Memilih
Presiden dalam Karung
W
Riawan Tjandra ; Pengajar Hukum Kenegaraan
Fakultas Hukum
Universitas Atma Jaya Yogyakarta
|
KOMPAS,
31 Mei 2014
SISTEM
pemilu presiden yang dianut di negeri ini fondasinya diletakkan pada Pasal 6
dan 6A UUD 1945. Intinya menempatkan partai politik atau gabungan parpol
sebagai satu-satunya pintu masuk bagi pengajuan pasangan calon presiden dan
calon wakil presiden dalam proses pemilu presiden.
Bahkan,
Mahkamah Konstitusi (MK) juga pernah menolak permohonan uji materi UU Pilpres
mengenai peluang calon independen untuk bisa maju sebagai calon presiden
dalam pilpres, yakni melalui putusan MK Nomor 56/PUU-VI/2008. Pertimbangan MK
sangat sederhana karena hanya merujuk dan mengabsahkan secara tekstual
rumusan Pasal 6 dan 6A UUD 1945, yang dituangkan dalam UU No 42/2008 tentang
Pilpres.
Namun,
pada waktu itu, di kalangan majelis hakim MK sendiri juga ada perbedaan
pendapat yang antara lain menyatakan bahwa bila Pasal 6A ayat (2) UUD 1945
dianggap sebagai hak konstitusional parpol, maka hak itu merupakan derivasi
dari hak-hak dasar warga negara untuk turut serta dalam pemerintahan.
Seharusnya, MK melihat juga hak-hak konstitusional lain yang diatur dalam UUD
1945, antara lain hak-hak yang dijamin oleh Pasal 28, Pasal 28C ayat (2),
Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945.
Transaksi antar-elite
Sebagai
implikasi dari Pasal 6 dan 6A UUD 1945 itu, setiap menjelang pencalonan
presiden—sejak beberapa kali pemilu hingga kini—dunia politik ketatanegaraan
diwarnai kesibukan yang tinggi di kalangan parpol untuk membangun koalisi.
Dalam bahasa lebih halus: kerja sama antar-(elite)-parpol untuk menentukan
pasangan capres dan cawapres yang akan diusung dalam proses kontestasi
pilpres.
Koalisi
antarparpol, meskipun dalam putusan MK No 14/PUU-XI/2013 akan ditiadakan
sebagai konsekuensi penghapusan limitasi ambang batas pencalonan presiden
mulai tahun 2019, saat ini tetap menjadi boarding pass untuk memenuhi syarat
ambang batas pencalonan presiden. Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 terkesan
memiliki nilai ganda dalam menyikapi proses pencalonan presiden karena
memungkinkan pasangan capres dan cawapres diusulkan oleh parpol atau gabungan
parpol. Hal inilah yang oleh UU Pilpres ditafsirkan bagi keharusan adanya
ambang batas bagi perolehan suara parpol atau gabungan parpol dalam syarat
pencalonan pasangan capres dan cawapres.
Di saat
MK sebagai institusi yang dinisbahkan sebagai penafsir tunggal atas
konstitusi (the sole interpreter of the
constitution) dalam putusannya tak memberi pilihan yang pasti terhadap
tafsir Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 itu, maka mekanisme pilpres kali ini tetap
membuka celah bagi transaksi antar-(elite)-parpol menjelang pencalonan
presiden. Mekanisme pencalonan presiden tetap tersandera praktik
transaksional koalisi parpol meskipun dibungkus dengan berbagai upaya
penghalusan bahasa politik.
Publik
tetap sulit berharap akan kepastian presiden dan cawapres yang terpilih nanti
tidak tersandera dan menjadi tawanan koalisi parpol. Apalagi jika mencermati
realitas politik Senayan selama ini—yang cenderung sangat lentur dalam
mematuhi peraturan tata tertib yang dibuatnya sendiri dalam pelaksanaan
fungsi legislasi, penganggaran, dan pengawasan—sulit ditepis kekhawatiran
bahwa presiden dan aparat eksekutifnya akan tetap berpotensi terganjal dalam
mengeksekusi sejumlah kebijakan yang harus melewati otorisasi politik
Senayan.
Selama
banyak peraturan perundang-undangan masih memungkinkan ”bala tentera” Senayan
bergerilya hingga satuan-satuan kerja di lingkungan eksekutif, sulit
dihindari adanya replikasi dan duplikasi praktik- praktik politik
transaksional yang menjadikan eksekutif sebagai ”sandera” demokrasi ala
parlementerisme Senayan walaupun kini semua pasangan capres dan cawapres
berwacana mengenai penegasan sistem presidensial.
Sangat
penting praktik-praktik politik ketatanegaraan semacam ini juga menjadi bahan
yang diperdebatkan dalam kampanye para pasangan capres dan cawapres. Dengan
demikian akan terbentuk kesadaran publik untuk menolak terulangnya
praktik-praktik politik transaksional dalam sistem presidensial ”rasa”
parlementer seperti selama ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar