Kampanye
Pemilu, Kampanye Damai
Mohamad Sobary ;
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia,
untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
|
KORAN
SINDO, 30 Mei 2014
Di benak
anak-anak, kampanye mungkin fenomena menggembirakan. Gemuruh suara motor di
jalan-jalan raya, teriakan-teriakan, bendera dan simbolsimbol partai yang
begitu meriah, bisa jadi dianggap hiburan.
Siapa
tahu bahkan dianggap pendidikan politik dan sosialisasi mengenai kesadaran
tentang hak-hak politik yang ditanamkan sejak dini. Mengenal warna bendera,
dan simbol partai, apalagi mendengar pidatopidato yang bagus di lapangan
maupun di layar televisi, membuat anak merasa dunianya menjadi lebih lebar. Jargon-jargon
politik, termasuk yang sebenarnya tak punya makna apapun karena jargon hanya
berhenti di kata-kata,membuat khasanah kehidupan anakanak makin komplet.
Bagi
anak-anak yang tak mengerti makna sesungguhnya kampanye, warna bendera
partai, simbol-simbol partai, pidato dan jargon politik, hirukpikuk kampanye
itu sudah membuat mereka ”memilih” yang terbaik menurut ukuran dan cita rasa
sederhana dalam ”frame” dunia anak-anak. Mereka ”memilih” partai karena warna
bendera, karena sesuatu yang meriah, karena bunyi-bunyi yang memikat hati.
Begitulah
dunia anak-anak. Begitu mereka mengenal sejak awal kegembiraan kampanye,
semangat partai dan kegigihan para politisi meneriakkan inti perjuangan
partainya, dan hubungannya dengan cita-cita kesejahteraan masyarakat.
Anakanak tak harus mengerti kata per kata secara harfiah, apalagi makna
simbolisnya. Dalam ketidakmengertian itu, mereka sudah berpartisipasi untuk
memeriahkan kehidupan politik.
Bagi
kaum remaja, kampanye memiliki makna lebih luas lagi. Mereka sudah paham
”platform” perjuangan partai. Mereka pun mengerti mana partai terbaik untuk
dipilih. Mereka sudah memiliki suatu idealisme tertentu, meskipun barangkali
rumusannya tidak fokus, tidak politik dan tidak pula bersifat ideologis.
Tapi ada
satu hal yang lebih jelas: pada mereka sudah muncul fanatisme. Bisa saja kita
menyebutnya fanatisme ”naif ”. Bisa saja kita memberinya ”label” fanatisme
samar-samar, karena kemungkinan besar mereka memang belum begitu paham buat
apa fanatisme itu, dan apa artinya di dalam kehidupan sosialnya.
Fanatisme,
samar-samar atau jelas, tetap fanatisme. Fanatisme ”naif” maupun fanatisme
”rasional” sering membawa konsekuensi tak terduga, dan tak masuk akal. Di
kalangan kaum remaja maupun orangorang dewasa, fanatisme membuat mereka
bersedia bertengkar dengan tetangga sendiri, bahkan berkelahi hingga babak
belur, dan melibatkan perkelahian kelompok, yang tak bakal membawa hasil apa
pun kecuali kesadaran di kemudian hari, bahwa sebetulnya mereka tak perlu
berkelahi.
Di
kemudian hari mereka makin sadar, bahwa kampanye, hingga tahapan pemilunya,
tak membawa perubahan berarti bagi hidup mereka. Ada atau tak ada kampanye
dan pemilu, hidup mereka tak berubah. Ini membuat mereka lebih sadar lagi,
dengan kesadaran rasional, bukan ”naif”, bahwa berkelahi dengan sesama warga
kampung, warga RT atau RW, sungguh tak masuk akal.
Tapi
dalam kampanye dan pemilu lima tahun berikutnya, perkelahian seperti itu
terjadi lagi karena fanatisme yang sama. Mereka yang terlibat perkelahian
mungkin bukan orang-orang yang dulu itu, karena fanatisme sudah berpindah ke
pihak lain, dan boleh jadi diwarnai ”darah panas” dan kentalnya ideologi,
yang sebetulnya juga tak mereka pahami baik-baik.
Partai-partai,
dan pribadi-pribadi yang ikut menyelenggarakan kampanye dan menjadi peserta
pemilu, mungkin sebaiknya merasa bertanggung jawab atas situasi seperti itu.
Mungkin langkah ada langkah-langkah yang bisa diambil para politisi untuk
menghindari kerusuhan seperti itu. Kampanye itu usaha meyakinkan masyarakat
bahwa suatu partai memiliki ideologi jelas, dengan program kerja yang juga
jelas.
Ini yang
harus dipaparkan secara persuasif, dan simpatik kepada khalayak ramai
sehingga kampanye memang berarti pendidikan. penyadaran, dan bujukan secara
terhormat, dan mulia. Politisi harus bisa ”mengarahkan” jalan pikiran orang
banyak, dengan kemampuan komunikasinya yang hebat. Juga dengan ideologi dan
program yang punya makna ”pembebasan” bagi kebanyakan warga yang hidupnya
masih terus menerus terbelenggu kesukaran dan kemiskinan tak ada ujung.
Politisi
harus bisa dengan tegas, membuat kemiskinan umum punya batas, di mana pada
suatu periode sejarah tertentu, yang miskin berubah menjadi tidak lagi
miskin. Ini mungkin arti pembebasan sejati, yang disebut di atas. Menang
memang menjadi tujuan dalam pemilu, sesudah kerja keras dalam kampanye dan
persiapan panjang sebelumnya.
Tapi
dilihat dari perspektif yang lebih luas, bukan kata ”menang” itu yang
terpenting, melainkan pendidikan politik. Syukur bila proses pendidikan itu
sendiri telah membuka kesadaran politik sebagai warga negara yang bertanggung
jawab, dan memiliki wawasan kebangsaan yang tidak bisa dianggap remeh.
Jika
beginilah yang dianggap sebagai unsur terpenting di dalam kampanye dan
pemilu, apa gunanya kita menjelekkan lawan politik? Apa gunanya memfitnah,
dan balas memfitnah pihak lain, yang kita sebut musuh politik? Permusuhan
yang sebenarnya tak penting sama sekali ini tak bisa dilupakan begitu saja.
Di
seluruh dunia permusuhan dalam politik terjadi di saat kampanye, pemilu dan
di hari-hari sesudahnya. Apakah karena itu terjadi di seluruh dunia, kita
lalu menganggapnya wajar? Apakah permusuhan itu kemudian kita terima dengan
baik sebagai bagian dari dinamika politik? Mungkin tidak. Mungkin sekali kita
bisa menyelenggarakan kampanye dan pemilu yang lebih bermutu, lebih edukatif,
lebih bersahabat.
Drama
anak-anak, yang naskahnya ditulis oleh sastrawan terkemuka, Danarto, lebih
dua puluhan tahun lalu, menggambarkan kampanye meriah, lucu dan bersahabat.
Pada suatu hari, partai A yang berkampanye di suatu tempat. Tapi partai B dan
C diundang semua. Para tokoh partai A berpidato dengan berapi-api, penuh
semangat, dan para tokoh partai B dan C berebutan melayani tokoh partai A
yang sedang berpidato mengampanyekan programnya itu.
Minuman
diantar ke podium. Oleh wakil partai B, handuk diantarkan oleh wakil partai
C. Bahkan wajah tokoh partai A dilap dengan handuk itu. Dengan kaget, tokoh
itu turun dari podium dan menari, sambil bergumam; lho , kok dilayani, lho,
kok dilayani. Dan rombongan penari makin banyak. Tokoh-tokoh partai A turun
dan menari. Kemudian para tokoh partai B dan C pun ikut memeriahkan tarian
itu. Sastrawan Danarto bergurau.
Tapi ada
nuansa kedamaian tertentu yang bisa kita petik, dan siapa tahu bisa pula
diamalkan dalam kampanye. Bisa saja kita menyebutnya kampanye damai. Ada
kampanye damai? Ada, kalau kita mau mengadakannya. Kalau Pak JK hadir di
kampanye Pak Hatta, dan beliau menyeka wajah Pak Hatta yang berkeringat,
dengan persahabatan tulus, apa salahnya?
Dan
betapa mulia bila ketika Pak JK sedang berpidato, Pak Hatta mengantarkan
untuknya segelas minuman segar? Barangkali ini tampak seperti lelucon, tapi
apa salahnya sebuah lelucon diwujudkan di dalam suatu politik adiluhung, penuh kebenaran dan warna
moral, dalam sebuah kampanye damai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar