Rabu, 28 Mei 2014

Revolusi Sekali Lagi

Revolusi Sekali Lagi

Donny Gahral Adian  ;   Dosen Filsafat UI
KOMPAS,  28 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
SETIAP ajang pemilihan umum sejatinya adalah pergelaran ideologi. Namun, sering kali, setiap kandidat sekadar menyampaikan visi-misi tanpa basis ideologis yang jelas.

Kebanyakan mereka merumuskan sesuatu yang sangat kuantitatif. Kuantifikasi senantiasa menyelewengkan perhatian publik dari basis ideologis yang dipakai.  Menaikkan pertumbuhan ekonomi sampai 7 persen per tahun, misalnya. Hal itu bisa dicapai melalui peningkatan investasi asing secara inkremental. Apa yang luput dari metode ini adalah fakta investasi asing tak sebangun dengan lapangan pekerjaan. Sebab, sebagian besar lari ke sektor keuangan, bukan riil. Di sini proposal Jokowi tentang ”revolusi mental” (Kompas, 10/5) menarik dicermati.

Revolusi

Revolusi harus berjalan dua kali di republik ini. Setelah revolusi fisik yang membebaskan bangsa dari kolonialisme, saatnya republik ini mengalami revolusi nonfisik untuk membebaskannya  dari diri sendiri. Sebuah diktum psikologi sosial mengatakan, ”mereka yang bebas dari ketakutan biasanya mengidap ketakutan akan kebebasan”. Artinya, mental kuli sulit dilepaskan dari bawah sadar kita sebagai bangsa. Kita, misalnya, lebih suka menjual kekayaan alam melalui kontrak karya yang merugikan ketimbang mengelola sendiri. Aset-aset milik BUMN banyak disewakan kepada perusahaan asing, bukannya dikelola sendiri. Pertumbuhan kepribadian bangsa kita berhenti pada  mentalitas makelar, bukan industriawan.

Perekonomian bertumbuh cukup pesat. Daya beli masyarakat naik cukup signifikan. Pertentangan kelas semakin mengabur. Saat ini buruh dan majikan bersandingan di jalan raya menaiki motor gede yang sama. Persoalannya, pertumbuhan ekonomi ini dilakoni oleh orang-orang yang takut terhadap kebebasan. Alih-alih memanfaatkan anggaran belanja sendiri untuk membangun infrastruktur, kita lebih suka meminjam uang lembaga keuangan asing dengan sederet syarat merugikan. Bukan rahasia lagi setiap proyek dari pinjaman luar negeri mengharuskan kita merekrut konsultan asing dengan gaji dollar. Konsultan lokal hanya pelengkap yang dibayar murah. Belum lagi pemasok kebutuhan proyek ditunjuk dari perusahaan negara kreditor.

Pesannya cukup gamblang. Kita harus menyudahi mentalitas ”tangan di bawah” dan memulai mentalitas ”tangan di atas”. Yang memberi posisinya lebih tinggi daripada yang diberi. Bangsa ini defisit kepercayaan diri. Defisit itu berakibat pada lumpuhnya harga diri. Lumpuhnya harga diri berarti hilangnya agensi atau kepelakuan. Ekonom Amartya Sen mengatakan bahwa kesejahteraan harus memuat kepelakuan. Kesejahteraan yang dibangun dari belas kasih orang lain bukanlah kesejahteraan. Jelas di sini betapa variabel mentalitas sangat bahkan lebih fundamental ketimbang finansial.

Sayangnya, republik ini dibangun tanpa visi mentalitas jelas. Kita senantiasa menggaungkan visi ekonomi yang sangat kuantitatif. Padahal, di balik angka-angka itu bersembunyi patologi ketakutan terhadap kebebasan. Kita takut mandiri. Kita lebih menikmati ketergantungan. Stabilitas harga kebutuhan pokok, misalnya, dapat dicapai melalui impor atau membangun kedaulatan petani.

Kita sering kali memilih yang pertama. Yang terpenting adalah pertumbuhan dan stabilitas. Perkara apakah pertumbuhan itu memukul nilai tukar petani bukan soal yang patut dipergunjingkan. Pertumbuhan finansial sering kali berbanding terbalik dengan proses pendewasaan mental sebuah bangsa.

Aras ideologis

”Revolusi Mental” Jokowi tampaknya berdiri di atas aras ideologis yang lebih luas. Ia meletakkannya di atas nasionalisme yang dikerucutkan pada (meminjam gagasan Bung Karno): kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, dan kepribadian bangsa. Nasionalisme jenis ini bukan sekadar jargon, tetapi apa yang saya sebut sebagai a working nationalism (nasionalisme yang bekerja).  Sebab, nasionalisme tersebut menuntut sebuah tindakan konkret baik pada tingkatan aktor maupun sistem. Pemimpin nasionalis harus sadar betapa kebijakannya kelak pasti terbentur pada sistem yang dibangun berdasarkan mentalitas ”tangan di bawah”. Sebab itu, nasionalisme menuntut sebuah perubahan radikal baik di tataran aktor maupun sistem. Kebijakan untuk meningkatkan taraf hidup petani harus diiringi perubahan tata kelola perniagaan yang berpihak pada impor pangan.

Nasionalisme, pertama-tama, mengharuskan kita berdaulat secara politik. Kedaulatan di sini harus dipahami bukan semata-mata teritori atau geografi. Kedaulatan adalah wewenang penuh yang dimiliki oleh sebuah bangsa untuk menentukan bulat lonjong nasibnya sendiri.

Kita memiliki kewenangan, tetapi sekali lagi, takut untuk menggunakannya. Kita dapat menentukan sendiri sistem politik  yang paling tepat untuk bangsa ini. Namun, kenyataannya, kita menelan mentah-mentah demokrasi liberal yang sesak dengan kesejarahan, habitus, dan tradisi masyarakat Anglo-Amerika. Kita mengukur keberhasilan politik kita dengan penggaris lembaga-lembaga demokrasi Barat. Padahal, penggaris demokrasi mereka tidak pernah mengukur derajat solidaritas sosial, melainkan semata-mata fairness sebuah persaingan politik.

Kedua, kita harus mandiri secara ekonomi. Mentalitas makelar harus dibuang jauh-jauh. Saban hari investor dari sejumlah negara datang mencari peluang investasi di Indonesia. Yang sering terjadi, pelaku usaha kita jadi makelar belaka. Sebuah peluang usaha ditawarkan kepada asing dengan kepemilikan saham timpang. Bahkan, sering kali, pelaku usaha kita hanya menjadi operator bagi bisnis orang asing dengan ganjaran saham kosong. Sumber daya alam milik adalah milik kita. Sudah selayaknya, pelaku usaha kita yang mengupayakannya dengan modal dan jerih payah sendiri. Investor asing boleh dilibatkan, tetapi dengan opsi buy back yang jelas. Jangan kita semata-mata menjadi operator bagi duit orang lain.

Terakhir, berkepribadian dalam kebudayaan adalah harga mati. Kita memang bangsa majemuk secara kebudayaan. Namun, kemajemukan itu perlu memiliki identitas kultural bersama yang kokoh. Feodalisme tak boleh jadi identitas kultural itu. Sebab, feodalisme setali tiga uang dengan ketergantungan. Revolusi mental patut diselenggarakan guna mewujudkan bangsa mandiri, toleran, dan memiliki semangat gotong royong. Sistem pendidikan jangan sekadar menciptakan lulusan terbaik untuk jadi kuli di perusahaan asing. Pendidikan juga jangan sekadar menciptakan manusia pintar, tetapi tak punya kepekaan sosial terhadap mereka yang kurang beruntung. Nalar persaingan memang baik untuk meningkatkan kinerja. Namun, tanpa dibarengi nalar kerja sama atau gotong royong, bangsa ini sesungguhnya kosong secara kepribadian.

Akhirul kalam, ”revolusi mental” adalah bagian dari perubahan ideologi yang sangat fundamental. Sudah saatnya republik ini diselenggarakan berdasarkan patokan ideologis yang jelas dan terpilah (clear and distinct). Tanpanya, republik ini akan kembali jatuh ke tangan pemimpin yang salah urus. Pemimpin yang mengurus republik dengan mentalitas ”tangan di bawah”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar