle, dan masih banyak lagi
berlomba menguras kantong kelas menengah.
Budaya
yang diwariskan dari pendahulu bahwa pasangan muda itu baru boleh bangga dan
gagah saat punya rumah sendiri lambat laun makin luntur. Berganti dengan
budaya konsumtif. Keinginan untuk memiliki rumah menjadi prioritas kesekian,
dikalahkan oleh banjirnya produk konsumtif yang menarik. Budaya memiliki rumah
ini yang harus diangkat lagi ke permukaan. Tidak hanya sebagai bentuk
pemenuhan kebutuhan terhadap papan, tetapi juga bentuk investasi.
Membeli
produk eletronik, gadget,
automotif, dan sejenisnya terus turun nilainya setiap saat. Bahkan beberapa
detik setelah kita beli pun kalau kita jual kembali harga turun. Berbeda
dengan membeli rumah yang harganya terus naik. Budaya “bangga punya rumah”
akan membawa bangsa Indonesia lolos dari middle income trapdan generasinya
dapat menyelamatkan hasil kerjanya dengan memiliki rumah, bukan hanya menjadi
budak konsumerisme.
Dengan
menggalakkan bangga punya rumah, secara langsung akan terjadi multiplier
ekonomi yang besar. Pusat Studi
Properti Indonesia (PSPI) pernah mengklaim ada sekitar 135 industri
terkait dengan pembangunan perumahan di Indonesia.
Panangian
Simanungkalit, Direktur PSPI, menjelaskan ketika terjadi suatu pembangunan
perumahan dalam suatu kawasan di wilayah perkotaan misalnya, tak kurang dari
135 industri terkait yang berada di sekitarnya ikut menikmati perputaran uang
yang terjadi atas pembangunan perumahan tersebut. Budaya “bangga punya rumah”
ini harus terus digalakkan.
Upaya-upaya
negara untuk memberikan kemudahan perusahaan properti membangun produk yang
menjawab kebutuhan kelas menengah harus terus didukung. Demikian juga
dukungan terhadap lembaga pembiayaan yang fokus di pembiayaan properti,
khususnya segmen menengah bawah. Lembaga pembiayaan khusus tersebut sangat
strategis untuk menyelamatkan Indonesia dari middle income trap.
Bisnis
KPR kelas menengah bawah adalah prioritas utama PT Bank Tabungan Negara
(Persero) Tbk. Sejak ditunjuk pemerintah tahun 1974 untuk mendukung
pembiayaan program rumah nasional (rakyat), Bank BTN hingga saat ini masih
terus menunjukkan perannya sebagai kepanjangan tangan pemerintah dalam
program rumah rakyat tersebut. Tak kurang dari 3,6 juta rumah sudah dibiayai
Bank BTN.
Jika
rata-rata 4 orang yang menghuni rumah, lebih dari 15 juta masyarakat Indonesia
paling tidak sudah menikmati tinggal di rumah yang dibiayai Bank BTN. Setiap
tahun, Bank BTN memberikan kredit kepada 100.000 lebih pemilik rumah di mana
sebagian besarnya adalah rumah pertama. Keunikan layanan dan pengalaman
terse-but menjadikan BTN menguasai pasar kredit properti, khususnya segmen
menengah bawah untuk rumah pertama.
Dapat
dikatakan hingga hari ini, bank yang memberikan layanan pembiayaan rumah
untuk kelas menengah bawah didominasi BTN. Sebagai korporasi, BTN terus
berupaya agar dapat berperan lebih banyak untuk membantu masyarakat memiliki
rumah. Langkah ini tak mudah meskipun BTN adalah bank besar peringkat ke-10
dari 120 bank nasional.
Perlu Kerja Keras Bersama
Jumlah backlog perumahan secara nasional
terus meningkat dari tahun ke tahun. Kekurangannya sudah menembus 20 juta
unit. Setiap tahun ada tambahan permintaan 1 juta–1,5juta unit. Sementara pasokan
hanya 600.000–800.000 unit. Diperlukan kerja keras bersama antara pemerintah
pusat, daerah, perusahaan properti, dan lembaga pembiayaan untuk mencukupi
kebutuhan rumah kelas menengah bawah tersebut.
Pemerintah
pusat perlu menyusun perangkat aturan untuk mendukung perusahaan properti,
pemerintah daerah menyusun rencana tata ruang dan wilayah yang strategis,
perusahaan properti membangun sesuai koridor aturan yang ditetapkan, lembaga
pembiayaan mendukung proses konstruksi hingga kredit kepemilikan rumahnya.
Semua
harus sinergi. Bank BTN yang bisnis utamanya pada pembiayaan perumahan sudah
pasti perannya sangat strategis. Saat ini korporasi sedang menggodok program
strategis yang dapat meningkatkan jumlah nasabah KPR hingga 300–400% dari
kapasitas tahunan yang sudah berjalan. Semoga dalam waktu yang tidak terlalu
lama program tersebut dapat berjalan. Bank BTN akan menjadi housing bank.
Sederhananya
Bank BTN menjadi “pabrik KPR” yang portofolionya dapat disekuritisasi atau
dijual ke lembaga keuangan lain sebagai portofolio kredit atau investasi.
Untuk mendukung program strategis tersebut, BTN akan memaksimalkan pendanaan
tidak hanya dari dana pihak ketiga yang sudah standar (tabungan, giro,
deposito), tetapi juga melalui obligasi jangka menengah panjang.
Tentunya
jika BTN mendapat dukungan pemerintah untuk meningkatkan permodalan, lebih
banyak pendanaan alternatif jangka panjang dapat diterbitkan BTN. Keunikan
pendanaan BTN inilah yang menjadikan posisi loan to deposit ratio(LDR) seolah tinggi hingga di atas 100%.
Jika memasukkan komponen obligasi, LDR BTN sekitar 85–88%. LDR ini hanya
salah satu contoh keunikan BTN dibandingkan bank pada umumnya.
Belum
termasuk aspek operasional dan hal teknis lainnya. Program berikutnya adalah
mempererat kerja sama sekuritisasi dengan SMF yang sudah terjalin selama ini.
BTN akan mengembangkan sekuritisasi dan penjualan portofolio kredit BTN yang
sehat ke bank lain. Sinergi antarbank untuk samasama berbisnis sekaligus
mengemban misi sosial menyediakan kredit rumah yang terjangkau untuk segmen
masyarakat menengah bawah.
Sederhananya
sinergi antarbank adalah BTN menjadi originator
dan servicer-nya. Semua
infrastruktur termasuk pengelolaan kredit dan collection-nya nanti Bank BTN yang menyiapkan dan bank peserta
tinggal menyiapkan funding-nya.
Mereka akan mendapatkan aset KPR dan BTN akan memperoleh fee based income untuk itu. Itulah rencana besar Bank BTN
membesarkan dirinya sendiri tanpa sentuhan pemerintah.
Bank BTN
masih tetap menjadi harapan masyarakat kecil untuk memiliki rumah. Kalau
pasar KPR ini bisa terwujud dan SMF didorong kembali pada khitahnya, tidak
mustahil Bank BTN ke depan akan menjadi lebih besar. Kita lihat saja nanti. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar