Indonesia
Oceanopolis
Rhenald Kasali ;
Pendiri Rumah Perubahan
|
KORAN
SINDO, 29 Mei 2014
Beberapa
pekan lalu mencuat kembali wacana mengenai tol laut yang membentang dari
Sumatera sampai Papua. Agak berbeda dengan jalan tol yang berada di darat
atau jalan tol di atas laut yang jelas fisiknya, jalur tol laut lebih
imajiner. Jangan bayangkan jalan tol di atas laut yang baru diresmikan di
Pulau Bali.
Inti
dari pembangunan tol laut sebetulnya bukan pada jalur lautnya itu sendiri,
melainkan pada pelabuhannya. Kelak, pelabuhan-pelabuhan yang terhubung oleh
jalur tol laut tersebut mesti ditingkatkan kapasitasnya agar bisa disinggahi oleh
kapal-kapal yang berukuran besar. Sekadar dipahami saja, dewasa ini ada 51
pelabuhan dunia yang mampu disinggahi VLCS (very large container ship) dengan kapasitas angkut 10.000 kargo
ukuran 20 feet (TEU).
Dewasa
ini diperkirakan 90% non-bulk cargo
di seluruh dunia diangkut kontainer dan kapal-kapal kargo modern besar yang
mampu mengangkut hingga 16.020 twenty-foot
equivalent units (TEUs) sekali jalan. Sekarang ini memang banyak
pelabuhan besar kita yang kapasitasnya masih terbatas. Misalnya Pelabuhan
Belawan di Sumatera Utara yang dikenal juga sebagai pelabuhan khusus crude palm oil (CPO), ternyata, baru
bisa disinggahi kapal berkapasitas 800 TEUs atau kontainer berukuran 20 kaki.
Kapasitas
inilah yang mesti ditingkatkan. Pelabuhan Belawan dan pelabuhan-pelabuhan
besar lain mesti bisa disinggahi kapal-kapal yang berkapasitas 3.000 TEUs
atau lebih. Setidak-tidaknya seperti Pelabuhan Tanjung Priok yang bisa
disinggahi kapal kontainer berkapasitas 4.000–6.000 TEUs. Untuk itulah
pelabuhan-pelabuhan kita harus dibuat menjadi lebih dalam.
Dermaga
dan fasilitas sandarnya juga mesti dibuat lebih panjang. Lalu, peralatan
untuk bongkar muat kontainer juga mesti dibenahi. Jumlahnya perlu ditambah
dan penanganan bongkar muatnya harus dibuat lebih cepat. Selagi kita membahas
soal peningkatan kinerja pelabuhan, saya ingin mengajak Anda untuk memperluas
wacana diskusi.
Lima Lapisan
Indonesia
sebagai negara kepulauan jelas memerlukan dukungan pelabuhan-pelabuhan laut
andal. Hingga saat ini daya saing pelabuhan-pelabuhan kita memang masih jauh
dari harapan. World Economic Forum
menilai dari segi kualitas, pelabuhan kita berada di peringkat ke-103 dari
142 negara.
Sementara
Global Competitiveness Report
menilai daya saing pelabuhan kita berada di peringkat ke-95 dari 134 negara
yang disurvei. Lemahnya daya saing ini dipicu banyak faktor. Misalnya
kesulitan akses ke pelabuhan. Ini pada gilirannya memicu terjadinya ekonomi
biaya tinggi sehingga melemahkan daya saing produk-produk Indonesia di pasar
ekspor.
Selain
itu, kondisi tersebut melemahkan daya saing Indonesia dalam menarik para
investor agar mau menanamkan modalnya di sini. Kondisi semacam itu tentu saja
tidak boleh kita biarkan sampai berlarut-larut. Harus segera dibenahi.
Menurut saya, kita mestinya bisa menjadikan pelabuhan sebagai driver bagi
pengembangan ekonomi kawasan. Untuk itu pelabuhan-pelabuhan kita perlu
didesain sebagai kawasan bisnis terpadu sehingga perusahaan- perusahaan yang
berada di dalamnya bisa memperoleh manfaat optimal.
Di dalam
kawasan, mereka bisa beroperasi dengan tingkat efisiensi yang tinggi. Dalam
bayangan saya, kawasan ini akan terdiri atas beberapa lapisan. Lapisan
pertama adalah pelabuhan itu sendiri yang sekaligus sebagai intinya (core).
Agar
bisa menjadi driver, pelabuhan-pelabuhan kita perlu ditingkatkan kapasitasnya
agar bisa disinggahi kapalkapal kontainer berukuran raksasa sekelas CMA CGM Marcopolo atau Emma Maersk yang panjangnya hampir
mencapai 400 meter atau empat kali panjang lapangan sepak bola. Lalu,
infrastrukturnya juga mesti dibenahi. Proses pelaporan dan pengurusan
dokumen, misalnya, harus dibuat lebih cepat dan berbasis teknologi informasi
(TI). Jadi, kelak tidak ada lagi dokumen yang harus diurus secara manual.
Lalu,
dalam pemikiran saya, lapisan kedua akan menjadi kawasan pergudangan dan
tempat penimbunan peti kemas. Jadi, kontainer-kontainer yang baru dibongkar
dari kapal, sebelum diangkut ke lokasi tujuan, bisa disimpan di kawasan ini.
Begitu pula kontainer-kontainer yang akan dimuat bisa ditimbun dulu di sini.
Lapisan
ketiga merupakan kawasan untuk pabrik-pabrik pengolahan atau manufaktur dari
produk-produk yang berorientasi ekspor. Misalnya, pabrik pengolahan mineral
atau pabrik CPO. Jadi, mineral-mineral dari lokasi pertambangan dikirim
langsung ke pabrik pengolahan di pelabuhan. Hasil pengolahannya bisa langsung
dimuat ke kapal-kapal yang siap membawanya ke pasar ekspor.
Banyak
produk ekspor kita yang bersifat bulky.
Jadi, kalau jarak dari pabrik ke pelabuhan bisa dibuat sedekat mungkin, biaya
transportasinya tentu akan jauh lebih murah. Ini tentu bisa mendongkrak daya
saing produk-produk ekspor kita. Lapisan keempat berisi bisnis-bisnis yang
menjadi pendukung aktivitas bisnis utama di seputar kawasan pelabuhan.
Jadi isinya bisa kantor-kantor perbankan,
asuransi, perusahaan pelayaran, jasa forwarding, jasa survei dan inspeksi,
bahkan hotel, restoran, pusat perbelanjaan dan sarana hiburan lainnya.
Lapisan kelima adalah hunian dalam bentuk high rise building seperti
apartemen. Hunian ini terutama diperuntukkan bagi para karyawan yang bekerja
di kawasan pelabuhan.
Koordinasi
Seluruh
lapisan tersebut perlu ditopang oleh infrastruktur yang menjamin kelancaran
mobilitas manusia maupun barang yang masuk atau ke luar kawasan pelabuhan.
Mungkin kita bisa menyebut kawasan pelabuhan ini dengan istilah oceanopolis.
Di Indonesia belum ada kawasan pelabuhan yang didesain dengan konsep kawasan
demikian.
Memang
pada praktiknya banyak bisnis pendukung yang akhirnya memilih berlokasi di
seputar kawasan pelabuhan. Namun, itu kurang tertata. Dan, menurut saya, yang
lebih penting pelabuhan-pelabuhan kita belum didesain sebagai driver untuk
pengembangan ekonomi yang sesuai dengan potensi yang dimiliki suatu daerah.
Mungkin
baru Pelabuhan Belawan yang didesain sebagai pelabuhan khusus CPO karena
banyak pabrik kelapa sawit yang berlokasi di Sumatera Utara. Pelabuhan-pelabuhan
lain belum. Mengembangkan pelabuhan dengan konsep demikian memerlukan
dukungan yang kuat dari para stakeholders.
Perlu koordinasi yang kuat, mulai dari pemerintah di tingkat pusat sampai
daerah.
Betul,
kita tahu koordinasi adalah “barang”
termahal di negeri ini. Mungkin dengan konsep ini kita bisa menguji bahwa
koordinasi sebetulnya tidak mahal-mahal amat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar