Pembenahan
Birokrasi
Toeti Prahas Adhitama ;
Anggota Dewan Redaksi Media Group
|
MEDIA
INDONESIA, 30 Mei 2014
SEMENTARA mengikuti dua kelompok
partai politik mengampanyekan program masing-masing menuju RI-1, belum lama
ini pernah disinggung salah satu permasalahan nasional yang mengakibatkan
ketidaklancaran pemerintahan kita, yakni masalah birokrasi. Kalau kita
mendengar kata itu, yang muncul dalam pikiran suatu organisasi besar, dingin,
dengan rutinitas kaku, resmi, dan tertutup. Itulah kesimpulan dalam buku Society Today (1971), yang memuat
deretan esai para ahli sosiologi Amerika. Jika ditinjau dari pernyataan itu,
bukan birokrasi di Indonesia saja yang memiliki permasalahan.
Tentu semula konsep birokrasi
tidak dimaksudkan demikian. Birokrasi modern tumbuh berbarengan dengan
bangkitnya sikap modern masyarakat industri yang ingin membentuk pola
organisasi resmi untuk kegiatan baik ke dalam maupun ke luar, agar semua
tertib dan lancar, tidak amburadul seperti yang sering kita alami. Birokrasi
modern membentuk staf administrasi khusus yang terampil dan menguasai
bidangnya. Karena itu, latihan berkala bagi anggota-anggotanya menjadi
keniscayaan.
Sosiolog Jerman, Max Weber
(1864-1920) yang menemukan konsep tentang tipe ideal situasi-situasi sosial,
berpendapat bahwa berkembangnya birokrasi modern ialah sebab dan akibat
pemikiran formal yang menjadi ciri masyarakat Barat, dan bahwa birokrasi
modern ialah cara paling efisien untuk mengorganisasi sejumlah besar orang
untuk tugas-tugas yang kompleks.
Weber mengakui ada birokrasi
sistem lama. Rupanya ini yang masih sering kita jumpai dalam pemerintahan
kita. Sifatnya tentu tidak ideal. Menurut Weber, struktur lama ada di sistem
yang bersifat feodal, seperti di zaman kerajaan atau pramodern. Tugas
dinomorduakan. Yang dipentingkan orang atau pejabatnya.
Perlu pimpinan tegas dan disiplin
Menurut Weber, agar birokrasi
tidak mengarah kepada struktur atau sistem lama, diperlukan aturan tegas, tertulis,
dan terjamin dipatuhi semua. Selain aturan-aturan yang berkaitan dengan
masalah teknis, yang diperlukan demi kelancaran dan efisiensi kerja, Weber
mensyaratkan agar untuk posisi-posisi tertentu ada ijazah atau diadakan
ujian. Pejabat-pejabat hendaknya menjalankan tugas dengan disiplin tanpa
mempertimbangkan kepentingan sendiri. Di kita, jelas cara ini akan membantu
membasmi penyakit yang selama ini merongrong birokrasi kita, yakni masalah
korupsi yang marak di mana-mana di sepanjang jenjang.
Max Weber mungkin terlalu ideal.
Dalam perjalanan waktu sejak awal pertumbuhannya konsep birokrasi modern
telah mewarisi sejumlah unsur dan konsep lama. Semakin tradisional sifat
kepemimpinannya, semakin nyata pergeseran konsepnya. Belum lagi kalau itu
menyangkut budaya atau adat istiadat. Misalnya pernah diasumsikan oleh Prof
Dr Asim Gunarwan (UI) bahwa orang Jawa tidak transparan dan menghindari
konflik terbuka. Kalau yang memegang tampuk pimpinan kebetulan orang-orang
Jawa, tentu akan ada asumsi bahwa sikap mereka tidak sesuai dengan dinamika
masyarakat modern. Namun, tiap mata uang memiliki dua sisi. Maka Weber
menyarankan agar pejabat-pejabat hendaknya menjalankan fungsi dengan disiplin
tanpa mempertimbangkan perasaan dan kepentingan pribadi, dan tidak emosional.
Debat yang tak kunjung padam
Belum lama ini ada kekhawatiran
tentang keinginan untuk mengadakan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing.
Keinginan seperti ini akan membuat bumi bisnis gonjang-ganjing, tetapi
keinginan seperti itu akan selalu ada; ibaratnya lilin yang tak pernah
berkedip. Khususnya bila kita bicara tentang manfaatnya bagi rakyat banyak. Asumsinya,
nasionalisasi serta-merta akan membawa kemaslahatan bersama. Asumsi itu tidak
salah, bila konsep pengelolaannya benar dan bukan birokratis.
Kegagalan banyak badan usaha
yang dijalankan banyak negara membuktikan bahwa urusan usaha atau bisnis
seyogianya jangan dibebankan pada birokrat. Ini terjadi di mana-mana. seperti
di negara-negeri sosialis RRC dan Hongaria, maupun di negara-negara maju:
Jerman dan Inggris; dan Indonesia sendiri. Pertanyaannya, apakah
nasionalisasi yang bisa mengarah ke swastanisasi akan selalu bisa jalan?
Siapa yang akan membeli perusahaan yang kemudian terus merugi? Apa akibat
perusahaan yang terus merugi?
Pengkajian dan debat mengenai
masalah ini tak kunjung selesai. Nasionalisasi yang kemudian menciptakan BUMN
di mana pun malahan terbukti menghambat usaha bisnis yang sehat; itu kalau
kita belum siap dan cukup terampil untuk menjalankan nasionalisasi. Bila yang
disebut nasionalisasi idem dito
dengan mengambil alih untuk menjadikannya badan usaha negara, memang harus
dikaji ulang. Masalahnya, berbagai pengkajian selama ini membuktikan bahwa
usaha bisnis oleh negara, yang ditangani birokrasi, menghambat dinamika
bisnis yang sehat.
Belajar dari perjalanan sejarah
bangsa ini, kita mulai bisa meraba mengapa masih banyak permasalahan yang
harus kita selesaikan seiring dengan datangnya pemerintahan yang baru.
Padahal, kita memiliki segudang orang pintar, alam yang bermurah hati, belum
lagi kedamaian yang selalu melindungi. Itu bekal luar biasa bagi pemerintahan
baru kita.
Maka sungguh melegakan bahwa
paling tidak publik diberi gambaran apa-apa yang akan dijalankan dalam platform
masing-masing dengan program-program mereka. Namun, walaupun sering dikatakan
publik cukup cerdas, jangan tergesa-gesa diharapkan mampu serta-merta
menanggulanginya. Justru badan legislatif yang harus didorong menghela kereta
negara, dan badan yudikatif diharapkan selalu mengawal. Bila ada kegagalan
lagi, bukan salah lembaga eksekutif semata. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar