Spirit
Mikraj dan Pemimpin Pengabdi
Ahmad
Rofiq ; Guru Besar IAIN
Walisongo, Sekretaris Umum MUI Jateng
|
SUARA
MERDEKA, 26 Mei 2014
TATKALA
KPU mengumumkan hasil perolehan suara parpol dalam pileg, disusul pendaftaran
capres-cawapres, bangsa Indonesia berada dalam bulan Rajab. Bulan mulia, dan
Allah Swt melipatgandakan pahala amal ibadah manusia. Di dalamnya terdapat
peristiwa suci, yakni perjalanan suprarasional seorang hamba Allah, dari
Masjidil Haram Makkah ke Masjidil Aqsha Palestina dilanjutkan “dinaikkan” ke
Sidratul Muntaha.
Rasulullah
saw menerima perintah suci melalui Malaikat Jibril, di rumah. Jibril
berkata,’’ “Tawaflah di Kakbah
sebanyak tujuh kali. Engkau akan diperjalankan menuju langit dari Masjidil
Aqsha”. Beberapa saat Beliau sudah di depan Kakbah dan segera tawaf. Baru
saja selesai tawaf, tiba-tiba di hadapannya berdiri hewan yang disebut buraq.
Kulitnya putih, tingginya melebihi keledai tapi lebih pendek dari bagal.
Dinamakan buraq karena kecepatannya sejauh mata memandang, seperti kilat
(barq). Beliau naik buraq diikuti Jibril di belakang menuju Masjidil Aqsha.
Dalam
sekejap Beliau dan Jibril tiba di Masjidil Aqsha. Setibanya di masjid
tersebut, Rasulullah saw terkejut karena di sana telah menunggu para nabi,
dari Adam sampai Isa. Semua turun dari langit untuk menyambutnya. Para nabi
menjadi makmum karena yang ditunjuk oleh Jibril menjadi imam adalah Muhammad.
Setelah selesai shalat dua rakaat, Beliau menengok ke arah para nabi.
Setelah
itu, Jibril menjamu dengan tiga buah cawan berisi air, khamar, dan susu. Pada
saat yang sama, Muhammad mendengar “bisikan”, “Jika engkau memilih cawan
berisi air, niscaya engkau akan tenggelam dan umatmu juga akan tenggelam.
Jika engkau mengambil cawan berisi khamar, engkau akan tergoda, dan jika
engkau memilih cawan berisi susu, engkau diberi petunjuk dan umatmu pun akan
diberi petunjuk”.
Rasulullah
saw mengikuti “nasihat” suara itu, namun Beliau tidak tahu mana cawan yang
berisi susu. Berkat pertolongan Allah, Beliau mengambil cawan berisi susu,
lalu meminumnya. Jibril pun menegaskan, “Engkau diberi petunjuk dan umatmu
pun akan diberi petunjuk oleh Allah, wahai Muhammad”. Ini karena beliau
memikirkan nasib umatnya, yang ingin diselamatkan dan diberi petunjuk oleh
Allah.
Setelah
itu, Rasulullah diperjalankan naik atau mikraj ke Sidratul Muntaha, setelah
melalui langit pertama, bertemu Nabi Adam as, di langit kedua, bertemu Nabi
Yahya bin Zakaria dan Isa bin Maryam. Di langit ketiga, berjumpa Nabi Yusuf
as. Di langit keempat, bertemu Nabi Idris as. Di langit kelima, bertemu Nabi
Harun bin Imran as. Di langit ke enam bertemu Nabi Musa bin Imran as.
Yang
mengherankan, ketika Rasulullah ingin beranjak, Nabi Musa menangis. Rasulullah
bertanya, “Mengapa engkau menangis?’’ Musa menjawab, “Aku menangis karena
pemuda yang diutus menjadi rasul sesudahku, umatnya lebih banyak yang masuk
surga daripada umatku,” kata Musa.
Inti
dari oleh-oleh perjalanan mikraj sampai di Sidratul Muntaha, adalah perintah
shalat lima waktu dalam sehari semalam, setelah atas saran nabi Musa as,
Beliau menawar beberapa kali, dari semula 50 waktu. Itulah wujud kasih sayang
Allah kepada umat Muhammad.
Pelajaran Berharga
Shalat
merupakan barometer ibadah seorang muslim-muslimah, dan itu yang kali pertama
dihisab atau diaudit pada hari kiamat. Apabila shalatnya baik maka amal
ibadah lainnya akan baik, begitu sebaliknya. Demikian Rasulullah saw
menegaskan.
Shalat
dianjurkan dilaksanakan berjamaah, dengan imbalan pahala 27 derajat. Dalam
berjamaah, dibutuhkan imam yang memahami ilmu, memiliki kompetensi dalam ilmu
fikih, rekam jejaknya baik dan hati-hati, tidak melakukan dosa-dosa kecil,
apalagi dosa besar, serta sudah mantap integritas pribadinya (akbaru sinnan).
Tanggal
9 Juli 2014, rakyat Indonesia akan menentukan pemimpinnya. Dua pasangan calon
sudah mendeklarasikan, Jokowi-Jusuf Kalla dan Prabowo-Hatta. Dalam perspektif
politik Islam, memilih pemimpin adalah kewajiban. Bila semua warga yang
mempunyai hak pilih tidak menggunakannya, alias golput maka semua menanggung
“dosa” politik.
Dalam
Islam, keberadaan pemimpin (imam) adalah conditio
sine quanon atau suatu keniscayaan. Sedemikian pentingnya pemimpin bagi
suatu negara dan masyarakat, Ibn Taimiyah mengatakan, “60 tahun di bawah
pemimpin yang bobrok lebih baik dari satu malam tanpa pemimpin”. Kita masih
ingat, saat-saat awal reformasi, tidak ada pemimpin legitimate maka
penjarahan terjadi di mana-mana. Pasalnya saat seperti itu hukum tidak
berlaku. Tapi kita tidak ingin memiliki pemimpin yang tidak adil dan korup,
apalagi hanya memikirkan diri sendiri, kelompok, dan golongannya.
Seorang
pemimpin adalah abdi rakyat. Seorang pemimpin adalah yang giliran minum dan
makan terakhir, setelah semua warganya minum dan makan. Rasulullah saw
memberi contoh ketika baru saja menempuh
hijrah beberapa hari dari Makkah memasuki Madinah, semula Yatsrib.
Beliau
meminta seorang anak muda penggembala kambing agar diizinkan mengambil air
susu untuk menghilangkan rasa haus Beliau dan rombongan. Setelah diijinkan
penggembala, Beliau memerah sendiri susu kambing dan setiap mendapat satu
gelas, diberikan kepada para sahabat. Setelah semua mendapatkannya, baru yang
terakhir Beliau meminum susu kambing tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar