Kamis, 29 Mei 2014

Guru Bagaimanakah yang Diinginkan Negara Ini?

Guru Bagaimanakah yang Diinginkan Negara Ini?

 Zulkifli ;   Alumnus STAIN Malikussaleh Lhokseumawe,
Siswa Sekolah Demokrasi Aceh Utara
OKEZONENEWS,  28 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Ketika mutu pendidikan di negara ini ambruk dari tahun sebelumnya, maka guru disalahkan, bahkan sebagian orang dan lembaga sosial mengatakan guru tiada becus bekerja, namun ketika mutu pendidikan naik, malah Menteri Pendidikan yang mendapat sanjungan dan penghargaan, saat itu seolah-olah guru tidak pernah ada dan berjasa.

Di sisi lain guru senantiasa dituntut untuk mengajar semaksimal mungkin, sistem 24 jam per minggu juga diberlakukan, katanya demi memenuhi kewajiban guru sebagai pengajar, bila tidak mencukupi 24 jam, maka guru yang memiliki tunjangan, tunjangan tidak bisa diambil, padahal melihat kenyataannya seorang guru itu bergelut dengan berbagai macam perilaku anak didik.

Belum lagi guru yang mengajar di daerah konflik dan terpencil, saat darurat militer di Aceh puluhan tahun yang lalu, guru harus menerjang desingan peluru demi mengajar anak bangsa, diinterograsi oleh berbagai pihak, merayap dan tiarap di lantai saat letusan senjata berkecambuk, belum lagi ada yang diculik dan dipukul.

Jarak tempuh yang jauh, medan yang berlumpur laksana kubangan, inilah realita guru di daerah perbatasan, demi sang bintang masa depan mereka rela mengajar saat para pejabat enggan ke sana, tapi sekarang hak mereka ingin direnggut dan diperkosa oleh mereka yang hanya berada di kursi empuk.

Sebagian Guru di Anak Tirikan

Surat Keputusan Bersama (SKB) 5 Menteri tentang Distribusi Guru dinilai merugikan guru karena implementasinya akan memangkas persyaratan 24 jam mengajar dan pemecatan ribuan guru honorer.

Ketua Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti mengatakan, guru harus mengajar minimal 24 jam dan maksimal 40 jam untuk mendapatkan tunjangan sertifikasi, (Neneng Zubaidah, Okezone, 2012).

Melihat fenomena ini, sungguh sangat sulit guru mendapatkan 24 jam per minggu, apalagi mereka yang mengajar di daerah pedalaman, yang serba kekurangan, saat siswanya banyak, namun yang menjadi kendala ruang belajar yang tidak mencukupi dan sarana pendidikan apa adanya, demikian juga sebaliknya, belum lagi mereka yang honor, rela mengabdikan diri demi kemajuan pendidikan walau mereka tidak digaji.

Pada satu sisi Pemerintah ingin meningkatkan kualitas guru dengan memberikan tunjangan sertifikasi, namun pada sisi lain seolah-olah program ini setengah hati, sehingga memberikan kesulitan dan kepayahan kepada guru sehingga ada guru yang sudah lulus sertifikasi namun tidak bisa mengambil tunjangan tersebut, karena ditempatkan di sekolah yang hanya memiliki enam ruang belajar.

Belum lagi dengan diberlakukan Kurikulum 2013 yang disahkan oleh M. Nuh selaku Menteri Pendidikan, padahal kurikulum tersebut ada guru yang tertindas dengan hilangnya mata pelajaran yang diempu, ditambah masalah kekurangan jam. Seolah-olah jasa mereka yang berjuang di era konflik dan di daerah pedalaman tidak dihargai, dan dilupakan begitu saja. Padahal mereka telah mengajar sebelum M. Nuh menjadi Menteri Pendidikan.

Guru-guru yang mata pelajarannya dihilangkan dalam Kurikulum 2013, menjerit di dalam hati, dengan seribu kebimbangan mereka menanti hari-hari saat mereka dieksekusi, seolah seorang yang sedang nad’a menunggu Izrail mengambil nyawa mereka, laksana sang teroris yang menunggu dipancung mati, mengajar tapi tiada ketenangan.

Sebagai pengambil kebijakan, seharusnya mereka tidak bertepuk sebelah tangan, melaksanakan program secara egois sebelah pihak tanpa melihat berapa orang yang dikorbankan, bandingkan berapa gaji yang engkau ambil setiap bulan wahai pengambil kebijakan dan berapa gaji mereka per bulan, ini pun ingin engkau pangkas dengan menghilangkan mata pelajaran mereka, ketika program pendidikan tidak melalui hati, maka akan begitu banyak yang terluka dan meronta.

Peradaban Pendidikan untuk Meningkatkan Mutu

Meningkatkan mutu pendidikan, tidak mesti dengan mewajibkan guru mengajar 24 jam per Minggu atau menghapus sebagian mata pelajaran sehingga ada guru yang dikorbankan, namun meningkatkan pendidikan yaitu dengan memberi pelatihan-pelatihan kepada guru sesuai dengan jurusannya, mengawasi mereka dengan ketat, sehingga mereka benar mengajar dengan sepenuh hati dan sesuai pengetahuannya, memberikan fasilitas yang lengkap kepada setiap sekolah yang ada di seluruh Indonesia dan memberikan kesejahteraan kepada meraka sesuai kebutuhan masa.

Peradaban pendidikan dengan menjadikan wadah pendidikan itu benar-benar tempat menimba ilmu, bukan sebagai bisnis sebagian orang, baik di tingkat pusat sampai kepada guru dan siswa itu sendiri. Para pengambil kebijakan jangan mengubah-ubah kurikulum ke kurikulum yang lain karena ingin menjadi dia sebagai konseptor dan inspirator, guru yang mengajar jangan hanya bertumpu kepada gaji, namun mereka lebih berperan dalam pendidikan, siswa yang belajarpun jangan cuma mengharap beasiswa miskin tanpa memperhatikan kualitas dan kemampuan mereka dalam menyerap isi pembelajaran.

Adab dan moral segala elemen sangat berpengaruh dalam meningkatkan mutu pendidikan, pengambil kebijakan, guru dan siswa harus memiliki adab dan moral, sehingga dalam menjalankan amanah bangsa, mereka sama-sama bertanggung jawab demi kemajuan negeri ini. Mustahil akan lahir generasi yang baik bila di dalam sistem itu dihuni oleh orang-orang yang tidak baik.

Pada tanggal 22 Oktober 2002, Pemerintah Republik Indonesia, mengundangkan UU Perlindungan Anak (UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak). Sejak pemberlakuan UU tersebut, guru sudah mulai enggan menghukum siswa, walau siswa tersebut berulah sebagaimana kemauannya, padahal setiap hukuman yang mereka berikan bukan membabi buta atau untuk membunuh, namun agar memotivasi siswa yang nakal agar serius.

UU Perlindungan anak, khususnya pasal 13 ayat (1), menyatakan bahwa setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
a. diskriminasi;
b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c. penelantaran;
d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
e. ketidakadilan; dan
f. perlakuan salah lainnya.

Apa yang diungkapkan dalam pasal 13 ayat (1) di atas kembali ditegaskan dalam pasal 16 ayat (1) dan (2) yang berbunyi:
1. Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
2. Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.

Dengan adanya UU tersebut, seolah anak dibiarkan dan dimanjakan, ini menyebabkan rendahnya mutu pendidikan didaerah-daerah pedalaman dan daerah yang pernah didera konflik, karena sikap dan mental anak didaerah itu keras dan suka melawan, bahkan kalau ibu-ibu merasa kurang berharga bagi mereka.

Pribadi saya bukan melegalkan kekerasan guru kepada anak didiknya, namun ada daerah yang memang kita harus memberi efek jera kepada meraka agar mereka mau belajar, kalau kita mengajar anak-anak pilihan, mungkin denda yang demikian tidak perlu kita terapkan, tapi setiap daerah berbeda intelegensi dan kemauan anak dalam belajar, dan ini menjadi PR kita semua, apakah kita membutuhkan generasi yang handal dan berkualitas, atau generasi yang selalu dibantu saat UN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar