Sabtu, 31 Mei 2014

Mencari yang Terbaik

Mencari yang Terbaik

Agus Sudibyo  ;   Direktur Eksekutif Matriks Indonesia
KOMPAS,  30 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                                                                          
MEMBUKA kembali lembaran masa lalu yang sarat pengalaman pahit adalah imperatif. Padahal, seharusnya, fragmen-fragmen sejarah disimpan rapi dalam ingatan, tidak dihapuskan begitu saja. Ingatan kolektif yang kemudian terbentuk menjadi landasan bagi semua pihak untuk mengambil keputusan sehingga pengalaman pahit masa lalu tidak terulang dan ketidakadilan tidak menjadi abadi. Sejarah adalah titik tolak untuk melangkah ke depan.

Refleksi ini, antara lain, disampaikan pemikir Walter Benjamin (1969) dengan merujuk pada pengalaman pahit menjadi korban kekerasan selama perang berkecamuk di Eropa pada dekade 1940-an.

Refleksi itu selalu relevan untuk konteks Indonesia, karena sejarah kita penuh dengan cerita kekerasan dan tragedi. Namun, kebenaran tentang kekerasan dan tragedi itu banyak yang masih misteri.

Refleksi itu juga selalu relevan karena dalam perjalanan bangsa, kita sering menghadapi situasi di mana sebagian orang berusaha melupakan apa yang telah terjadi. Pada sisi lain, entah mempunyai watak dasar pemaaf atau pelupa, masyarakat kita juga begitu mudah berdamai dengan masa lalu, memaafkan para pelaku dan kesalahannya.

Pencapresan Prabowo

Pencalonan Letnan Jenderal Purnawirawan Prabowo Subianto sebagai presiden niscaya akan dikaitkan dengan apa yang telah terjadi menjelang 1998, ketika sejumlah aktivis diculik, diinterograsi, disiksa, dan sebagian tidak pernah kembali.
Belum tegas benar bagaimana dan sejauh mana keterlibatan Prabowo dalam ”proyek” kekerasan terhadap para aktivis pro demokrasi itu. Namun karena pasukan yang dipimpinnya terindikasi terlibat, beberapa pihak meyakini peran Prabowo. Kedatangan orang-orang Prabowo kepada orangtua korban penculikan, beberapa waktu lalu, seolah-olah menegaskan itu.

Ingatan dan kontroversi tentang penculikan para aktivis selalu menghantui kiprah politik figur seperti Prabowo. Akan lebih mudah bagi masyarakat, juga mungkin bagi Prabowo, jika lembaga yudikatif, Komnas HAM, dan pemerintah berhasil membuat keputusan resmi yang menegaskan posisi Prabowo dalam tragedi itu, dan mengakhiri spekulasi yang berkembang.

Ingatan akan masa lalu itu menjadi penting dalam Pemilu Presiden 9 Juli 2014. Kita tentu tidak ingin bangsa Indonesia sekadar mencoblos pada pilpres nanti, tetapi mencoblos pemimpin yang benar-benar berkualitas.

Legitimasi politik pilpres ditentukan oleh sejauh mana warga negara mengetahui benar rekam jejak dan masa lalu calon pemimpin. Warga negara memilih pemimpin secara rasional, berdasarkan pengetahuannya tentang plus-minus kualitas pemimpin itu.

Dapat dibayangkan betapa rendahnya legitimasi pilpres jika banyak warga negara memilih presiden tanpa tahu benar bagaimana rekam jejaknya. Sungguh tidak bermutu jika jalan menuju panggung kekuasaan tertinggi diraih bermodal lupa politik dan politik uang.

Dalam konteks ini, akan lebih baik bagi capres Prabowo secara terbuka menjelaskan posisinya dalam tragedi penculikan aktivis pro demokrasi di senja Orde Baru itu. Apa benar dia terlibat, sejauh mana? Jika tidak terlibat, di mana kedudukan dia sebagai komandan pasukan khusus kala itu? Jika dia terlibat, janji-janji apa yang bisa diberikan agar tidak mengulangi kesalahan yang sama?

Pada suatu titik, kita sebagai bangsa memang harus berdamai dengan masa lalu, memaafkan pelaku sejarah atas kesalahannya. Namun, berdamai dan memaafkan tidak mungkin dimulai dengan lupa politik. Berdamai dan memaafkan harus dimulai dengan ”ingat” dan pengakuan tentang apa yang telah terjadi.

Mengingat janji

Namun, problem lupa politik tidak hanya relevan dibahas dalam konteks pencapresan Prabowo. Pada gradasi dan kadar keseriusan yang berbeda, capres Joko Widodo (Jokowi) juga menghadapi masalah yang sama.

Jokowi mesti ingat atau diingatkan akan janji-janji yang dia tebarkan kepada warga Jakarta ketika mencalonkan diri menjadi gubernur DKI. Datang ke Jakarta dengan meninggalkan kedudukannya sebagai wali kota Solo, Jokowi berjanji untuk membawa Jakarta menuju perubahan dan perbaikan selama lima tahun. Jokowi menabur harapan, banyak orang terpikat oleh pesona diri dan keseriusannya.

Dalam konteks ini, tentu tidak cukup jika Jokowi hanya mengajukan cuti untuk nyapres kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Jokowi harus meminta izin kepada seluruh warga Jakarta dan meminta maaf karena banyak meninggalkan pekerjaan, banyak absen selama proses pencapresan, dan kemungkinan tidak bisa mewujudkan janji-janji yang telah diucapkan.

Dari sudut pandang etika politik, pencalonan Jokowi semestinya tidak meninggalkan preseden buruk. Satu jabatan publik ditinggalkan untuk jabatan publik yang lebih tinggi. Jabatan publik yang lebih tinggi ini pun kemudian ditinggalkan demi jabatan publik yang lebih tinggi lagi.

Bagaimanapun, akan lebih lebih baik jika suatu pengabdian dituntaskan sebelum beranjak ke pengabdian berikutnya. Kalaupun prinsip ini diabaikan demi untuk mengejar kemaslahatan publik yang lebih besar, seharusnya tidak dilakukan berdasarkan lupa politik.

Maka, yang dibutuhkan adalah keterbukaan dan kejujuran untuk mengakui kekurangan diri, dan dengan rendah hati meminta permakluman dari masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar