Media
dan Pemilu 2014
Sabam
Leo Batubara ; Wartawan Senior
|
KOMPAS,
31 Mei 2014
HASIL
hitung cepat Kompas Pemilu Legislatif 2014 menunjukkan, PDI-P mendapat 19,17
persen, Partai Golkar 15,0 persen, Gerindra 11,77 persen, Partai Demokrat
9,47 persen, PKB 9,17 persen, PAN 7,47 persen, PKS 7,02 persen, PPP 6,73
persen, Nasdem 6,70 persen, Hanura 5,11 persen, PBB 1,45 persen, dan PKPI
0,94 persen.
Menyikapi
hasil pemilu itu dapat diajukan paling tidak tiga pertanyaan. Pertama,
mampukah media nasional membantu mewujudkan harapan Letjen (Purn) TNI
Sayidiman Suryohadiprojo sebagaimana dikemukakannya pada tulisan ”Membangun Masyarakat Gotong Royong
Modern” (Kompas, 7/4)?
Mantan
Gubernur Lemhannas itu mengharapkan, antara lain, terbentuknya kepemimpinan
nasional baru pada 2014 yang terdiri atas orang-orang yang kuat keyakinannya
pada Pancasila, teguh-kuat hasratnya menjadikan bangsa Indonesia maju
sejahtera dan berbahagia, serta dapat membangun sistem Pancasila dalam wujud
terbangunnya masyarakat gotong royong modern yang mengutamakan harmoni di
antara anggota.
Harapan
itu sepertinya masih saja menjadi harapan yang dicita-citakan, das Sollen.
Meski Sayidiman berpendapat bahwa sejak dulu masyarakat Indonesia memang
hidup bergotong royong, kenyataan menunjukkan kebiasaan bergotong royong
hanya sebatas pada acara perkawinan, kematian, ataupun memotong padi di desa.
Di luar itu, dalam meraih jabatan lurah, kepada daerah, misalnya, tidak ada
lagi semangat gotong royong cerminan kebersamaan.
Tingkat impian
Tidak
terwujudnya koperasi sebagai bangun ekonomi nasional selama 68 tahun ini
mengindikasikan semangat gotong royong modern baru pada tingkat impian.
Di
parlemen kita apa pernah ada semangat gotong royong mendahulukan kepentingan
rakyat banyak? Pada era hasil pemilu (pertama) 1955, parpol tampil saling
menjatuhkan sehingga kabinet tidak mampu berusia cukup lama. Pada era Orde
Lama dan Orde Baru, parpol hidup sekadar jadi kawula rezim berkuasa. Di era
reformasi, parpol lebih mengutamakan kepentingan parpolnya dan pribadi
pengurus.
Tahun-tahun
terakhir ini, media massa sarat berita tentang perilaku orang-orang parpol
yang bergiat di legislatif dan eksekutif terlibat tindak korupsi. Masih
menjadi tantangan apakah hasil Pemilu 2014 dengan dorongan media dapat
mereformasi performa penyelenggara negara dari mendahulukan kepentingan
kelompok/pribadi menjadi mengutamakan kepentingan nasional.
Kedua,
mengapa dalam upaya peduli terhadap rakyat media cetak lebih loyal daripada
parpol? Dalam satu hal, lembaga media cetak the mainstream mempunyai kesamaan
dengan parpol. Eksistensi atau kehidupannya ditentukan oleh pilihan dan
dukungan khalayak atau rakyat.
Sulit sintas
Perbedaannya,
perusahaan media menyadari benar tanpa memenuhi kebutuhan dan keinginan
khalayaknya, media tersebut sulit sintas. Oleh karena itu, media tertantang
setiap hari berusaha merebut kepercayaan publik. Hasilnya, di tingkat
nasional dan provinsi media yang terunggul merebut kepercayaan publik menjadi
market leader. Fakta- fakta menunjukkan, media yang terunggul di tingkat
nasional dan provinsi tersebut dapat mempertahankan keunggulannya dari tahun
ke tahun.
Sementara
itu, sejak Pemilu 1955 hingga Pemilu 2014, parpol hanya peduli kepentingan
rakyat pemilih menjelang pemilu, selebihnya sekitar empat setengah tahun
kepentingan parpol dan pribadi-pribadi pengurusnya yang mengemuka.
Kepentingan rakyat pemilih terlupakan. Sepertinya parpol sadar atau tidak
memedomani doktrin Machiavelli, yakni penguasa tidak perlu melaksanakan
janji-janji politiknya jika dengan melaksanakannya bertentangan dengan
kepentingan penguasa tersebut”.
Tidak
mengherankan capaian pemilu—enam pemilu di era Orde Baru tidak dihitung
karena penyelenggaraannya tidak jujur dan adil—gagal menghasilkan satu atau
dua parpol besar, tetapi hanya kumpulan parpol kecil dan sedang-sedang saja.
Hasil pemilu seperti itu menjadi penyebab anggota Dewan yang sebagian besar
bukan berasal dari parpol presiden terpilih tidak jarang justru mengganggu
bahkan merongrong dan menggerogoti keefektifan penyelenggaraan pemerintahan.
Performa
parpol kita juga menarik untuk dibandingkan dengan parpol di beberapa negara
lain. Persamaan parpol Indonesia, AS, Inggris, Jerman, dan India, misalnya,
konstitusinya membolehkan banyak parpol. Namun, rakyat AS cukup puas memiliki
dua partai: Demokrat dan Republik. Meski Inggris, Jerman, dan India memiliki
sistem multipartai, rakyat cukup puas dan memiliki kepercayaan pada dua
partai, yakni Buruh dan Konservatif (Inggris); Uni Kristen Demokrat (CDU) dan
Partai Sosial Demokrat (SPD) (Jerman); serta Kongres dan Bharatiya Janata
(India).
Stabil dan efektif
Sejak
dulu, hanya dua partai di empat negara itu yang berganti-ganti membangun
pemerintahan yang kuat. Di Inggris, Jerman, dan India, kalaupun parpol
pemenang pemilu memerlukan koalisi, cukup dengan parpol pemenang ketiga.
Tidak mengherankan pemerintahan di negara-negara itu stabil dan efektif.
Ketiga,
adakah peluang Pemilu 2014 menghasilkan kepemimpinan nasional baru yang akan
efektif memajukan dan memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat banyak?
Peluang cukup besar jika penyelenggara negara mendatang cukup mampu
mendeteksi akar persoalan bangsa dan cerdas mengatasinya.
Menurut
Sayidiman dalam tulisannya, sekarang ini korupsi merajalela di kalangan
eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pancasila diabaikan dalam kehidupan
bangsa. Sumber gangguan dan ancaman datang dari pengaruh hidup barat yang
mengutamakan individualisme-liberalisme dan kuatnya paham neoliberalisme.
Sementara
itu, wartawan Mochtar Lubis, lewat pemberitaan harian Indonesia Raya sejak
awal 1950-an dan buku Manusia Indonesia
(1977), mengemukakan temuannya bahwa manusia Indonesia memiliki karakter
dengan delapan kelemahan: berkecenderungan korup; munafik; enggan bertanggung
jawab; berjiwa feodal; percaya takhayul; tidak hemat dan boros; tidak senang
bekerja keras dan cenderung malas; bisa kejam, mengamuk dan membakar.
Kenyataannya kelemahan-kelemahan itu yang senantiasa menggerogoti bangsa.
Sumo dan Jepang
Untuk
mengatasi kelemahan sebagaimana dikemukakan dua tokoh, tidak salah jika
bangsa kita belajar dari kearifan Jepang. Olahraga sumo adalah cerminan
kultur Jepang, kaki harus kukuh terlebih dahulu untuk mampu menghadapi lawan.
Budaya Jepang adalah kekuatan bangsa itu dalam menghadapi pengaruh asing.
Sejalan
dengan kearifan Jepang, penyelenggara negara hasil Pemilu 2014 patut
mempertimbangkan apa yang sebenarnya sudah sejak awal 1950-an diperingatkan
oleh Mochtar Lubis, pemimpin redaksi Indonesia Raya, bahwa untuk membuat
Pancasila menjadi nyata (das Sein),
strateginya adalah dengan memperkuat kaki manusia Indonesia terlebih dahulu,
yakni menyehatkan kualitas manusianya, terutama elite bangsanya, dari delapan
penyakit.
Hanya
dengan membangun Indonesia dengan terobosan seperti itu, kita tidak perlu
takut gangguan budaya asing. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar