Guru
Bagaimanakah yang Diinginkan Negara Ini?
Zulkifli ; Alumnus STAIN
Malikussaleh Lhokseumawe,
Siswa Sekolah
Demokrasi Aceh Utara
|
OKEZONENEWS,
28 Mei 2014
Ketika
mutu pendidikan di negara ini ambruk dari tahun sebelumnya, maka guru
disalahkan, bahkan sebagian orang dan lembaga sosial mengatakan guru tiada
becus bekerja, namun ketika mutu pendidikan naik, malah Menteri Pendidikan
yang mendapat sanjungan dan penghargaan, saat itu seolah-olah guru tidak
pernah ada dan berjasa.
Di sisi
lain guru senantiasa dituntut untuk mengajar semaksimal mungkin, sistem 24
jam per minggu juga diberlakukan, katanya demi memenuhi kewajiban guru
sebagai pengajar, bila tidak mencukupi 24 jam, maka guru yang memiliki
tunjangan, tunjangan tidak bisa diambil, padahal melihat kenyataannya seorang
guru itu bergelut dengan berbagai macam perilaku anak didik.
Belum
lagi guru yang mengajar di daerah konflik dan terpencil, saat darurat militer
di Aceh puluhan tahun yang lalu, guru harus menerjang desingan peluru demi
mengajar anak bangsa, diinterograsi oleh berbagai pihak, merayap dan tiarap
di lantai saat letusan senjata berkecambuk, belum lagi ada yang diculik dan
dipukul.
Jarak
tempuh yang jauh, medan yang berlumpur laksana kubangan, inilah realita guru
di daerah perbatasan, demi sang bintang masa depan mereka rela mengajar saat
para pejabat enggan ke sana, tapi sekarang hak mereka ingin direnggut dan
diperkosa oleh mereka yang hanya berada di kursi empuk.
Sebagian Guru di Anak Tirikan
Surat
Keputusan Bersama (SKB) 5 Menteri tentang Distribusi Guru dinilai merugikan
guru karena implementasinya akan memangkas persyaratan 24 jam mengajar dan
pemecatan ribuan guru honorer.
Ketua
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti mengatakan, guru harus
mengajar minimal 24 jam dan maksimal 40 jam untuk mendapatkan tunjangan
sertifikasi, (Neneng Zubaidah, Okezone, 2012).
Melihat
fenomena ini, sungguh sangat sulit guru mendapatkan 24 jam per minggu,
apalagi mereka yang mengajar di daerah pedalaman, yang serba kekurangan, saat
siswanya banyak, namun yang menjadi kendala ruang belajar yang tidak
mencukupi dan sarana pendidikan apa adanya, demikian juga sebaliknya, belum
lagi mereka yang honor, rela mengabdikan diri demi kemajuan pendidikan walau
mereka tidak digaji.
Pada
satu sisi Pemerintah ingin meningkatkan kualitas guru dengan memberikan
tunjangan sertifikasi, namun pada sisi lain seolah-olah program ini setengah
hati, sehingga memberikan kesulitan dan kepayahan kepada guru sehingga ada
guru yang sudah lulus sertifikasi namun tidak bisa mengambil tunjangan
tersebut, karena ditempatkan di sekolah yang hanya memiliki enam ruang
belajar.
Belum
lagi dengan diberlakukan Kurikulum 2013 yang disahkan oleh M. Nuh selaku
Menteri Pendidikan, padahal kurikulum tersebut ada guru yang tertindas dengan
hilangnya mata pelajaran yang diempu, ditambah masalah kekurangan jam.
Seolah-olah jasa mereka yang berjuang di era konflik dan di daerah pedalaman
tidak dihargai, dan dilupakan begitu saja. Padahal mereka telah mengajar
sebelum M. Nuh menjadi Menteri Pendidikan.
Guru-guru
yang mata pelajarannya dihilangkan dalam Kurikulum 2013, menjerit di dalam
hati, dengan seribu kebimbangan mereka menanti hari-hari saat mereka
dieksekusi, seolah seorang yang sedang nad’a menunggu Izrail mengambil nyawa
mereka, laksana sang teroris yang menunggu dipancung mati, mengajar tapi
tiada ketenangan.
Sebagai
pengambil kebijakan, seharusnya mereka tidak bertepuk sebelah tangan,
melaksanakan program secara egois sebelah pihak tanpa melihat berapa orang
yang dikorbankan, bandingkan berapa gaji yang engkau ambil setiap bulan wahai
pengambil kebijakan dan berapa gaji mereka per bulan, ini pun ingin engkau
pangkas dengan menghilangkan mata pelajaran mereka, ketika program pendidikan
tidak melalui hati, maka akan begitu banyak yang terluka dan meronta.
Peradaban Pendidikan untuk
Meningkatkan Mutu
Meningkatkan
mutu pendidikan, tidak mesti dengan mewajibkan guru mengajar 24 jam per
Minggu atau menghapus sebagian mata pelajaran sehingga ada guru yang
dikorbankan, namun meningkatkan pendidikan yaitu dengan memberi
pelatihan-pelatihan kepada guru sesuai dengan jurusannya, mengawasi mereka
dengan ketat, sehingga mereka benar mengajar dengan sepenuh hati dan sesuai
pengetahuannya, memberikan fasilitas yang lengkap kepada setiap sekolah yang
ada di seluruh Indonesia dan memberikan kesejahteraan kepada meraka sesuai
kebutuhan masa.
Peradaban
pendidikan dengan menjadikan wadah pendidikan itu benar-benar tempat menimba
ilmu, bukan sebagai bisnis sebagian orang, baik di tingkat pusat sampai
kepada guru dan siswa itu sendiri. Para pengambil kebijakan jangan
mengubah-ubah kurikulum ke kurikulum yang lain karena ingin menjadi dia
sebagai konseptor dan inspirator, guru yang mengajar jangan hanya bertumpu
kepada gaji, namun mereka lebih berperan dalam pendidikan, siswa yang
belajarpun jangan cuma mengharap beasiswa miskin tanpa memperhatikan kualitas
dan kemampuan mereka dalam menyerap isi pembelajaran.
Adab dan
moral segala elemen sangat berpengaruh dalam meningkatkan mutu pendidikan,
pengambil kebijakan, guru dan siswa harus memiliki adab dan moral, sehingga
dalam menjalankan amanah bangsa, mereka sama-sama bertanggung jawab demi
kemajuan negeri ini. Mustahil akan lahir generasi yang baik bila di dalam
sistem itu dihuni oleh orang-orang yang tidak baik.
Pada
tanggal 22 Oktober 2002, Pemerintah Republik Indonesia, mengundangkan UU
Perlindungan Anak (UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak). Sejak
pemberlakuan UU tersebut, guru sudah mulai enggan menghukum siswa, walau
siswa tersebut berulah sebagaimana kemauannya, padahal setiap hukuman yang
mereka berikan bukan membabi buta atau untuk membunuh, namun agar memotivasi
siswa yang nakal agar serius.
UU
Perlindungan anak, khususnya pasal 13 ayat (1), menyatakan bahwa setiap anak
selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang
bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari
perlakuan:
a.
diskriminasi;
b.
eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c.
penelantaran;
d.
kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
e.
ketidakadilan; dan
f.
perlakuan salah lainnya.
Apa yang
diungkapkan dalam pasal 13 ayat (1) di atas kembali ditegaskan dalam pasal 16
ayat (1) dan (2) yang berbunyi:
1.
Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan,
penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
2.
Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.
Dengan
adanya UU tersebut, seolah anak dibiarkan dan dimanjakan, ini menyebabkan
rendahnya mutu pendidikan didaerah-daerah pedalaman dan daerah yang pernah
didera konflik, karena sikap dan mental anak didaerah itu keras dan suka
melawan, bahkan kalau ibu-ibu merasa kurang berharga bagi mereka.
Pribadi
saya bukan melegalkan kekerasan guru kepada anak didiknya, namun ada daerah
yang memang kita harus memberi efek jera kepada meraka agar mereka mau
belajar, kalau kita mengajar anak-anak pilihan, mungkin denda yang demikian
tidak perlu kita terapkan, tapi setiap daerah berbeda intelegensi dan kemauan
anak dalam belajar, dan ini menjadi PR kita semua, apakah kita membutuhkan
generasi yang handal dan berkualitas, atau generasi yang selalu dibantu saat
UN. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar